00 Bab 15-2 Tauhid, Sifat Orang Yang Bertauhid … – Al Luma’

Dari Buku:
Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf
Judul Asli: Al-Luma'
Oleh: Abu Nashr as-Sarraj
Penerjemah: Wasmukan dan Samson Rahman, MA.
Penerbit: Risalah Gusti, Surabaya.

Rangkaian Pos: Sifat Orang Yang Bertauhid ... - Al Luma'

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: “Dalam memahami hakikat Tauḥīd, mereka memiliki ungkapan lain. Di mana mereka menggunakan bahasa orang-orang yang telah bisa menghayati dan menemukan apa yang ada di sisi Allah (al-wajidun). Sementara isyarat-isyarat mereka tentang hal itu sulit untuk dipahami. Di sini kami ingin menyebutkan sekilas tentang hal itu yang mungkin dapat diterangkan. Sebagian besar disiplin ilmu ini memang penuh isyarat-isyarat yang tidak asing bagi orang yang memang ahlinya. Namun ketika hal ini dijelaskan dan diterangkan dengan bahasa ungkapan, maka menjadi tidak jelas dan hilang keindahannya. Saya terdorong untuk menjelaskannya, karena saya meletakkan dalam bentuk tulisan dalam kitab. Sedangkan kitab bisa jadi ditelaah oleh orang-orang yang bisa memahami dan juga tidak menutup kemungkinan akan ditelaah oleh orang-orang yang tidak sanggup memahami. Kemudian mereka yang tidak paham akan celaka.

Isyarat-isyarat hakikat Tauḥīd ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ruwaim bin Aḥmad bin Yazīd al-Baghdādī: tatkala ditanya tentang makna Tauḥīd: “Menghilangkan bekas-bekas sifat manusia (al-Basyariyyah) dan memurnikan Sifat Ketuhanan (Ulūhiyyah)”. Yang dimaksud menghilangkan bekas-bekas sifat manusia ialah dengan mengganti tabiat (akhlak) nafsu. Sebab sering kali nafsu mengaku Sifat-sifat Ketuhanan (ar-Rubūbiyyah), dengan melihat dirinya yang melakukan perbuatan-perbuatannya. Seperti ucapan seorang hamba: “Aku dan aku.” Ia tidak mengatakan: “Kecuali Allah.” Sebab sifat Inniyyah (Keakuan) itu hanya milik Allah ‘azza wa jalla. Inilah yang dimaksud menghilangkan bekas-bekas sifat manusia. Sedangkan yang dimaksud memurnikan Sifat Ketuhanan (Ulūhiyyah) ialah menunggalkan dan memurnikan Dzāt Yang Maha Qadīm dari segala yang baru diciptakan-Nya (al-Muḥdatsat).

Sementara itu, ada pula yang mengatakan, bahwa Tauḥīd ialah melupakan apa saja yang selain Tauḥīd dengan cara menauhidkan. Yakni terhadap apa yang mengharuskan hukum hakikat. Ada pula yang berpendapat, bahwa Waḥdāniyyah adalah kekal-Nya al-Ḥaqq dengan fanā’ (sirna)iya yang lain. Yakni fanā’ yang mengharuskan fanā’ adalah mengharuskan hukum hakikat. Dikatakan pula, bahwa Waḥdāniyyah adalah Kekekalan al-Ḥaqq dan fanā’nya segala sesuatu selain Dia. Yakni fanā’nya seorang hamba untuk tidak menyebut diri dan hatinya, dengan selalu mengingat Allah s.w.t. dan mengagungkan-Nya.

Ada pula yang mengatakan, bahwa tak ada satu makhluk pun yang andil dalam Tauḥīd. Sehingga tak ada yang sanggup menauhidkan Allah kecuali Allah sendiri. Sedangkan Tauḥīd untuk al-Ḥaqq yang datang dari makhluk adalah kekanak-kanakan. Kami katakan, bahwa apa yang mereka isyaratkan dalam hal ini adalah – hanya Allah Yang Maha Tahu – firman Allah s.w.t.:

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ وَ الْمَلآئِكَةُ وَ أُوْلُوا الْعِلْمِ قَآئِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Āli ‘Imrān:18).

Allah telah memberikan kesaksian untuk Diri-Nya sendiri dengan Waḥdāniyyah (Kemahaesaan) sebelum makhluk-Nya. Maka hakikat Tauḥīd dari sisi al-Ḥaqq adalah kesaksian Allah terhadap Diri-Nya sendiri dengan Waḥdāniyyah sebelum makhluk-Nya. Sementara Tauḥīd dari sisi makhluk, adalah sebagaimana mereka menauhidkan-Nya secara hakikat dan penghayatan hati nurani (wajd), sesuai dengan kadar yang dibagikan dan dikehendaki Allah untuk mereka. Inilah firman Allah: “Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian).” (Āli ‘Imrān:18).

Adapun dari cara pengakuan (ikrar), maka seluruh ummat Islam (ahl-ul-Qiblah: pengikut para nabi) dalam hal ini adalah sama. Namun yang menjadi pedoman adalah yang ada dalam hati, dan bukan yang keluar dari lisan.

Asy-Syiblī – raḥimahullāh – mengatakan: “Seseorang tak akan mencium bau Tauḥīd, tatkala ia mengilustrasikan Tauḥīd dan menyaksikan makna-makna, menetapkan Nama-nama, menambahkan Sifat-sifat dan berbagai atribut. Barang siapa menetapkan semua ini, maka ia adalah orang yang menauhidkan secara hukum dan formalitas, dan belum secara hakikat dan wajd.

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: “Maknanya – dan hanya Allah Yang Maha Tahu – ialah menetapkan Sifat-sifat dan berbagai atribut sesuai dengan apa yang digariskan. Dan tidak menetapkannya atas dasar pengetahuan, pengertian yang sangat mendalam dan dugaan.

Sementara itu, dari kalangan orang-orang arif ada yang mengatakan, bahwa Tauḥīd adalah sesuatu yang membutakan orang yang mampu melihat, membingungkan orang yang berakal dan membuat tercengang orang yang memiliki pendirian yang kokoh.

Saya katakan: Hal ini terjadi karena orang yang telah mampu merealisasikan hal itu secara hakiki, ia akan menemukan Keagungan dan Kebesaran Allah s.w.t. dalam hatinya yang menjadikan akalnya bingung dan tercengang, kecuali mereka yang Allah s.w.t. kokohkan.

Abū Sa‘īd Aḥmad bin Isa al-Kharrāz – raḥimahullāh – berkata: “Kedudukan spiritual (maqām) pertama kali bagi orang yang mendapatkan ilmu Tauḥīd dan mampu merealisasikannya secara hakiki, ialah ketika sirna (fanā’)nya segala sesuatu dari lubuk hatinya dan hanya menauhidkan Allah ‘azza wa jalla.

Ia juga mengatakan, bahwa awal dari tanda-tanda Tauḥīd ialah keluarnya seorang hamba dari segala sesuatu, dan mengembalikan seluruhnya pada Dzāt Yang Menguasainya. Sehingga hamba yang dikuasai-Nya terhadap Penguasa, melihat segala sesuatu itu selalu dikendalikan-Nya dan Dia sangat berpengaruh di dalamnya. Kemudian mereka Dia sembunyikan dalam jiwa mereka dari jiwa mereka, Dia matikan jiwa (nafsu) mereka dalam jiwa mereka dan Dia pilih mereka untuk Diri-Nya sendiri. Inilah awal memasuki Tauḥīd dari segi munculnya Tauḥīd dengan keabadian.

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: “Sedangkan penjelasannya – dan hanya Allah Yang Maha Tahu – ialah fanā’ dan tidak mengingat segala sesuatu karena hanya mengingat Allah s.w.t. Sedangkan yang dimaksud: “keluarnya seorang hamba dari segala sesuatu” ialah dengan tidak menisbatkan sesuatu pun pada diri dan kemampuannya. Ia melihat bahwa, Penolong dan Pengendali segala sesuatu itu pada hakikatnya hanyalah Allah dan bukan mereka. Adapun makna dari ucapan Abū Sa‘īd: “Sehingga hamba yang dikuasai-Nya terhadap Sang Penguasa, melihat segala sesuatu itu selalu dikendalikan-Nya,” adalah memberikan isyarat penguasaan al-Ḥaqq kepadanya dan hakikat Tauḥīd yang diberikan, sehingga ia melihat, bahwa Penopang utama segala sesuatu adalah Allah s.w.t. dan bukan segala itu sendiri. Tidakkah anda melihat ucapan seorang penyair:

Dalam segala sesuatu itu ada kesaksian,

Yang menunjukkan bahwa Dia Maha Esa.

Adapun ucapan Abū Sa‘īd: “Dia sangat berpengaruh di dalamnya.” Maksudnya adalah bahwa corak dan warna tidak berlaku padanya dalam memandang segala sesuatu. Sebab Penopang utamanya adalah Allah ‘azza wa jalla. Sementara itu, maksud dari ucapannya: “Mereka Dia sembunyikan dalam jiwa mereka dari jiwa mereka, Dia matikan jiwa (nafsu) mereka dalam jiwa mereka,”adalah tidak lagi merasakan sesuatu dan tidak melihat adanya gerakan, baik lahir maupun batin. Di mana semuanya memberikan isyarat, bahwa pada hakikatnya sirna di bawah pengendalian Kodrat dan manifestasi dari pelaksanaan apa yang dikehendaki-Nya, meskipun mungkin dinisbatkan pada penyebabnya.

Asy-Syiblī – raḥimahullāh – pernah bertanya kepada seseorang: “Tahukah anda, mengapa Tauḥīd tidak cocok untuk anda?”

Orang itu menjawab: “Tidak.”

Asa-Syiblī – raḥimahullāh – memberi jawaban sendiri: “Sebab anda memintanya dengan diri anda sendiri.”

Dalam sempatan lain, asy-Syiblī juga pernah berkata: “Tauḥīd itu tidak cocok kecuali bagi orang yang pengingkarannya adalah penetapannya.

Kemudian ia ditanya tentang apa yang dimaksud dengan itsbat (penetapan) itu? Ia menjawab: “Yang dimaksud penetapan ialah menghilangkan segala yang serba keakuan. (Menisbatkan segala-galanya pada dirinya sendiri; pent.).

Maknanya – hanya Allah Yang Maha Tahu – bahwa seorang yang menauhidkan Allah pada hakikatnya adalah mengingkari penetapan pada dirinya. Yakni dengan menetapkan dirinya dalam segala hal dengan hati nuraninya. Misalnya seperti ucapannya: “Karena aku (saya), untukku, dariku, kepadaku dan lain-lain.”

Maka orang yang menauhidkan Allah, akan menghilangkan segala bentuk keakuan seperti di atas dan mengingkarinya dengan hati nuraninya, meskipun secara formalitas hal itu tetap mengalir dari lisannya.

Asa-Syiblī juga pernah bertanya pada seseorang: “Anda bertauḥīd dengan Tauḥīd Basyariyyah atau Tauḥīd Ulūhiyyah?”

Laki-laki itu balik bertanya: “Apakah di antara keduanya ada perbedaan?”

Asa-Syiblī menjawab: “Ya.”

Tauḥīd Basyariyyah ialah rasa takut akan siksa. Sedangkan Tauḥīd Ulūhiyyah ialah Tauḥīd yang penuh pengagungan (ta‘zhīm).

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: “menjelaskan: Maknanya – hanya Allah Yang Maha Tahu – ialah, bahwa langit, bumi dan apa saja yang diciptakan Allah akan menjadi kecil dan hina di depan matanya tatkala ia melihat Kebesaran Allah ‘azza wa jalla dengan mata hatinya melalui berbagai cahaya Tauḥīd.

Suatu riwayat menyebutkan: “Bahwa malaikat Jibrīl a.s. memiliki enam ratus sayap: Dua sayap di antaranya jika dibentangkan maka akan menutupi ujung timur dan barat.”

Juga diriwayatkan dalam sebuah Ḥadīts, dari Ibnu ‘Abbās r.a.:

إِنَّ صُوْرَةَ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فِيْ قَائِمَةِ الْكُرْسِيِّ مِثْلُ الزَّرَدَةِ فِي الْجَوْشَنِ

Sesungguhnya rupa Jibrīl a.s. ketika di hadapan “Kursī” laksana rantai yang ada di bagian dada baju besi.

Disebutkan juga, bahwa Jibrīl a.s., ‘Arasy, dan Kursī, bila bersama alam Malakut yang tampak pada orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang Allah ‘azza wa jalla (ma‘rifat billāh), hanyalah laksana pasir di balik alam Malakut, atau bahkan lebih kecil daripada pasir.

Abul-‘Abbās Aḥmad bin ‘Athā’-al-Ādamī – raḥimahullāh – pernah mengemukakan pada sebagian ucapannya: “Tanda hakikat Tauḥīd adalah melupakan Tauḥīd. Sedangkan kejujuran Tauḥīd adalah melihat bahwa yang melakukan segala-galanya hanyalah Yang Maha Tunggal.

Maksudnya ialah, hendaknya seorang hamba tidak melihat Tauḥīd dan melupakannya dalam menauhidkan Allah, dengan cara melihat bahwa yang melakukan segala-galanya adalah Allah ‘azza wa jalla sebelum makhluk-Nya. Sebab andaikata Allah tidak menghendaki mereka demikian, tentu mereka tidak akan menghendakinya, dan mereka tidak akan bisa menauhidkan-Nya.

Para guru (syaikh) kita dalam masalah Tauḥīd ini memiliki banyak tulisan. Sementara kami hanya ingin mengemukakan sebagian dari ungkapan-ungkapan mereka yang sulit untuk dipahami maknanya. Dengan maksud agar yang lain yang belum saya sebutkan bisa dicari sendiri oleh para pembaca buku ini. In sya’ Allāh.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *