Pendahuluan
Jangan Merasa Benar Sendiri
Mungkin anda yang benar, saya keliru.
Mungkin juga anda keliru, saya yang benar.
Kepada seorang komandan pasukan,
Rasulullah s.a.w. pernah berwasiat:
“Karena kau tidak tahu, apakah keputusanmu
(pasti) sesuai hukum Allah terhadap mereka itu ataukah tidak.”
Mungkinkah Nabi s.a.w. telah menjelaskan hukum merayakan hari kelahirannya, dan setelah era beliau berlalu, muncul perdebatan sengit apakah hukum merayakan Maulid itu sunnah yang dianjurkan ataukah bid‘ah yang sesat, padahal semua bid‘ah tempatnya di neraka?
Tentu tidak mungkin, sebab hukum memperingati Maulid memang berada pada lapangan ijtihad, yaitu ketika nash agama, baik al-Qur’ān maupun al-Ḥadīts, tidak menjelaskannya secara eksplisit dan spesifik. Kecuali, jika kita abaikan salah satu kaidah agama dalam menilai berbagai permasalahan ijtihad serta hukum yang diperdebatkan, yaitu sabda Rasūlullāh s.a.w.:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَ إِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
“Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala, namun ketika memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan salah, ia mendapat satu pahala.”
Hadits di atas secara tegas menyatakan orang yang salah dalam berijtihad bukan berarti melakukan amalan bid‘ah ataupun sesat karena Allah s.w.t. tidak memberi pahala bid‘ah, bahkan setiap bid‘ah itu sesat dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.
Antara Membangkan dan Berijtihad
Ada beberapa kemungkinan bagi kalangan yang menyesatkan kelompok lain dalam masalah peringatan Maulid ini.
Pertama, mereka tak mengetahui kaidah di atas. Kedua, mereka pura-pura tidak tahu adanya argumentasi pihak yang berseberangan, yang disebabkan adanya faktor dan tujuan pribadi. Ketiga, mereka mengira masalah ini dan masalah-masalah serupa lainnya bukan masalah ijtihad, tapi sesuatu yang sudah jelas, sehingga dengan mudah ia menyesatkan orang lain yang berpaling atau menentang masalah ini.
Dengan alasan apapun, siapapun yang menganjurkan perayaan Maulid tidak bisa dan tidak layak dituduh menentang ajaran-ajaran yang telah jelas. Perhatikan siapakah mereka yang dituduh seperti itu; mereka adalah para imam terpecaya, seperti al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar dan al-Ḥāfizh as-Suyūthī; lalu perhatikan siapa anda, para pengingkar anjuran perayaan Maulid itu, yang gemar membawa pandangan sembrono sampai menyatakan bahwa para imam besar itu tidak boleh diikuti karena pendapatnya keliru.
Anda, yang tidak sependapat dengan anjuran merayakan Maulid, menganggap mereka keliru? Baik. Pertanyaannya, apakah para imam terpercaya itu keliru dengan menyalahi pengamalan agama yang nashnya jelas dan tegas, ataukah mereka keliru dalam masalah-masalah ijtihad?
Jika para imam tersebut keliru dengan menyalahi ajaran-ajaran agama yang sudah jelas hukumannya, berarti kesalahan tersebut adalah sikap pembangkangan. Allah s.w.t. berfirman mengenai orang-orang yang berbuat demikian:
وَ لَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَ اخْتَلَفُوْا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَ أُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ.
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Qs. Āli ‘Imrān [3]: 105).
Apakah ini layak bagi imam-imam seperti Ibnu Ḥajar dan as-Suyūthī?! Jika mereka keliru dalam masalah-masalah ijtihad, toh Nabi s.a.w. bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَ إِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
“Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala, namun ketika memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan salah, ia mendapat satu pahala.”
Dan Allah s.w.t. tidak memberi pahala untuk bid‘ah.
Maulid dan para Ḥāfizh.
Kita, yang tinggal di Nusantara, mungkin hanya mengenal sedikit kitab Maulid. Padahal kitab Maulid karya para ulama itu jumlahnya sangat banyak, lantaran perhatian khusus mereka terhadap momentum agung tersebut. Sebagaimana disusun oleh para Ḥāfizh, di antaranya adalah:
Dunia Islam menyematkan gelar “al-hafizh” kepada para ulama ahli hadits yang memiliki hafalan lebih dari seratus ribu hadits (pendapat lain menyebut angka tiga ratus ribu hadits) baik matan (redaksi) maupun sanad (mata rantai periwayatan)-nya. Mereka adalah para hafizh yang lebih memahami hadits dari para pengingkar Maulid.
Tidakkah kita bisa berbaik sangka sedikit pun, apalagi kepada para ulama seperti mereka? Bahkan seringkali vonis bid‘ah, kafir, dan syirik terlontarkan kepada mereka, hanya dengan bermodalkan dalil kullu bid‘atin dhalālah, tanpa mau mendengar pendapat para ulama yang lebih alim dan lebih wara‘. Semoga Allah s.w.t. menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam memahami kebenaran dan mengikutinya.
Ijtihad Manusia, bukan Kepastian dari Tuhan.
Anda tidak bisa membid‘ahkan dan menyatakan Ibnu Ḥajar sesat dan berbuat bid‘ah meski menurut anda itu salah. Boleh jadi, justru anda yang salah. Jika anda, atau ulama panutan anda, berpendapat bahwa perayaan Maulid itu keliru, lalu merayakannya, itu baru berarti anda melakukan bid‘ah dan anda sesat. Sementara bagi yang tidak sependapat dengan anda, tidak seperti itu.
Disebutkan, Imām Aḥmad bin Ḥanbal dan para pengikutnya berdoa: “Ya Allah aku memohon kepadamu dengan perantara Nabi-Mu, ampunilah aku.”
Ia melakukan sesuatu yang menurutnya baik dan mendapat dua pahala jika benar, atau satu pahala jika salah. Lain halnya kalau yang berdoa itu adalah Ibnu Taimiyyah, Muḥammad bin ‘Abd-il-Wahhāb, al-Albānī, atau para pengikutnya, yang berpandangan doa denggan bertawassul adalah suatu hal yang bid‘ah dan sesat. Kalau mereka berdoa dengan ucapan itu, mereka menanggung dosa dan hukumannya. Hal senada berlaku dalam semua masalah ijtihad yang diperdebatkan, baik yang dianjurkan atau dilarang.
Dalam masalah-masalah ijtihad, mujtahid tidak harus puas dengan dalil-dalil pihak yang berseberangan, tapi masing-masing kubu harus puas dengan adanya kemungkinan bahwa salah satu di antara kedua pihak adalah salah, seperti yang Rasūlullāh s.a.w. sampaikan dalam sebuah wasiat yang beliau sampaikan pada seorang komandan pasukan: “Karena kau tidak tahu apakah putusanmu sesuai hukum Allah terhadap mereka itu ataukah tidak.”
Hadits ini secara tegas menyatakan, seorang mujtahid tidak bisa memastikan dirinya pasti benar dan kalangan yang tidak sependapat pasti salah.