BĀB 1
‘ILMU TASHAWWUF, MADZHAB QAUM SHŪFĪ DAN KEDUDUKAN MEREKA DENGAN ORANG-ORANG BER‘ILMU YANG MENEGAKKAN KE‘ADILAN.
Syekh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Ada seorang penanya yang bertanya kepadaku tentang ‘ilmu tashawwuf dan madzhab kaum Shūfī. Sementara ia telah mengira, bahwa orang-orang telah berbeda pendapat tentang hal itu. Di mana ada sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam memberikan penghormatan dan mengangkatnya di atas hal yang tidak sewajarnya. Ada yang mengeluarkan dari batas-batas rasional dan kemampuan manusia biasa. Ada pula yang beranggapan, bahwa tashawwuf adalah bentuk perilaku yang tidak ada gunanya dan main-main serta penuh apatisme terhadap kebodohan-kebodohan. Ada yang beranggapan bahwa itu adalah ketakwaan dan asketisisme (hidup sederhana), mengenakan pakaian dari bulu (wool), memaksakan diri untuk menyusun dan memilih kata-kata indah, pakaian dan lain-lain. Sementara di sisi lain, ada pula yang terlalu berlebihan dalam mencelanya hingga tak jarang ada yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang zindiq dan orang-orang yang sesat. Sehingga si penanya tadi memintaku untuk menerangkan yang sebenarnya tentang pokok-pokok ajaran madzhab mereka yang didukung dengan dalīl Kitāb Allah ‘azza wa jalla, mengikuti jejak Rasūlullāh s.a.w., berakhlak dengan akhlak para shaḥābat dan tābi‘īn, beretika dengan adab dan sopan santun hamba-hamba Allah yang saleh. Semua yang saya uraikan harus didukung dengan al-Kitāb dan diperkuat dengan ḥujjah (argumentasi). Dengan harapan agar kebenaran tampak benarnya dan ketidakbenaran (kebatilan) jelas tidak benarnya. Selain itu, agar bisa diketahui mana yang serius dan mana pula yang main-main, mana yang sehat dan mana yang tidak sehat (sakit). Dan hendaknya semua itu diletakkan dalam posisi yang sebenarnya. Sebab hal itu termasuk ‘ilmu-‘ilmu agama.
Maka saya katakan – dan semoga Allah memberi taufīq pada kita: Sesungguhnya Allah telah menetapkan dengan gamblang pokok-pokok ajaran agama. Dia runtuhkan syubhat (ketidakjelasan) dari hati orang-orang mu’min denga cara-cara berpegang teguh pada Kitāb Allah dan merujuk pada setiap seruan yang sampai padanya, sebagaimana yang diperintahkan kepada mereka. Karena Allah telah berfirman:
وَ اعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَ لَا تَفَرَّقُوْا
“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.”
Begitu juga firmanNya:
وَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوَى
“Dan saling bantu-membantulah kalian dalam kebaikan dan taqwā.”
Kemudian Allah menyebutkan orang-orang mu’min yang termulia derajatnya dan tertinggi kedudukannya dalam agama. Dia sebutkan mereka setelah para malaikat dan Dia bersaksi atas kesaksian mereka akan Kemahaesaan (Waḥdāniyyah) Nya setelah Dia sendiri memulai dan memuji para malaikat Nya. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ وَ الْمَلَائِكَةُ وَ أُولُوا الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ
“Allah menyatakan bahwa, tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang menegakkan Ke‘adilan. Para malaikat dan orang-orang yang ber‘ilmu (juga menyatakan yang demikian itu).”
Sementara itu ada Ḥadīts yang diriwāyatkan dari Rasūlullāh s.a.w., beliau bersabda:
“Para ‘ulamā’ adalah pewaris para nabi.”
(H.R. Abū Dāūd, Tirmidzī, Ibnu Mājah, Aḥmad dan al-Ḥākim)
Menurut pandangan saya, – dan hanya Allah yang Mahatahu – bahwa orang-orang ber‘ilmu yang menegakkan ke‘adilan adalah pewārits para nabi. Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitāb Allah, bersungguh-sungguh untuk mengikuti ajaran Rasūlullāh s.a.w., berjalan mengikuti jejak para shaḥābat dan tābi‘īn dan merambah jalan di belakang para wali-Nya yang bertaqwā dan hamba-hambaNya yang shāliḥ.
Mereka itu terbagi dalam tiga kelompok. Para ahli ḥadīts, para ahli fiqih dan qaum Shūfī. Merekalah orang-orang yang ber‘ilmu yang menegakkan ke‘adilan dan pewārits para nabi yang sebenarnya.
Sementara itu macam-macam ‘ilmu pengetahuan juga banyak. Maka ‘ilmu agama ada tiga macam: ‘Ilmu al-Qur’ān, ‘ Ilmu Ḥadīts (Sunan) dan Bayān. Sementara ‘ilmu ḥaqīqat keīmānan adalah ‘ilmu yang populer di kalangan tiga kelompok orang-orang ber‘ilmu yang menegakkan ke‘adilan sebagaimana di atas.
Sedangkan semua ‘ilmu itu tak akan keluar dari tiga kategori ‘ilmu tersebut, ya‘nī ayat-ayat dari Kitāb Allah ‘azza wa jalla, Ḥadīts yang datang dari Rasūlullāh s.a.w., atau hikmah-hikmah yang terbersit dalam hati nurani para wali Allah.
Adapun dalīl yang memperkuatnya adalah Ḥadīts tentang keīmānan, di mana Jibrīl a.s. bertanya kepada Nabi Muḥammad s.a.w. tentang pokok-pokok ajaran agama yang ada tiga: Tentang Islām, Īmān, dan Iḥsān secara lahir, bāthin dan ḥaqīqat. Maka Islām itu bersifat lahiriah, sedangkan īmān itu bersifat lahir dan bāthin, sementara iḥsān adalah ḥaqīqat lahiriah dan bāthiniah. Ini adalah sebagaimana jawāban Rasūlullāh s.a.w. atas pertanyaan Jibrīl a.s. tentang iḥsān: “Iḥsān ialah hendaknya engkau ber‘ibādah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Akan tetapi apabila engkau tak sanggup melihat-Nya maka sesungguhnya Dia (selalu) melihatmu.” Lalu Jibrīl membenarkannya. (H.R. Bukhārī-Muslim, Abū Dāūd, Ibnu Mājah dan Aḥmad)
‘Ilmu itu seharusnya selalu diikuti dengan ‘amal. Sedangkan ‘amal hendaknya selalu dibarengi dengan ikhlāsh. Sementara ikhlāsh adalah tindakan seorang hamba dengan ‘ilmu dan ‘amalnya hanya menginginkan ridhā Allah semata.
Sedangkan tiga kelompok manusia tersebut berbeda qadarnya dalam ‘ilmu dan ‘amal. Dalam tujuan dan derajatnya pun berbeda-beda. Allah telah menerangkan tingkat perbedaan keutamaan dan derajat mereka sebagaimana firman-Nya:
يَرْفَعُ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
المجادلة:11
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang berīmān di antaranmu dan orang-orang yang diberi ‘ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(Al-Mujādilah:11)
Sebagaimana juga firman-Nya:
وَ لِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوْا
الأحقاف:19
“Dan bagi masing-masing mereka derajat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
(Al-Aḥqāf:19)
Demikian pula firman-Nya:
اُنْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلى بَعْضٍ
الإسراء:21
“Dan lihatlah bagaimana Kami muliakan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain).”
(Al-Isrā’:21)
Rasūlullāh s.a.w bersabda:
النَّاسُ أَكْفَاءُ مُتَسَاوُوْنَ كَأَسْنَانِ الْمُشْطِ، لاَ فَضْلَ لأَحَدٍ عَلى أَحَدٍ إِلاَّ بِالْعِلْمِ وَ التُّقٰى
رواه الديلمي عن سهل بن سعيد و أنس
“Manusia itu semuanya sama, laksana gigi-gigi sisir. Tak ada kelebihan yang satu atas yang lain kecuali dengan ‘ilmu dan taqwā.”
(H.R. Ad-Dailamī, dari Sahl bin Sa‘īd dan juga Anas)
Maka barang siapa mendapatkan kesulitan tentang masalah pokok-pokok ajaran agama, masalah-masalah non-prinsip dan kasuistik (Furū‘), ḥaqq-ḥaqq dan ḥaqīqatnya, batas-batas ketentuan dan hukumnya, baik secara lahiriah maupun bāthiniah, hendaknya selalu merujuk kepada tiga golongan tersebut: Ahli Ḥadīts, ahli fiqih dan ahli Shūfī. Masing-masing golongan tersebut dari mereka bercirikan ‘ilmu, ‘amal, ḥaqīqat dan kondisi spiritual tertentu. Masing-masing dari mereka memiliki ‘ilmu, ‘amal, kedudukan (maqām), ucapan (maqāl), kepahaman, tempat, fiqih dan penjelasan (bayān), yang diketahui oleh mereka yang mengerti dan tidak bisa diketahui oleh mereka yang bodoh. Sementara itu, tidak seorang pun yang sanggup mencapai derajat kesempurnaan yang menguasai seluruh disiplin ‘ilmu, ‘amal dan aḥwāl (bentuk jama‘ dari ḥāl). Masing-masing dari mereka memiliki kedudukan (maqām) tertentu, di mana Allah telah memberhentikan sampai di situ, dan tempat di mana Allah telah menahannya di situ.
Saya akan berusaha menerangkan semua itu, – jika Allah s.w.t. menghendakinya – sesuai dengan kemampuan yang saya miliki. Bahwa dengan bercirikan ‘ilmu dan ‘amal di mana masing-masing kelompok dari mereka bisa ditengarai? Dengan kondisi spiritual bagaimana pula mereka bisa saling melebihi terhadap yang lain? Siapa yang paling tinggi derajatnya di antara mereka? Dengan penjelasan yang ‘aqal anda tidak akan sanggup menolaknya dan tingkat pemahaman anda sanggup menguasainya – In syā’ Allāh.