00 Bab 16 Ma’rifat, Sifat-sifat Orang ‘Arif Dan Haqiqatnya … – Al Luma’

Dari Buku:
Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf
Judul Asli: Al-Luma'
Oleh: Abu Nashr as-Sarraj
Penerjemah: Wasmukan dan Samson Rahman, MA.
Penerbit: Risalah Gusti, Surabaya.

BAB XVI

MA‘RIFAT SIFAT-SIFAT ORANG ‘ĀRIF DAN ḤAQĪQATNYA

Abū Sa‘īd al-Kharrāz – raḥimahullāh – pernah ditanya tentang ma‘rifat. Lalu ia menjawab: “Ma‘rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan Kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.

Sementara itu Abū Turāb an-Nakhsyabī – raḥimahullāh – ditanya tentang sifat orang yang ‘ārif, lalu ia menjawab: “Orang ‘ārif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.

Aḥmad bin ‘Athā’ – raḥimahullāh – berkata: “Ma‘rifat itu ada dua: Ma‘rifat al-Ḥaqq dan ma‘rifat hakikat. Adapun ma‘rifat al-Ḥaqq adalah ma‘rifat (mengetahui) Waḥdāniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma‘rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk) –Nya, dan mengaktualisasikan Rubūbiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:

وَ لاَ يُحِيْطُوْنَ بِهِ عِلْمًا

Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya.

(Thāhā: 110)

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – menjelaskan: Makna ucapan Aḥmad bin ‘Athā’: “Tak ada jalan menuju ke sana.” Yakni ma‘rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, di mana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma‘rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma‘rifat-Nya tidak akan dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma‘rifat (mengetahui) Dzāt Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?

Oleh karenanya ada orang berkata: “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah s.w.t. berfirman:

وَ لاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بَمَا شَاءَ

Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari Ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.

(al-Baqarah: 255)

Sejalan dengan makna itu, ada riwayat dari Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. yang pernah berkata: “Mahasuci Dzāt Yang tidak membuka jalan untuk ma‘rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.

Asy-Syiblī – raḥimahullāh – pernah ditanya: “Kapan seorang ‘ārif berada dalam tempat kesaksian al-Ḥaqq?”

Ia menjawab: “Tatkala Dzāt Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fanā’ (sirna), indera dan perasaan pun menjadi hilang.

“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”

Ia menjawab: “Awalnya adalah ma‘rifat-Nya dan ujungnya adalah menauhidkan-Nya.

Ia melanjutkan: “Salah satu dari tanda ma‘rifat adalah melihat dirinya berada dalam “Genggaman” Dzāt Yang Maha Agung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma‘rifat adalah rasa cinta (al-maḥabbah). Sebab orang yang ma‘rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.

Abū Yazīd Thaifur bin ‘Īsā al-Bisthāmī – raḥimahullāh – pernah ditanya tentang sifat orang ‘ārif. Lalu ia menjawab: “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzāt Yang memiliki dan menguasainya.

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – menjelaskannya: Artinya: hanya Allah Yang Maha Tahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah ‘azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati murninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.

Al-Junaid – raḥimahullāh – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang yang ‘ārif (al-‘ārifīn). Kemudian ia menjawab: “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.

Sebagian dari para tokoh Shūfī ditanya tentang ma‘rifat. Lalu ia menjawab: “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan (rahasia-rahasia yang halus) apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.

Al-Junaid – raḥimahullāh – ditanya: “Wahai Abul-Qāsim (nama lain dari panggilan al-Junaid, pent.) apa kebutuhan orang-orang yang ‘ārif kepada Allah?”

Ia menjawab: “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.

Muḥammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandī – raḥimahullāh – berkata: “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang ‘ārif adalah berkat Dzāt Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzāt Yang mewujudkannya.

Muḥammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya: “Apa yang dibutuhkan orang-orang ‘ārif?”

Ia menjawabnya: “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqāmah.

Yaḥyā bin Mu‘ādz – raḥimahullāh – ditanya tentang sifat orang ‘ārif, maka ia menjawab: “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.

Dalam kesempatan lain ia ditanya tentang orang yang ‘ārif, maka ia menjawab: “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.

Abul-Ḥusain an-Nūrī – raḥimahullāh – ditanya: “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal?”

Ia menjawab: “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzāt Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzāt Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzāt Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan “di mana” terhadap Dzāt Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.

Kemudian ia melanjutkannya: “Al-Azaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan bāthin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan anda dan suatu saat menghadirkan anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubūdiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya: “Kun (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.

Saya (Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj) berkata: Makna dari ucapan an-Nūrī: “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang ghaib.

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Maha Tahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah s.w.t. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridhā), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Ḥaqq s.w.t. – Dan hanya Allah Yang Maha Tahu.

Aḥmad bin ‘Athā’ – raḥimahullāh – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma‘rifat. Di mana hal ini konon juga diceritakan dari Abū Bakar al-Wāsithī. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Aḥmad bin ‘Athā’: “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi ḥijāb-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Di mana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti-bukti tertutup ḥijāb-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata. Pent.).”

Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Aḥmad bin ‘Athā’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abū Sulaimān ‘Abd-ur-Raḥmān ad-Dāranī – raḥimahullāh – di mana ia berkata: “Bukanlah perbuatan-perbuatan (‘amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridhā) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (‘amal) orang-orang yang diridai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.

Sedangkan makna ucapan Aḥmad bin ‘Athā’: “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi ḥijāb-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan: “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Ḥadīts: Di mana Rasūlullāh s.a.w. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitāb: Satu Kitāb di tangan sebelah kanan, dan satu Kitāb yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata: “Ini adalah Kitāb catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah Kitāb catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.

(H.R. Tirmidzī dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin ‘Ash. Ḥadīts ini Ḥasan Shaḥīḥ Gharīb. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrānī, dari Ibnu ‘Umar.)

Ketika Abū Bakar al-Wāsithī – raḥimahullāh – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Shūfī, maka ia berkata: “Diri (nafsu) mereka (kaum ‘ārif) telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujūd-Nya al-Ḥaqq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.

Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Maha Tahu: “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *