Kemudian awan pun tersibak dari Nabi s.a.w. Jibrīl memegang tangan beliau, dan segera berlalu untuk menemui Ibrāhīm. Tetapi Ibrāhīm tidak mengatakan sesuatu apapun. Jibrīl lalu menemui Mūsā, seseorang yang mau peduli dan bersedia diajak berbicara untuk menolong mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang terjadi.
“Apa yang telah kamu lakukan, wahai Muḥammad?”, tanya Mūsā. “Kewajiban apa yang dibebankan oleh Tuhanmu kepadamu dan kepada umatmu?”
“Dia mewajibkan kepadaku dan umatku shalat lima puluh waktu sehari semalam”, jawab Nabi.
“Kembalilah temui Tuhanmu”, kata Mūsā. “Mohonlah keringan kepada-Nya, supaya kamu dan umatmu tidak merasa keberatan. Soalnya mereka tidak akan sanggup melakukannya. Sebelum kamu, aku telah memberitahukan hal itu kepada manusia. Bahkan aku telah mencobanya terhadap orang-orang Bani Isrā’īl dengan beban kewajiban yang relatif sangat ringan. Itu saja mereka tidak sanggup. Mereka sama meninggalkannya. Padahal dari segi fisik umatmu lebih lemah daripada mereka.”
Nabi s.a.w. menoleh ke arah Jibrīl dengan maksud untuk meminta pertimbangan kepadanya. Dan Jibrīl memberi isyarat supaya menuruti saran Mūsā supaya ia kembali menemui Tuhannya guna meminta keringanan. Beliau pun segera beranjak menemui Allah. Ketika tiba di dekat sebatang pohon, ia diselimuti oleh awan. Dengan posisi bersimpuh setelah bersujud beliau berkata: “Wahai Tuhan, tolong beri keringanan umatku, karena mereka adalah umat yang sangat lemah.”
Allah ta‘ālā berfirman: “Aku beri mereka keringanan sebanyak lima waktu.”
Kemudian awan pun tersibak, lalu Nabi s.a.w. kembali menemui Mūsā dan berkata: “Allah telah memberikan keringanan shalat lima waktu bagi umatku.”
“Temui Tuhanmu, dan mohonlah lagi keringanan bagi umatmu, karena mereka tidak akan sanggup melaksanakannya”, kata Mūsā.
Beberapa kali Nabi s.a.w. harus bolak-balik naik turun menemui Tuhannya dan Mūsā, sehingga akhirnya umat beliau hanya diberi kewajiban menjalankan shalat sebanyak lima waktu saja. Terakhir Allah ta‘ala berfirman: “Wahai Muhammad!”
“Baik, wahai Tuhanku”, jawab beliau.
Allah ta‘ālā berfirman: “Kamu dan umatmu wajib menunaikan shalat lima waktu sehari semalam. Dan pahala setiap shalat dilipatgandakan sepuluh kali. Jadi jumlahnya sama dengan lima puluh kali. Ketetapan-Ku ini sudah tidak bisa diganti dan dirubah. Barang siapa yang bermaksud hendak melakukan suatu amal kebajikan namun ia membatalkannya, niscaya di catat untuknya satu kebajikan. Dan jika ia jadi melakukannya, niscaya dicatat untuknya sepuluh kali kebajikan. Sebaliknya barang siapa yang bermaksud hendak melakukan suatu amal keburukan namun batal, niscaya tidak dicatat untuknya apa pun. Dan jika ia jadi melakukannya, niscaya dicatat untuknya hanya satu keburukan saja.”
Tiba-tiba suasana menjadi sangat terang benderang. Nabi s.a.w. pun turun menemui Mūsā untuk memberitahukan hal itu kepadanya.
“Temui Tuhanmu, dan mohonlah lagi keringanan bagi umatmu, karena mereka masih tidak akan sanggup melaksanakannya”, kata Mūsā.
“Sudah beberapa kali aku naik turun menemui Tuhanku untuk memohon keringanan. Aku merasa malu kepada-Nya. Aku sudah setuju dan pasrah atas ketetapan-Nya itu”, jawab Nabi.
Tiba-tiba ada penyeru yang menyeru: “Sesungguhnya kamu harus menunaikan kewajiban-Ku, dan Aku telah memberikan keringanan buat hamba-hambaKu!”
“Sekarang turunlah dengan menyebut nama Allah”, kata Mūsā kepada Nabi.
Dan setiap kali melewati rombongan malaikat, mereka pasti mengucapkan salam kepada beliau. Beliau mendekati Jibrīl dan berkata: “Kenapa para malaikat penghuni langit sama mengucapkan selamat datang kepadaku? Dan kenapa mereka juga tertawa padaku? Kecuali hanya satu malaikat. Aku mengucapkan salam kepadanya. Dan setelah menjawab salamku, ia mengucapkan selamat datang serta mendoakan aku. Tetapi ia sama sekali tidak mau tersenyum.”
“Dia itu adalah malaikat penghuni neraka”, jawab Jibrīl. “Semenjak diciptakan oleh Allah ta‘ālā ia memang tidak pernah tersenyum. Seandainya ia pernah tersenyum kepada siapa pun, tentu tadi ia juga tersenyum kepada anda.”
Ketika sedang dalam perjalanan turun ke langit dunia, Nabi s.a.w. memperhatikan ke bawah, dan beliau melihat asap dan suara-suara gaduh.
“Apa itu, wahai Jibrīl?”, tanya beliau.
“Itu adalah rombongan syaithan yang menghalangi mata manusia supaya mereka tidak sempat memikirkan tentang kerajaan langit dan bumi. Seandainya tidak dihalang-halangi syaithan seperti itu, tentu mereka akan bisa menyaksikan keajaiban-keajaiban”, jawab Jibrīl.
Selanjutnya Nabi s.a.w. terus beranjak turun. Beliau melewati serombongan kafilah unta kaum Quraisy di sebuah tempat. Ketika posisi beliau sudah sangat dekat, tiba-tiba kawanan unta tersebut sama berlarian sambil berputar-putar. Pada kafilah itu terdapat seekor unta yang membawa dua karung yang satu berwarna hitam dan yang satu lagi berwarna putih. Lalu unta itu meringkik dan lari terpencar. Padahal sebelumnya mereka telah mengumpulkannya.
Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada mereka. Bukannya menjawab salam beliau, sebagian mereka malah mengatakan kepada temannya: “Itu suara Muḥammad.”
Selanjutnya Nabi s.a.w. berkumpul kembali dengan sahabat-sahabatnya di Makkah menjelang shubuh. Pagi-pagi sekali beliau sudah begitu yakin bahwa orang-orang pasti akan menuduhnya berdusta. Beliau tampak sedang duduk dengan perasaan sedih. Tiba-tiba muncul musuh Allah si Abū Jahal, lalu ia segera menghampiri beliau.
“Tampaknya ada sesuatu yang tengah terjadi?” tanya Abū Jahal kepada beliau dengan nada mengejek.
“Benar”, jawab beliau terus-terang.
“Apa itu?”, tanya Abū Jahal.
“Semalam aku menjalani peristiwa isrā’”, jawab beliau.
“Ke mana?”, tanya Abū Jahal.
“Ke Bait-ul-Maqdis”, jawab beliau.
“Kemudian pagi-pagi seperti sekarang ini kamu mengaku sudah sampai berada di tengah-tengah kami begitu ya?”, tanya Abū Jahal dengan sinis.
“Ya”, jawab beliau.
Nabi s.a.w. merasa yakin bahwa Abū Jahal pasti akan memperolok-oloknya dan mendustakannya. Ia pasti akan tetap keras kepala menentangnya.
“Bagaimana menurutmu kalau kamu panggil kaummu lalu kamu ceritakan hal ini kepada mereka?”, tanya Abū Jahal.
“Baiklah”, jawab Nabi.
“Wahai golongan Bani Ka‘ab bin Lu’ayyi, kemarilah berkumpul di sini!”, teriak Abū Jahal berkali-kali.
Dan tidak lama kemudian banyak orang datang berbondong-bondong. Mereka duduk di majlis di hadapan Nabi s.a.w. dan Abū Jahal.
“Sekarang kamu ceritakan kepada kaummu ini apa yang tadi kamu ceritakan kepadaku”, kata Abū Jahal.
“Semalam aku menjalani peristiwa isrā’”, kata Nabi.
“Ke mana?”, tanya mereka.
Ke Bait-ul-Maqdis”, jawab beliau.
“Dan pagi-pagi sekarang ini anda sudah berada kembali di tengah-tengah kami?”, tanya mereka.
“Benar”, jawab beliau.
Mendengar jawaban Nabi s.a.w. tersebut, sebagian mereka ada yang langsung percaya, dan sebagian lagi ada yang tangannya memegang kepala seraya berteriak heran. Mereka menganggap cerita beliau itu aneh dan berlebihan. Tiba-tiba seseorang bernama Muth‘im bin ‘Ady berdiri dan mengatakan: “Semua yang kamu katakan sebelum hari ini memang benar. Tetapi apa yang kamu ceritakan sekarang ini, aku bersaksi bahwa kamu adalah seorang pendusta. Kami biasa pergi ke Bait-ul-Maqdis dengan naik unta terbaik. Dalam perjalanan ini kami membutuhkan waktu selama sebulan untuk naik, dan juga selama sebulan untuk turun. Tetapi tadi kamu mengaku pergi ke sana dan kembali pulang ke sini hanya membutuhkan waktu semalam saja, Demi Lāta dan ‘Uzzā, aku tidak percaya padamu.”
“Wahai Muth‘im, buruk sekali yang kamu katakan kepada saudara sepupuku ini”, sergah Abū Bakar sambil berdiri. “Beraninya kamu menganggap beliau telah berdusta. Berbeda dengan kami, aku justru bersaksi bahwa beliau adalah orang yang jujur.”
“Wahai Muḥammad, coba kamu jelaskan kepada kami tentang bagaimana keadaan bangunan Bait-ul-Maqdis, bagaimana bentuknya, bagaimana letaknya dari gunung”, kata salah seorang mereka.
Sesungguhnya di antara mereka ada sebagian yang sudah pernah ke tempat suci tersebut, sehingga mereka tahu data-data tersebut. Sepontan Nabi s.a.w. menjelaskan semuanya satu persatu. Karena saking bersemangatnya, tiba-tiba ingatan beliau menjadi kabur. Akibatnya, beliau merasa sangat sedih. Pada saat itulah masjid di Bait-ul-Maqdis didatangkan dan diperlihatkan oleh malaikat kepada beliau dengang jelas, sehingga beliau bisa menerangkannya secara jelas dan detail. Bahkan pertanyaan salah seorang mereka tentang jumlah pintu yang ada dalam masji tersebut, bisa beliau jawab dengan tepat.
“Anda benar, anda benar”, kata Abū Bakar sepontan. “Aku bersaksi bahwa anda adalah utusan Allah.”
“Apa yang dikatakannya tentang data-data masjid Bait-ul-Maqdis, demi Allah memang benar”, kata salah seorang mereka.
“Tetapi apakah kamu juga percaya kalau ia hanya membutuhkan waktu semalam untuk perjalanan pulang pergi ke Bait-ul-Maqdis?”, tanya yang lain kepada Abū Bakar.
“Ya”, jawab Abū Bakar. “Aku bahkan tetap percaya kepada beliau untuk sesuatu yang lebih aneh dari cerita ini. Sampai kapan pun aku akan tetap percaya khabar berita yang turun dari langit.”
Itulah sebabnya belakangan Abū Bakar diberi gelar Ash-Shiddīq yang berarti orang yang jujur.
“Wahai Muḥammad, coba ceritakan kepada kami tentang keadaan kafilah kami”, kata salah seorang mereka kepada Nabi.
“Aku melewati sebuah kafilah Bani fulan di Rauha. Karena ada seekor unta yang tersesat, mereka pun berusaha mencarinya. Aku sampai di tempat istirahat mereka, tetapi di sana aku tidak menemukan seorang pun di antara mereka. Aku melihat sebuah gelas berisi air, lalu aku meminumnya. Selanjutnya aku meneruskan perjalan dan melewati sebuah kafilah lain di sebuah tempat. Di antara kafilah ini ada seekor unta berwarna merah yang mengangkut sebuah karung berwaruna hitam dan sebuah karung berwarna putih. Begitu posisiku sudah sangat dekat dengan rombongan kafilah ini, mendadak mereka semua sama lari dan ada seekor unta yang karena kaget ia jatuh terjembab dan mati. Aku meneruskan perjalanan, dan melewati rombongan kafilah yang lain lagi di daerah Tan‘īm. Di barisan depan mereka adalah seekor unta yang mengangkut kain permadani berwarna hitam dan dua buah karung yang juga berwarna hitam. Mereka akan muncul kepada kalian dari arah sebuah bukit.”
“Kapan mereka akan datang?”, tanya salah seorang dari mereka.
“Hari Rabu”, jawab Nabi sepontan.
Tepat pada hari Rabu orang-orang Quraisy sama berkumpul untuk menunggu kedatangan rombongan kafilah mereka. Ketika waktu siang telah beranjak dan rombongan kafilah belum juga datang Nabi s.a.w. berdoa kepada Allah ta‘ālā. Oleh malaikat, waktu siang ditambah satu jam dengan cara menahan laju beredarnya matahari, sampai akhirnya dari jauh tampak rombongan kafilah muncul. Dengan suka cita orang-orang Quraisy menyambut rombongan kafilahnya.
“Apakah ada seekor unta kalian yang tersesat?”, tanya salah seorang tokoh Quraisy kepada pemimpin rombongan.
“Benar”, jawabnya.
Mereka juga menanyakan tentang rombongan kafilah yang terakhir.
“Apakah unta kalian yang berwarna merah mati?”, tanya si tokoh Quraisy.
“Ya”, jawabnya.
“Apakah di antara kalian ada yang membawa gelas?”, tanya si tokoh Quraisy.
“Ada. Aku yang membawanya”, jawab salah seorang anggota rombongan kafilah. “Demi Allah, aku sendiri yang meletakkan gelas berisi air itu, tanpa ada seorang pun di antara kami yang meminumnya maupun yang menuangkannya ke tanah”.
Kendatipun demikian orang-orang Quraisy tetap tidak mau percaya. Mereka bahkan menuduh Nabi s.a.w. sebagai tukang sihir. Mereka mengatakan: “Benar apa yang pernah dikatakan oleh al-Walīd.”
Allah ta‘ālā kemudian menurunkan ayat:
وَ مَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْ أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ.
“Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia.” (Qs. al-Isrā’: 60).
Hanya taufiq dan hidayah Allah s.w.t. lah yang kami mohonkan.