BĀB II
CIRI AHLI ḤADĪTS, GAMBARAN MEREKA DALAM MENGAMBIL DAN MENGETAHUI ḤADĪTS SERTA SPESIALISASI MEREKA DALAM DISIPLIN ‘ILMU ḤADĪTS
Syekh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Adapun para ahli Ḥadīts, mereka sangat bergantung pada lahiriah Ḥadīts-ḥadīts Rasūlullāh s.a.w. Mereka mengatakan, bahwa ini (Ḥadīts) adalah asas agama, karena Allah s.w.t. berfirman dalam al-Qur’ān:
وَ مَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
الحشر:7
“Apa yang diberikan rasūl kepadamu maka terimalah. Dan apa yang ia melarangmu maka tinggalkanlah.”
(Al-Ḥasyr:7)
Tatkala mendapatkan seruan seperti itu, mereka kemudian melakukan pengembaraan ke berbagai negeri dan kota untuk mencari para perawi ḥadīts dan berguru pada mereka sehingga mampu merekam (menukil) ḥadīts-ḥadīts Rasūlullāh s.a.w. Mereka kumpulkan ḥadīts-ḥadīts yang diri dari para shaḥābat dan tābi‘īn . Kemudian menulis perjalanan hidup, perilaku, madzhab-madzhab mereka, perbedaan pendapat dalam ketentuan hukum, perkataan, perbuatan, akhlak dan kondisi mereka. Mereka menyeleksi ḥadīts-ḥadīts shaḥīḥ dari para perawinya dengan cara mendengar dan hafalan. Mengoreksi dari sumber-sumber yang bisa dipercaya dari orang yang bisa dipercaya pula, orang yang ‘adil dari sumber yang ‘adil pula. Mereka garap secara cermat dan teliti. Mereka juga tahu kedudukan para perawi ḥadīts dalam menukil dan ketelitiannya. Kemudian mereka tulis nama-nama mereka, gelar (nama lain), kapan lahir dan meninggalnya.
Mereka sangat mendalam hal ini hingga mereka tahu berapa ḥadīts yang diriwāyatkan oleh masing-masing orang dari mereka? Dari siapa meriwāyatkannya? Dari siapa ia menukil ḥadīts itu? Siapa yang keliru dalam menukil ḥadīts? Siapa di antara mereka yang berbuat kesalahan sehingga terjadi penambahan ḥurūf atau pengurangan lafal? Siapa di antara mereka yang sengaja melakukan hal itu? Siapa yang kesalahan atau kealpaannya masih bisa ditolerir? Sehingga mereka tahu siapa di antara mereka yang diduga kuat telah melakukan kebohongan dalam Ḥadīts Rasūlullāh s.a.w.? Siapa yang dianggap sah dalam meriwāyatkan suatu ḥadīts secara sendirian, sementara perawi lain tidak pernah meriwāyatkannya, atau telah menambah suatu lafal yang tidak ditemukan dalam riwāyat lain? Mereka hafal berapa yang meriwāyatkan setiap satu ḥadīts. Apa cacat perawinya? Sehingga mereka mengumpulkannya dalam bāb-bāb. Lalu menjadikan beberapa bāb dalam macam-macam ḥadīts. Mereka membedakan antara yang masuk dalam kategori ḥadīts shaḥīḥ dan yang keshahīhannya masih diperdebatkan. Mana yang masuk dalam riwāyat orang-orang yang sedikit meriwāyatkan ḥadīts dan orang-orang yang banyak meriwāyatkannya? Mereka paham ḥadīts-ḥadīts para imām yang ada di daerah, tingkatan para perawi ḥadīts. Antara yang mengikut dan yang diikuti, yang besar dan yang kecil.
Ke‘ilmuan mereka sangat memahami tentang berbagai alasan yang menjadikan mereka berbeda dalam periwāyatan Ḥadīts, penambahan dan pengurangan mereka, tempat-tempat di mana mereka tinggal dalam meriwāyatkan Ḥadīts dan Atsār. Mereka telusuri semua itu karena itu adalah asas-asas agama.
Dalam hal itu mereka juga tidak sama tingkat dan kedudukannya, sehingga ada di antara mereka, karena kelebihannya dalam ‘ilmu yang dimiliki, kecermatan dan kuat hafalannya, ia berhak untuk diterima kesaksiannya di mata ‘ulamā’ dalam hal ‘adl dan tarjiḥ (‘adil dan cacatnya dalam kesaksian), diterima dan ditolak kesaksiannya. Sehingga kesaksiannya terhadap Rasūlullāh s.a.w. bisa diterima dalam setiap apa yang dikatakan, dilakukan, diperintahkan, dilarang, disunahkan dan yang dida‘wākannya. Allah berfirman:
وَ كَذٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَ يَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
البقرة:143
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islām), umat yang ‘adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasūl (Muḥammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.”
(Al-Baqarah: 143)
Mereka disebut sebagai ahli Ḥadīts karena kesaksiannya terhadap Rasūlullāh s.a.w., shaḥābat dan tābi‘īn atas apa yang mereka katakan dan lakukan. Sedangkan rasūl juga akan menjadi saksi terhadap kalian atas kesaksian mereka terhadap perbuatan, perkataan, kondisi dan akhlāq beliau. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
رواه البخاري و مسلم عن علي و البخاري عن مسلمه
“Barang siapa sengaja melakukan kebohongan padaku, maka hendaknya siap-siap untuk menempati tempat tinggalnya di neraka.”
(H.R.Al-Bukhārī dan Muslim dari ‘Alī, dan Al-Bukhārī dari Maslamah)
Sebaliknya, beliau juga bersabda:
نَضَّرَ اللهُ وَجْهَ امْرِئٍ سَمِعَ مِنِّيْ حَدِيْثًا فَبَلَّغَهُ
رواه أصحاب السنن عن ابن مسعود و أحمد و ابن ماجه و ابن حبان عن ابن مسعود أيضا
“Allah akan mencerahkan wajah seseorang yang mendengar Ḥadīts dariku kemudian ia menyampaikannya kepada orang lain.”
(H.R.Ashḥābus-Sunan dari Ibnu Mas‘ūd, Sedangkan riwāyat Aḥmad, Ibnu Mājah dan Ibnu Ḥibbān dari Ibnu Mas‘ūd pula)
Dikatakan bahwa seseorang belum bisa disebut ahli Ḥadīts sebelum di wajahnya ada sinar cerah sebagai tanda dari duā’ Rasūlullāh.
Dan di kalangan ahli Ḥadīts yang membicarakan ‘ilmu dan karakteristik mereka telah lahir berbagai karya tulis. Mereka juga memiliki imām-imām yang namanya terkenal luas dan harum. Di mana setiap orang di zamannya sepakat menjadikan mereka sebagai imām, karena keutamaan ‘ilmunya, kelebihan intelektual, pemahaman dan amanahnya. Untuk membicarakan hal ini akan sangat panjang, sehingga apa yang saya sebutkan ini dianggap cukup bagi orang-orang mengetahui. Dan semoga Allah memberi taufīq kepada kita.