001 Gejala Universal – Sejarah Maulid Nabi

SEJARAH MAULID NABI
Meneguhkan Semangat Keislaman dan Kebangsaan
Sejak Khaizurān (173 H.) Hingga
Ḥabīb Luthfī bin Yaḥyā (1947 M. – Sekarang)

Penulis: Ahmad Tsauri
Diterbitkan oleh: Menara Publisher

BAB I

MAULID NABI DAN PERAYAAN: GEJALA UNIVERSAL

Perayaan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ia telah ada sejak ribuan tahun lalu. (11) Media massa seperti TV, koran, dan majalah menyuguhkan kepada kita informasi penting mengenai perayaan di seluruh penjuru dunia. Ternyata ada banyak cara orang dalam merayakan sesuatu. Perayaan menggunakan musik, seni, budaya, dan makanan sebagai unsur utamanya.

Perayaan memperlihatkan bentuk hubungan manusia dengan lingkungannya. Perayaan juga menjadi upaya manusia untuk meneguhkan akar jati dirinya. Melalui budaya, manusia terhubungkan dengan alur sejarah. Perayaan mengajak manusia untuk sesekali kembali kepada dirinya. Oleh karena itu perayaan dibutuhkan manusia. Terutama di era global seperti saat ini saat manusia tertatih mencari kesaadaran dan imajinasinya di belantara informasi. Himpitan aneka informasi itu faktanya telah banyak membuat banyak orang tak tahu arah, tujuan dan prioritas dalam menjalani hidup. Perayaan adalah waktu yang disediakan untuk menapakkan diri pada tradisi dan sekaligus menengok masa lalu. Perayaan menjadi momentum penyadaran manusia, bahwa dirinya mempunyai asal-usul dan setiap orang mempunyai sejarah. Tidak seperti unta Nabi Shāliḥ yang keluar dari batu. (22) Tanpa latar historis. Di sini, ‘Ali Shariati menegaskan: “Masa lalu tanpa melihat ke depan adalah stagnasi, kemandegan. Masa depan dan kemajuan tanpa berpijak pada tradisi dan kesejarahan adalah kebodohan.”

Perayaan merupakan cara manusia mengekspresikan hubungan eksistensi mereka dengan lingkungannya. Baik disadari ataupun tidak, manusia akan selalu mencari bentuk-bentuk perayaan untuk tujuan tersebut. Sampai di sini, perayaan sepertinya sudah menjadi fitrah manusia. Karena fitrah, ia akan selalu mencari-cari saluran ekspresi. Tidak bisa keluar dari satu saluran, ia akan keluar dari saluran yang lain. (33).

Saudara-saudara Muslim yang ngotot berpendapat bahwa Maulid Nabi dan perayaan-perayaan tradisional seperti sedekah bumi adalah haram, terkadang tanpa mereka sadari malah melakukan perayaan dalam bentuk lain. Mereka boleh mengatakan Maulid Nabi dan sedekah bumi merupakan perilaku sinkretik, bid‘ah dan pemborosan. Tapi bagaimana dengan perayaan milad partai politik mereka yang menghabiskan dana ratusan miliar? Dana yang bisa digunakan untuk mengadakan seribu acara Maulid selama bertahun-tahun.

Bila argumennya adalah bersifat ekonomis, maka menarik menyimak pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia beberapa waktu lalu. Pada 2013 lalu, Wikileaks, sebuah situs pembocor rahasia Amerika Serikat memuat informasi Edward Snowden mengenai penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, akan menghentikan sementara sejumlah kerjasama yang selama ini dilakukan bersama Australia. Pernyataan tersebut disampaikan Presiden RI di depan wartawan dengan didampingi pejabat penting bidang luar negeri dan politik keamanan. Presiden mengatakan: “Saya minta dihentikan dulu kerjasama yang disebut pertukaran informasi dan pertukaran intelejen di antara kedua negara. Saya juga minta dihentikan dulu latihan-latihan bersama antara tentara Indonesia-Australia, baik Angkatan Darat, Laut dan Udara, maupun yang sifatnya gabungan”. (44) Sebelumnya pada tanggal 18 November 2013 Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengemukakan satu pernyataan yang serius. Dalam sebuah wawancara, reporter Metro TV dalam program Primetime News menanyakan: “Apakah kita akan meneruskan jalur komunikasi dan penyelesaian bilateral ataukah kita akan maju ke badan Internasional?” Marty Natalegawa menjawab: “…. Upaya kita tidak hanya bilateral, tidak hanya regional melainkan juga global. Bersama dengan negara-negara sehaluan dengan kita seperti Jerman, Brazil dan negara-negara lainnya.” Kemudian reporter bertanya kembali, “Kerjasama bilateral antara Australia dan Indonesia bernilai $14.6 M U.S.A., di tahun 2012. Indonesia adalah mitra dagang terbesar ke-12 bagi Australia. Bagaimana kita memastikan jika kita mereviem kerjasama-kerjasama terhadap Australia, apakah justru langkah ini malah balik merugikan Indonesia?” Jawaban Marty Natalegawa di luar dugaan, ia menjawab: “Apakah ada harga terhadap masalah kedaulatan, apakah ada harga terhadap prinsip menjaga dan menghormati prinsip kerahasiaan pribadi, privasi. Ini ada massage yang harus kita sampaikan, bahwa ini di abad 21 bukan era perang dingin. (55) Marty Natalegawa mengatakan bahwa tidak ada harga untuk kedaulatan bangsa Indonesia.

Di luar konteks itu, pernyataan Marty Natalegawa menjawab pertanyaan semua orang yang “mempertanyakan Maulid Nabi”, karena Maulid dianggap sebagai pemborosan. Bagi yang merayakan Maulid dapat mengemukakan kepada saudara Muslim yang mengatakan bahwa Maulid Nabi s.a.w. adalah pemborosan: “Apakah ada harga untuk mengajak umat untuk mencintai Nabinya?”

Teks-teks kuno menunjukkan dalam sepanjang sejarahnya, umat Islam antusias merayakan Maulid Nabi sampai munculnya Wahhabi. Peringatan Maulid di suatu kota pada umumnya dihadiri oleh umat Islam dari berbagai negeri. Maulid terkadang “dekat” dengan kekuasaan karena butuh biaya yang besar untuk menjamu, bahak memberi ongkos pulang jamaah Maulid yang datang dari berbagai penjuru negeri. Dahulu kala, umumnya Maulid dirayakan oleh raja-raja. Memang tidak ada standar dan kriteria khusus bagaimana perayaan Maulid Nabi. Merayakan kelahiran Nabi bisa dengan puasa Senin, sedekah, membagikan makanan pokok, membaca kisah Maulid, maupun mengadakan pengajian. Intinya merayakan Maulid Nabi adalah mensyukuri kelahiran Nabi s.a.w. yang diwujudkan dengan berbagai kebahagiaan apapun bentuknya. Bisa saja, mereka yang menganggap Maulid sebagai pemborosan, mengadakan Maulid hanya dengan membaca kisah Maulid seperti Simt-ud-Durar, al-Barzanji atau bacaan lainnya tanpa perlu mengeluarkan uang sedikitpun.

Kata “perayaan” dan “peringatan” dalam buku ini digunakan secara bergantian, tanpa tendensi apapun. Penggunaan kata “perayaan maulid Nabi” atau “merayakan maulid Nabi”, tidak berarti maulid Nabi menjadi perayaan ketiga setelah ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā, sebagaimana disangkakan sebagian orang, dan menganggapnya sebagai bid‘ah karena bertentangan dengan sebuah hadits yang menjelaskan, hanya ada dua hari raya dalam Islam, hari raya ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā. Pada saat saya mengatakan “wajib belajar 12 tahun”, datau “wajib ronda tiap minggu”, maksudnya bukan menganggapnya wajib sebagaimana kewajiban shalat, puasa dan kewajiban agama lainnya. Persoalan semantik, seringkali menjadi pintu masuk perselisihan. Sayyid Muḥammad bin ‘Alwī al-Mālikī al-Ḥasanī sangat menyayangkan, terjadi kesalah-fahaman seperti ini. Oleh sebab itu, beliau menyarankan kepada orang yang mempunyai prasangka demikian untuk melakukan klarifikasi (tabāyun). Dan beliau juga menekankan, umat Islam tidak meyakini maulid Nabi sama dengan hari raya ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā, dalam Islam (secara terminologi) hanya ada dua hari raya itu. Akan tetapi menurut Sayyid Muḥammad bin ‘Alwī al-Mālikī al-Ḥasanī, penggunaan kata ‘īd (hari raya) dalam bahasa ‘Arab secara etimologi (bahasa) untuk selain keduanya jama‘ digunakan. Tidak ada masalah. Dan meskipun umat Islam tidak meyakini maulid sebagai hari raya sebagaimana ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā, peringatan maulid Nabi lebih mulia dan utama daripada dua hari raya itu. Jika perayaan ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā masing-masing hanya satu kali dalam satu tahun, peringatan maulid Nabi s.a.w. harus (wajib) dilakukan sesering mungkin, tak terbatas waktu dan tempat. Karena kelahiran (maulid) Nabi s.a.w. bersifat niscaya, sebab kalau Nabi tidak dilahirkan, tidak ada bi‘tsah, tidak ada penurunan al-Qur’ān, tidak ada hijrah, tidak ada futūḥ Makkah, tidak ada isrā’ dan mi‘rāj, karena semuanya meniscayakan kelahiran Nabi s.a.w. (66)

Buku ini tidak membahas perdebatan hukum Maulid. Topik tersebut sudah penulis anggap selesai sejak ratusan tahun silam. Buku SEJARAH MAULID NABI Meneguhkan Semangat Keislaman dan Kebangsaan Sejak Khaizuran (173 H.) Hingga Ḥabīb Luthfī bin Yaḥyā (1947 M. – Sekarang) ini akan mencoba menunjukkan sejarah panjang perayaan Maulid Nabi. Buku ini akan mengulas praktik perayaan Maulid sejak abad kedua hingga abad kelima belas hijrah.

Berdasarkan penelusuran penulis, ditemukan bahwa umat Islam telah mengenal perayaan itu selama berabad-abad. Para pembesar negeri-negeri Muslim, pemimpin agama, dan masyarakat umum mengenal dan merayakan perayaan ini. Caranya bermacam-macam. Dari yang sederhana hingga yang bersifat massal.

Maulid Nabi dirayakan di berbagai Negara. Baik mayoritas Muslim, kecuali satu dua negara-negara tertentu, maupun minoritas Muslim.

Maulid Nabi, dalam sejarahnya memiliki peran politik luar biasa. Hal ini dapat dilihat beberapa babak sejarah yang melibatkan tradisi Maulid. Baik sebelum umat manusia mengenal konsep nasionalisme maupun sesudahnya. Di Indonesia, Maulid Nabi menjadi bukti nasionalisme keturunan ‘Arab. Sekalipun memiliki leluhur dari bangsa berbeda, namun kecintaan kepada negeri ini tidak kalah dengan mereka yang lahir besar, dan dari leluhur yang dianggap sebagai pribumi. Di sinilah semangat kebangsaan dalam perayaan Maulid Nabi yang digagas Ḥabīb Muḥammad Luthfī bin Yaḥyā.

Benang merah dari bab dua hingga tujuh adalah Maulid Nabi sepanjang sejarahnya menjadi media untuk meneguhkan nilai-nilai spiritual, integrasi sosial Muslim, dan ketika hadir konsep kebangsaan, Maulid hadir sebagai unsur yang mengukuhkan semangat tersebut. Oleh sebab itu sulit diterima jika perayaan kelahiran Nabi s.a.w. (baca: Maulid) “dilarang”, apalagi jika alasannya kultus; mempertuhankan. Perayaan, “apapun bentuknya” adalah cara untuk mengikatkan setiap individu pada akar sejarahnya. Hanya Allah s.w.t. yang “ada” di luar garis sejarah. Jadi, bagaimana mungkin dengan merayakan Maulid Nabi, kita mengkultuskan Nabi?

Dari sini, buku ini ingin memberikan argumentasi lain yang bersifat historis dan universal bahwa Maulid Nabi punya sejarah panjang bagi bangsa-bangsa Muslim selama berabad-abad. Selain bahwa perayaan ini bersifat universal meliput bangsa -bangsa yang berbeda-beda. Inilah historisitas Maulid Nabi berikut universalitasnya.

 

Catatan:


  1. 1). Mundzirīn Yūsuf, Makna dan Fungsi Gunungan pada Upacara Grebeg di Keraton Ngayoyyakarto Hadinigrat, (Yogyakarta: CV Amanah, 2009), Cet. I, Hlm. 14. 
  2. 2). As‘ad Maḥmūud Ḥumadī, Aisar-ut-Tafāsir: tasīr – asbāb nuzūl – aḥādīts, (Damaskus: 1992), Cet. II, Juz I, hlm. 391). 
  3. 3). Syekh Yūsuf Khathar Muḥammad, al-mausū‘at-ul-yūsufiyyah fī bayāni ‘adillat-ish-shūfiyyah, (Yaman: Dar al-Faqih: 2003), Cet. I, Hlm. 141). 
  4. 4). http:/bugisposonline.com/presiden-sby-tegas-ancam-putuskan-hubungan-ri-australia.htm. 
  5. 5). Wawancara Marty Natalegawa, Kita Tak Terima Alasan Australia, Sumber: https:/www.youtube.com/watch?v=X06smLCyKAA. 
  6. 6). Sayyid Muḥammad bin ‘Alwī al-Mālikī al-Ḥasanī, Ḥaulu iḥtifāli bi dzikr-il-maulid-in-Nabawi asy-Syarīf, (Beirut: al-Maktabah al-Ushriyah: 2010), Hlm. 10-11 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *