00 Bab 17 Sifat-sifat Orang ‘Arif Dan Pendapat Mereka Tentang Hal Itu – Al Luma’

Dari Buku:
Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf
Judul Asli: Al-Luma'
Oleh: Abu Nashr as-Sarraj
Penerjemah: Wasmukan dan Samson Rahman, MA.
Penerbit: Risalah Gusti, Surabaya.

XVII

SIFAT ORANG-ORANG ‘ĀRIF DAN PENDAPAT MEREKA TENTANG HAL ITU.

 

Yaḥyā bin Mu‘ādz ar-Rāzī – raḥimahullāh – berkata: “Selama seorang hamba menempuh proses ma‘rifat (mengenal Allah), maka akan dikatakan padanya: “Janganlah anda memilih sesuatu. Janganlah anda bersama pilihan atas dasar keinginan anda sendiri sehingga anda benar-benar menjadi orang ‘ārif. Ketika ia sudah mengenal Tuhannya dan menjadi orang ‘ārif, maka dikatakan padanya: “Jika anda mau memilih, maka silakan memilih, dan jika tidak ingin memilih maka silakan tidak memilih. Sebab jika anda memilih maka anda memilih dengan pilihan Kami. Dan jika anda tidak memilih, maka keputusan anda untuk tidak memilih juga karena pilihan Kami. Karena anda selalu bersama Kami dalam memilih atau tidak memilih.

Yaḥyā bin Mu‘ādz ar-Rāzī – raḥimahullāh – juga pernah berkata: “Dunia itu ibarat sepasang temanten. Barang siapa mencarinya maka ia akan bersusah-payah memoles dan meriasnya. Sedangkan seorang yang zahid akan dunia, ia akan menghitamkan wajah dunia, mencabuti rambut dan akan mengoyakkan pakaian dunia. Sementara orang yang ‘ārif kepada Allah akan selalu disibukkan dengan Tuannya dan tak akan pernah menoleh pada dunia.

Ia melanjutkan ucapannya, “Ketika seorang yang ‘ārif meninggalkan etikanya di saat ia ma’rifat pada Tuhannya, maka ia benar-benar akan hancur bersama orang-orang yang hancur.

Dzun-Nūn al-Mishrī – raḥimahullāh – berkata: “Tanda-tanda orang yang ‘ārif ada tiga: Pertama, sinar (nūr) ma’rifatnya tidak memadamkan sinar wara’nya. Kedua, secara bāthin tidak berkeyakinan suatu ilmu di mana hukum lahiriah (syarī’at)nya merusak keyakinan tersebut. Ketiga , banyaknya ni’mat Allah dan kemuliaan (karāmah) yang diberikan kepadanya tidak mendorongnya untuk memporak-porandakan tirai larangan-larangan Allah swt.

Sebagian dari kalangan Shūfī mengatakan, “Bukanlah seorang ‘ārif yang menerangkan: ma‘rifat kepada putra-putra pecandu akhirat. Lalu bagaimana ia menerangkannya kepada putra-putra pecandu dunia.

Ada pula yang mengungkapkan: “Bila seorang ‘ārif menoleh (memperhatikan) kepada makhluk dan berpaling dari Dzāt Yang diketahuinya tanpa mendapatkan izin dari-Nya, maka ia akan menjadi hina di kalangan makhluk-Nya.

Sebagian lain mengatakan, “Bagaimana anda bisa mengetahui-Nya, sementara dalam hati anda tak ada kendali yang mampu menguasai rasa hormat dan kemuliaan-Nya? Bagaimana anda bisa mengingat dan mencintai-Nya, sementara dalam hati anda tak ada wujud kelembutan kasih-sayangNya, dan anda telah lalai dengan nikmat yang diingatkan pada anda sebelum diciptakan-Nya?

Saya pernah mendengar Muḥammad bin Ḥamdun al-Farrā’ – raḥimahullāh – berkata: “Saya mendengar ‘Abd-ur-Raḥmān al-Fārisī, saat ditanya tentang paripurna ma‘rifat. Kemudian ia menjawab: “Apabila hal-hal yang beraneka ragam telah berkumpul menjadi satu, berbagai kondisi dan tempat telah sejajar dan tidak lagi melihat adanya perbedaan.

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata : “Maknanya ialah waktu seorang hamba hanyalah satu waktu tanpa ada perubahan. Sementara seorang hamba dalam segala kondisinya selalu dengan Allah dan untuk Allah dan meninggalkan apa yang selain Allah. Saat itulah ia dalam kondisi spiritual yang sebenarnya.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *