10
Ketahuilah, yang disebut dungu adalah orang yang ditinggal mati ayahnya lalu ia menangis, meratap, bersedih, dan merasa kecewa atasnya. Sementara dalam saat yang sama ia tidak menangisi pembangkangannya pada Allah. Seolah-olah kondisinya itu mengatakan: “Aku menangisi kepergian sesuatu yang telah membuatku lalai dari Tuhan.” Padahal, semestinya ia menyerah pasrah pada ketentuan Allah. Selain harus ridha dan sabar dalam menerima ujian tersebut lalu bergembira seraya mendekatkan diri pada Tuhan lantaran Dia telah mengambil sesuatu yang selama ini menyebabkan ia lalai dari-Nya. Allah berfirman: “Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian hanyalah cobaan (bagi kalian). Sementara di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (ath-Taghābun [64]: 15).
Sungguh buruk engkau wahai manusia kalau uban sudah tampak sementara pikiranmu tetap masih seperti anak-anak. Ia tak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tak memahami apa yang Allah inginkan, dan tak mengetahui hikmah-Nya dalam mengujimu di dunia ini.
Bila benar-benar berakal, engkau seharusnya menganggap musibah dalam urusan agama jauh lebih berbahaya dan lebih hebat ketimbang musibah dunia. Tangisilah dirimu sebelum kau ditangisi saat matimu nanti. Sesungguhnya istri, anak, dan teman tidaklah menangisimu di saat engkau mati. Tetapi, sebetulnya mereka sedang menangisi kepentingan dan kebutuhan mereka yang hilang karena kepergianmu. Kalau saja engkau kurang dibutuhkan atau tidak begitu penting, pasti tak ada yang menangisimu. Justru sebaliknya, mereka akan berbangga dan merasa lapang. Karena itu, sebelum ditangisi, tangisilah dirimu di dunia ini. katakan pada dirimu: “Sudah sepantasnya aku meratapi maksiat dan ketidaktaatanku pada Tuhan sebelum aku ditangisi orang.”
Zaid ibn Arqam r.a. menceritakan bahwa suatu ketika seorang lelaki bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, bagaimana caranya aku menghindar dari neraka?” Beliau menjawab: “Dengan linangan kedua air matamu. Sesungguhnya kedua mata yang menangis karena takut pada Allah takkan tersentuh api neraka selamanya.” (H.R. Ibn Abid-Dunyā dan al-Ashbaḥānī).
Wahai manusia, bila engkau tak memiliki sikap wara‘ dan takut yang bisa menghalangimu dari berbuat maksiat, tangisilah dirimu di kala sendiri. Letakkanlah debu di atas kepalamu karena Nabi s.a.w. bersabda: “Siapa yang tak memiliki rasa wara‘ yang bisa menghalanginya dari maksiat kepada Allah ketika sendirian, maka Allah pun sama sekali tiada peduli dengan ‘amalnya.”
Apakah menurutmu kemuliaan akhlāq seseorang diukur dari kesopanannya dalam berbicara, kesantunannya dalam bergaul, dan kedermawanannya pada manusia, sementara hak-hak Allah diabaikan dan aturan-Nya dilanggar? Tidak. Itu bukanlah akhlāq yang mulia, tetapi merupakan bentuk kemunāfiqan, penipuan, dan manipulasi. Engkau baru dianggap mempunyai akhlāq yang baik dan adab yang mulia bila engkau menjaga hak-hak Allah, melaksanakan hukum-hukumNya, mematuhi semua perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.
Menurut Abū Dzarr r.a. Nabi s.a.w. bersabda: “Wahai Abū Dzarr, yang disebut akal adalah mengatur, yang disebut watak adalah menjaga diri (dari dosa), dan yang disebut kebanggaan adalah berakhlāq mulia.” (H.R. Ibn Ḥayyān (Ḥibbān????? SH) dalam kitab Shaḥīḥ-nya).
Siapa yang menahan diri untuk tidak melakukan maksiat kepada Allah, lalu menunaikan hak-hakNya, mengagungkan dan melaksanakan perintah-Nya, berarti ia memiliki akhlāq luhur dan berjiwa mulia. Allah berfirman: “Siapa yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempatnya.” (an-Nāzi‘āt [79]: 40-41).
Sungguh buruk dan dungu kalau engkau mampu menunaikan hak-hak manusia, berbuat baik kepada mereka, tetapi tidak menunaikan hak-hak Tuhan, Pencipta sekaligus Majikanmu, serta tidak menjalin hubungan yang baik dengan-Nya.
Janganlah mendefinisikan orang bodoh sebatas orang yang tidak mempunyai ‘ilmu pengetahuan belaka. Namun, yang sebetulnya bodoh adalah orang yang tak mau menaati Allah walaupun ia termasuk pemikir besar atau salah satu cendekiawan ternama. Allah berfirman: “Namun sebagian besar manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sementara terhadap akhirat mereka lalai.” (ar-Rūm [30]: 6-7)
Allah mencela mereka karena pintar dalam urusan dunia tapi bodoh dalam urusan agama. Ayat di atas menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara kebodohan dan pengetahuan yang hanya mencakup lahiriahnya kehidupan dunia. Ayat tersebut sekaligus menegaskan bahwa kehidupan dunia mempunyai dua aspek: lahiriah dan bāthiniah. Aspek lahiriahnya meliputi segala kenikmatan perhiasan dunia yang diketahui oleh orang-orang bodoh. Adapun aspek batiniahnya adalah bahwa ia merupakan jalan menembus ke alam akhirat. Bekal menuju ke sana berbentuk ketaatan dan ‘amal-‘amal shāliḥ.
Engkau cukup bodoh jika Allah memperlakukanmu secara baik, sayang, dan setia, sementara engkau memperlakukan-Nya dengan sikap menentang dan acuh. Yang disebut tokoh bukanlah yang memimpin manusia dan berpidato di tengah majelis atau forum, sedangkan dirinya dibiarkan tenggelam dalam kubangan dosa. Namun, yang disebut tokoh adalah yang memperbaiki diri dan insaf dari kelalaian untuk taat kepada Tuhan. Allah berfirman: “Mereka adalah para tokoh yang tidak dilalaikan oleh urusan bisnis dan tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingat Allah, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari saat hati dan penglihatan menjadi guncang. Allah akan membalas mereka dengan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah menambah karunia-Nya untuk mereka. Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa batas.” (an-Nūr [24]: 37-38).
Engkau sangat bodoh kalau senantiasa memperhatikan kesalahan kecil orang lain sementara kesalahanmu yang besar kau lupakan. Sungguh beruntung mereka yang disibukkan oleh aibnya sendiri hingga lupa terhadap aib orang lain.
Engkau adalah seperti dua orang manusia yang membeli sebidang tanah. Yang satu mengambil bagiannya. Lalu ia segera membersihkan tanah tersebut dari duri dan rumput. Ia mulai menanam, menuai benih, memelihara, dan menyiramkan air. Tak lama kemudian tanaman pun tumbuh, tanahnya mulai menghijau, dan berbuah. Buahnya bisa dipetik dan dimanfaatkan. Itulah contoh orang yang tumbuh besar dengan melakukan ‘amal taat dan menjauhkan maksiat. Qalbunya bersinar, kenikmatan taat terasa, dan ia pun menunggu ganjaran upah di hari perhitungan nanti.
Adapun orang yang satunya lagi, ia membiarkan tanahnya sehingga duri dan rumput yang merusak tumbuh di dalamnya. Akhirnya ia menjadi tempat tinggal berbagai ulat dan ular. Ini adalah contoh orang bodoh yang membiarkan dirinya didiami oleh hawa nafsu dan setan sehingga qalbunya menjadi gelap dengan maksiat dan dosa. Ia tertawan oleh aneka kenikmatan dan kelezatan syahwat. Yang tumbuh di qalbunya adalah kesenangan pada yang munkar. Anggota tubuhnya juga berkembang dari suplai makanan ḥarām. Allah berfirman: “Apakah orang yang berjalan dengan wajah tersungkur lebih mendapat petunjuk? Ataukah orang yang berjalan dengan tegak di jalan yang lurus?” (al-Mulk [67]: 22).
Orang yang bodoh adalah yang senantiasa memperhatikan dunia dengan mengabaikan akhirat, serta rela terhadap kehidupan dunia dan condong kepadanya. Ia sama seperti orang yang sedang didatangi singa yang siap memangsa. Namun, tiba-tiba ada seekor kutu yang menggigitnya. Ia pun kaget dan sibuk mencari kutu tersebut sehingga lupa terhadap singa tadi. Tentu saja sang singa menyerang dan menyantapnya.
Orang yang lalai terhadap Allah, sibuk dengan hal yang remeh-remeh. Sementara orang yang tidak lalai pasti hanya akan sibuk dengan Allah. Orang yang perhatiannya sibuk dengan dunia yang hina dan fanā’ ini sehingga melupakan akhirat yang agung dan kekal, berarti ia tertipu dan bodoh.
Lebih baik engkau kehilangan dunia tapi mendapat akhirat. Ini adalah yang terbaik bagimu. Sebaliknya, betapa buruknya jika engkau kehilangan akhirat hanya untuk mendapat dunia. Betapa buruknya orang yang mencari dunia dengan menampakkan sikap zuhud di hadapan manusia. Allah berfirman: “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan kemewahannya, niscaya Kami berikan padanya balasan amal perbuatannya di dunia sepenuhnya dan mereka di dunia ini takkan dirugikan. Mereka adalah orang-orang yang takkan mendapat jatah sama sekali di akhirat kecuali neraka. Gugurlah semua ‘amal perbuatan mereka serta terhapuslah apa yang mereka kerjakan.” (Hūd [11]: 15-16).
Engkau terhitung bodoh kalau cemburu pada istrimu tapi tak pernah cemburu pada imanmu sendiri. Engkau cemburu pada istrimu karena hawa nafsu dan syahwat, sementara engkau tidak cemburu pada qalbumu karena Tuhan. Kalau engkau menjaga apa yang menjadi hakmu, mengapa engkau tidak menjaga apa yang menjadi hak Allah?
Engkau cukup bodoh kalau merasa iri dan dengki terhadap karunia yang diberikan kepada penghuni dunia. Jika kalbumu diliputi oleh kedengkian terhadap apa yang menjadi milik mereka berarti engkau lebih bodoh dari mereka. Sebab, mereka sibuk dengan karunia yang diberikan kepada mereka, sementara engkau sibuk dengan sesuatu yang tak diberikan kepadamu. Manakala mata mulai kabur, engkau segera mengobatinya. Engkau keluarkan uang dalam jumlah banyak dengan harapan bisa kembali melihat indahnya dunia. Sementara, ketika mata bāthin (bashīrah) kabur dan buram selama empat puluh tahun, engkau tidak pernah mengobatinya dan tidak pernah bersedih. Engkau tak pernah mencari dokter keimanan yang bisa melakukan terapi atasnya. Allah berfirman: “Sesungguhnya mata tersebut tidak buta. Tetapi, yang buta adalah kalbu yang terdapat di dalam dada.” (al-Ḥajj [22]: 46).
Engkau sungguh bodoh, sebab kalau orang-orang menyimpan makanan untuk memenuhi kebutuhan mereka, engkau menyimpan sesuatu yang berbahaya, yaitu maksiat dan hukuman Allah di hari kiamat. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang membawa ular lalu ia dipelihara di rumahnya? Begitulah yang kau lakukan.
Engkau sungguh bodoh kalau mengandalkan makhlūq lalu meninggalkan pintu Sang Khāliq, Allah ta‘ālā. Engkau sungguh bodoh kalau tamak terhadap apa yang ada di tangan orang dan mengharap kebaikan mereka, sementara pada saat yang sama tidak tamak terhadap apa yang ada di sisi Allah, tidak meminta kebaikan dari-Nya, serta tidak menggantungkan harapan pada-Nya. Engkau telah melakukan berbagai maksiat dari seluruh sisi. Tidakkah engkau merasa sedih dan menyesali diri? Tidakkah engkau merasa sakit akibat terjerumus pada jurang kegagalan dan kesesatan?
Orang yang cerdas adalah yang mengetahui jalan menuju Allah lalu ia meniti dan mengikuti jalan tersebut. Sementara orang yang bodoh adalah yang tersesat dari jalan ketaatan lalu meniti jalan kesesatan. Ketika berkomentar tentang orang-orang yang bodoh dan sesat, Allah berfirman: “Apabila mereka melihat jalan
Engkau terhitung bodoh kalau cemburu pada istrimu tapi tak pernah cemburu pada imanmu sendiri. Engkau cemburu pada istrimu karena hawa nafsu dan syahwat, sementara engkau tidak cemburu pada qalbumu karena Tuhan.
petunjuk, mereka tidak meniti jalan tersebut. Tetapi, apabila melihat jalan kesesatan, mereka melaluinya. Itu karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka lalai terhadapnya.” ( al-A‘rāf [7]: 46).