00 Bab 12 Mengukuhkan Adanya Ilmu Bathin – Al Luma’

Dari Buku:
Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf
Judul Asli: Al-Luma'
Oleh: Abu Nashr as-Sarraj
Penerjemah: Wasmukan dan Samson Rahman, MA.
Penerbit: Risalah Gusti, Surabaya.

BAB XII

MENGUKUHKAN ADANYA ‘ILMU BĀTHIN, KETERANGAN TENTANG KEBENARAN DAN ARGUMENTASINYA.

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Ada sekelompok orang yang hanya memahami segala sesuatu secara lahiriah telah mengingkari adanya ‘ilmu bāthin. Mereka berkata: “Kami tak tahu ‘ilmu lain selain ‘ilmu syarī‘at yang zhāhir yang dibawa oleh Al-Qur’ān dan Sunnah.” Mereka juga berkata: “Pendapat anda yang menyatakan adanya ‘ilmu bāthin dan ‘ilmu tasawwuf tak memiliki bobot makna apa-apa.”

Maka kami perlu menjawabnya – semoga Allah memberi taufīq pada kita: Sesungguhnya ‘ilmu syarī‘at adalah suatu disiplin ‘ilmu dan suatu nama yang mengandung dua makna: riwāyat (narasi) dan dirāyat (pemahaman). Jika anda telah mengumpulkan dua makna tersebut, maka itu adalah ‘ilmu syarī‘at yang mengajak pada berbagai ‘amal, baik lahiriah maupun bāthiniah. Dan memang tidak sepantasnya jika kita berbicara tentang ‘ilmu untuk dibeda-bedakan menjadi ‘ilmu bāthin dan ‘ilmu zhāhir. Sebab apabila ‘ilmu itu berada hati nurani, berarti ‘ilmu bāthin sampai ia muncul dalam ucapan. Dan jika telah muncul dalam bahasa lisān maka itulah ‘ilmu zhāhir.

Hanya saja kami tetap perlu mengatakan, bahwa ‘ilmu itu ada yang bāthin dan ada yang zhāhir. ‘Ilmu itu tak lain adalah ‘ilmu syarī‘at yang menunjukkan dan mengajak untuk melakukan aktivitas (‘amal) lahiriah dan bāthiniah. Sedangkan apa yang disebut dengan ‘amal zhāhir adalah aktivitas anggota tubuh yang menyangkut ‘ibādah dan hukum. Adapun yang menyangkut ‘ibādah adalah seperti masalah bersuci, shalāt, zakāt, puasa, haji, jihād dan lain-lain. Adapun yang menyangkut hukum adalah seperti ḥudūd (hukum pidana), thalāq, pemerdekaan budak, jual-beli, farā’idh (warisan), qishāsh (hukum pembalasan) dan lain-lain. Ini semua berkaitan dengan anggota badan bagian luar. Adapun yang berhubungan dengan aktivitas bāthiniah adalah seperti perbuatan hati, yang berupa kedudukan dan kondisi spiritual, seperti tashdīq (pembenaran), īmān, yaqīn, ikhlāsh, ma‘rifat, tawakkal, mahabbah (cinta), ridhā, dzikir, syukur, inābah (kembali ke jalan Tuhan: tobat), i‘tibār (mengambil pelajaran), khauf (takut siksa), rajā’ (berharap rahmat-Nya), sabar, qanā‘ah (puas atas bagian yang diberikan), taslīm (tunduk), tafwīdh (pasrah), qurb (mendekatkan diri kepada Allah), syauq (rindu), wajd (suka cita dengan Allah), wajal (takut), ḥuzn (sedih), nadm (menyesal), ḥayā’ (malu), khayāl (malu), ta‘zhīm (mengagungkan), ijlāl (memuliakan) dan hībah (sungkan karena kewibawaan-Nya). Masing-masing aktivitas, baik yang bersifat lahir maupun bāthin ada ‘ilmu, keterangan, fiqih, pemahaman, perasaan hati dan hakikatnya tersendiri.

Sementara itu, masalah kebenaran ‘amal lahiriah maupun bāthiniah selalu didukung oleh argumentasi ayat-ayat al-Qur’ān dan Ḥadīts-ḥadīts Rasūlullāh s.a.w. yang hanya bisa diketahui oleh orang yang mengerti dan tidak akan terungkap oleh mereka yang tidak tahu.

Apabila kami mengatakan tentang ‘ilmu bāthin, maka yang kami maksudkan adalah ‘ilmu tentang aktivitas bāthin yang merupakan anggota badan yang bāthin, yakni hati. Sebagaimana jika kami katakan ‘ilmu zhāhir, maka yang kami maksudkan adalah ‘ilmu tentang aktivitas zhāhir yang menyangkut semua anggota yang lahir, yaitu seluruh anggota badan. Allah s.w.t. berfirman: “Dan Dia menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (Luqmān:20). Nikmat lahiriah ialah apa yang Allah karuniakan pada anggota badan yang lahir untuk berbuat taat. Sedangkan nikmat bāthin adalah berbagai kondisi spiritual yang Allah karuniakan pada hati. Dan tentu saja yang zhāhir tidak bisa lepas dari yang bāthin, dan begitu sebaliknya, yang bāthin juga selalu membutuhkan yang zhāhir. Allah s.w.t. berfirman:

وَ لَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَ إِلى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنَهُ مِنْهُمْ

Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasūl dan Ulil-Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasūl dan Ulil-Amri).” (an-Nisā’:83)

Sedangkan ilmu yang diperoleh dengan cara istinbāth adalah ‘ilmu bāthin, yaitu ‘ilmu yang dimiliki orang-orang Shūfi. Sebab mereka memiliki berbagai hasil istinbāth dari al-Qur’ān, Ḥadīts dan lain-lain. Sebagian dari masalah ini akan kami bahas kemudian, In syā’ Allāh.

Dengan demikian, maka ‘ilmu itu ada ‘ilmu zhāhir dan ‘ilmu bāthin. Al-Qur’ān adalah zhāhir dan bāthin, Hadis Rasūlullāh s.a.w. juga zhāhir dan bāthin. Begitu pula Islām, zhāhir dan bāthin. Sementara itu sahabat-sahabat kami dari kaum Shūfi dalam memahami makna-makna tersebut juga memiliki dalil-dalil dan argumentasi dari al-Qur’ān, Sunnah dan akal (rasional). Dan untuk menerangkan hal ini akan sangat panjang dan akan keluar dari uraian ringkas yang kami maksudkan. Maka apa yang kami kemukakan bisa dianggap cukup – Dan semoga Allah memberi taufik kepada kita.