001 Apakah Merayakan Maulid Nabi Itu Wajib? – Wajibkah Memperingati Maulid Nabi S.A.W.?

Wajibkah
Memperingati Maulid
Nabi s.a.w.?

Diterjemahkan dari:
Ḥaulal Iḥtifāl Bidzikri al-Maulidin Nabawī asy-Syarīf
Karya:
As-Sayyid Muḥammad bin ‘Alawī al-Mālikī al-Ḥasanī

Penerjemah: Muhammad Taufiq Barakbah
Penerbit: Cahaya Ilmu

Apakah Merayakan Maulid Nabi Itu Wajib?

 

Masalah perayaan Maulid Nabi Yang Mulia masih tergolong suatu problem yang besar menurut sebagian orang-orang yang keras (ekstrim). Semoga Allah memberi mereka petunjuk ke jalan yang lurus.

Alhamdulillah, sungguh simpul-simpul pemikiran yang dahulu mengikat pikiran beberapa dari orang-orang tersebut sekarang sedikit banyak mulai terurai. Dengan berlalunya waktu, perubahan keadaan, perkembangan di berbagai aspek kehidupan, perbedaan tuntutan zaman dan kebudayaan, serta kondisi masyarakat dan kehidupannya, mereka telah memahami hakikat dan pokok permasalahannya.

Kemudian banyak di antara mereka yang meninjau kembali pendapatnya dalam menghukumi berbagai masalah ijtihādiyyah (yakni yang tak lepas dari kontroversi), yang mana dahulu mereka melihat masalah itu dengan pandangan dan hukum yang berbeda dengan pandangan mereka sekarang. Dan mereka pun berkomentar dengan komentar yang berbeda dengan yang dahulu mereka katakan. Bukti-bukti sejarah telah menjadi saksi atas hal itu. Dan barang siapa yang dipanjangkan usianya oleh Allah sehingga menyaksikan masa itu dan masa kini serta mendengarkan perkataan-perkataan tersebut dulu dan sekarang pastilah ia akan melihat perbedaannya dengan jelas tanpa tedeng aling-aling. Perubahan dan perkembangan ini tidak dialami oleh masalah Maulid Nabi Yang Mulia dan masalah Maulid ini tidak seberuntung masalah-masalah lainnya yang sejenis.

Oleh karena itu hingga sekarang kita masih mendengar masalah tahunan itu yang selalu muncul pada bulan Rabī‘-ul-Awwal yang bercahaya yakni masalah tentang Maulid Nabi Yang Mulia dan perayaannya. Kita juga masih mendengar perkataan-perkataan yang rendah (tidak berbobot) tentang majlis maulid yang mana mereka mengatakan bahwa di situ adalah tempat terjadinya kemungkaran, bercampurnya pria dan wanita, menyia-nyiakan shalat, permainan alat-alat musik, minum-minuman keras, dan dihadiri oleh orang-orang fāsiq (ahli maksiat), pemakan riba dan tukang bid‘ah dan khurafat (takhayul). Dan bahwa orang-orang yang merayakan maulid menjadikan maulid tersebut sebagai ‘īd (hari raya) syar‘iy seperti ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā. Sungguh telah kami jelaskan kebohongan perkataan mereka yang tak bernilai itu atau kebohongan orang yang memberi informasi tersebut kepada orang-orang yang meneriakkannya. Mereka secara jelas telah menyalahi al-Qur’ān:

يَا أَيَّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوْا.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. al-Ḥujurāt: 6).

Berapa kali kami jelaskan hal itu dan kami katakan bahwa sesungguhnya kelahiran Junjungan kita Nabi Muḥammad s.a.w. bukanlah ‘īd dan kami tidak menganggapnya sebagai ‘īd sebab ia (yakni maulid) lebih besar dari ‘īd dan lebih mulia darinya.

Sesungguhnya ‘īd hanya kembali setahun sekali. Adapun perayaan Maulid beliau s.a.w. mengenang beliau s.a.w. dan memperhatikan sejarah hidup beliau s.a.w. wajib untuk selalu dilakukan dan tidak terikat dengan tempat dan waktu.

Barang siapa yang menyebutnya dengan istilah ‘īd maka ia tidak mengerti dan itu hanya terjadi pada kalangan orang awam. Namun mereka tidak bermaksud bahwa itu adalah ‘īd syar‘i yang telah kita kenal seperti ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā. Mereka menyebutnya ‘īd hanya karena mengikuti kebiasaan orang dalam mengungkapkan kegembiraan dan kebahagiaan mereka dengan mengatakan:

هذَا يَوْمُ عِيْدٍ…… وَ قُدُوْمُكُمْ عِيْدٌ……. وَ لِقَاؤُكُمْ عِيْدٌ.

Artinya: “Ini adalah ‘īd (hari raya)….. kedatangan anda merupakan ‘īd (hari raya),….. pertemuan dengan anda merupakan ‘īd.”

Dan semua syair ‘Arab penuh dengan ungkapan-ungkapan semacam itu. Seperti kata salah seorang penyair:

Sesungguhnya ‘īdku adalah hari di mana

aku datang ke kampung mereka

dan aku menyimpuhkan mataku

untuk menyentuh tanah mereka.

‘Īd, ‘īd, dan ‘īd ketiganya berkumpul

yakni (melihat) wajah sang kekasih, ‘Īd-ul-Fithri, dan hari Jum‘at.

Dari sinilah kita tahu mengapa orang-orang awam itu mengatakan: “‘Īd-ul-Maulid (Hari Raya Maulid), al-‘Īd-un-Nabawiy (Hari Raya Nabawi)” dan sebagainya yang tergolong ke dalam ungkapan-ungkapan atau kata-kata yang berkaitan dengan hal ini.

Telah maklum bahwa menurut keyakinan kita dalam Islam tidak ada hari raya lain selain dua hari raya yakni ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā, akan tetapi hari kelahiran Nabi adalah lebih besar dan lebih agung dari ‘īd walaupun kita tidak menamakannya sebagi ‘īd. Beliaulah yang datang membawa ‘īd dan kegembiraan. Seluruh hari-hari mulia yang ada dalam Islam adalah termasuk budi baik beliau s.a.w. Kalau bukan karena kelahiran Nabi kita s.a.w. maka tidak mungkin ada hari pengutusan beliau sebagai nabi dan rasūl, tidak ada Nuzūl-ul-Qur’ān, tidak ada al-Isrā’ wal-Mi‘rāj, tidak ada hijrah, tidak ada pertolongan Allah pada Perang Badar, dan tak ada pula Fatḥu Makkah (penaklukan kota Makkah). Sebab kesemua itu berkaitan dengan pribadi beliau s.a.w. dan dengan kelahiran beliau s.a.w. yang mana peristiwa kelahiran beliau s.a.w. merupakan sumber dari segala kebaikan yang agung itu. As-Sayyid Muḥammad Amīn Kutbī – semoga Allah mengasihinya – berkata:

يَا لَيْلَةَ الْإِثْنَيْنِ مَاذَا صَافَحَتْ

يُمْنَاكَ مِنْ شَرَفٍ أَشُمُّ وَ مِنْ غِنَى

Wahai Hari Senin apakah gerangan Yang berada dalam genggaman

tangan kananmu dari kemuliaan yang semerbak serta kekayaan.

كُلُّ اللَّيَالِي الْبِيْضِ فِي الدُّنْيَا لَهَا

نَسَبٌ إِلَيْكَ فَأَنْتَ مِفْتَاحُ السَّنَا

Semua malam yang mulia yang ada di dunia

pastilah ia berkaitan denganmu hai kunci keluhuran

فَالْقَدْرُ وَ الْأَعْبَادُ وَ الْمِعْرَاجُ مِنْ

حَسَنَاتِكَ اللَّاتِيْ بَهَرْنَ الْأَعْيُنَا

Lailat-ul-Qadr dan seluruh hari raya serta mi‘rāj Nabi yang mulia

semua itu tak lain ialah hanya setitik kebaikanmu nan menyejukkan mata.

Dan sebelum saya merinci dalil-dalil yang menunjukkan tentang kebolehan merayakan Maulid Nabi Yang Mulia dan berkumpul untuk merayakannya, terlebih dahulu saya ingin menjelaskan beberapa masalah berikut ini:

1. Kami merayakan Maulid Nabi Muḥammad s.a.w. selalu dan selamanya di setiap waktu, setiap momen (peringatan), dan di setiap kesempatan yang mana di sana ada kegembiraan, kebahagiaan, dan semangat. Lebih-lebih lagi pada bulan kelahiran beliau s.a.w. yaitu bulan ar-Rabī‘-ul-Awwal dan di hari kelahiran beliau yakni Hari Senin. Dan tidaklah pantas bagi seorang yang berakal jika ia bertanya: “Mengapa kalian merayakannya?” Karena itu sama halnya dengan ia menanyakan: “Mengapa kalian bergembira karena kelahiran Nabi s.a.w.?” Dan seolah-olah ia juga berkata: “Mengapa kalian merasa gembira dan bahagia karena Orang Yang Di-Isrā’-kan dan Di-Mi‘rāj-kan ini?” Apakah pantas pertanyaan seperti ini muncul dari seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muḥammad ialah Utusan Allah?”

Sebab itu adalah sebuah pertanyaan basi yang tak memerlukan jawaban. Cukuplah bagi orang yang ditanya untuk menjawabnya dengan mengatakan: “Saya merayakannya sebab saya senang dan gembira dengan kelahiran Nabi s.a.w. dan saya senang serta gembira karena saya cinta kepada beliau s.a.w. dan saya cinta pada beliau sebab saya adalah seorang mu’min.

2. Yang kami maksud dengan perayaan di sini adalah kita berkumpul untuk menyimak atau mendengarkan sejarah hidup beliau, bershalawat dan bersalam kepada beliau, mendengar puji-pujian yang digubah untuk beliau, memberi makan dan menghormati orang-orang faqir dan yang membutuhkan bantuan serta membagi kegembiraan bersama para pecinta Rasūlullāh s.a.w.

3. Kami tidak mengatakan bahwa perayaan maulid seperti yang tersebut di atas pada malam tertentu dan dengan tatacara tertentu itu adalah termasuk hal-hal yang di-nash-kan (ditetapkan) oleh syariat kita secara jelas seperti halnya shalat, puasa, dan lain-lain. Hanya saja tiada satupun dalil dalam syariat yang melarang hal tersebut. Sebab berkumpul untuk mengingat Allah (berzikir), mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasūlullāh s.a.w. dan kegiatan-kegiatan baik yang semacamnya, itu semua adalah termasuk hal-hal yang patut diperhatikan sebisa mungkin, khususnya pada bulan kelahiran beliau s.a.w. Sebab pada saat sepert itu dorongan untuk melakukan hal itu lebih kuat karena adanya sambutan yang serentak dari orang-orang, serta kebersamaan mereka dan menyatunya perasaan mereka yang meluap-luap karena terikat dan terbawa oleh suasana pada saat tersebut, sehingga mereka satu sama lain saling mengingatkan akan momen berharga tersebut, yang hadir mengingatkan yang tidak hadir.

4. Perkumpulan-perkumpulan tersebut merupakan sarana yang besar untuk berdakwah, menyeru manusia ke jalan Allah, dan ini merupakan kesempatan emas yang tak seharusnya dilewatkan. Bahkan para da‘i dan para ulama – dalam kesempatan ini – seharusnya mengingatkan umat ini kepada Nabi mereka, kepada akhlak, sopan santun, keadaan serta perjalanan hidup beliau s.a.w., interaksi beliau s.a.w. dengan masyarakat sehari-harinya, dan ibadah beliau s.a.w. Dan hendaknya mereka selalu menasehati dan menunjukkan umat ini kepada kebaikan dan keberuntungan, serta memperingatkan mereka dari segala bala’, bid‘ah, kejelekan dan fitnah. Kami pun berkat karunia Allah selalu menyeru mereka kepada kebaikan tersebut dan berpartisipasi dalam hal tersebut dan kami katakan kepada mereka: “Tujuan dari perkumpulan ini bukan hanya sekedar berkumpul dan acara seremonial saja. Namun ini merupakan sarana yang agung untuk menuju tujuan yang agung pada. Oleh karena itu barang siapa yang tidak dapat mengambil manfaat dari peringatan ini bagi agamanya maka ia tidak memperoleh kebaikan dan maulid yang mulia ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *