Waktu-waktu Darurat dan ‘Udzur – Waktu-waktu Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Waktu-waktu Darurat dan ‘Udzur

 

Adapun waktu-waktu darurat dan ‘udzur, ‘ulamā’ berbagai negeri menetapkannya, sementara ahlu zhāhir menafikannya, dan telah dijelaskan sebelumnya sebab perbedaan pendapat dalam masalah ini, kelompok yang menetapkannya berbeda pendapat dalam tiga masalah:

Masalah pertama: Shalat-shalat yang memiliki waktu darurat.

Imām Mālik dan Syāfi‘ī sepakat bahwa waktu tersebut dimiliki oleh empat shalat; Zhuhur, ‘Ashar (juga bersamaan dengan keduanya), Maghrib dan ‘Isyā’ juga demikian.

Lalu mereka berbeda pendapat mengenai aspek penggabungan sebagaimana akan dijelaskan nanti, kemudian Abū Ḥanīfah menyelisihi mereka, dia berkata: “Sesungguhnya waktu tersebut hanya dimiliki oleh shalat ‘Ashar, dan tidak ada satu waktu yang dimiliki oleh dua shalat secara bersamaan.”

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mengenai bolehnya menjama‘ dua shalat saat dalam perjalanan yang ditunaikan di salah satu waktunya sebagaimana akan dijelaskan nanti.

‘Ulamā’ yang memegang teguh nash mengenai shalat ‘Ashar yaitu sabda Rasūlullāh s.a.w. yang shaḥīḥ:

مَنْ أَدْرَكَ رَكَعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ مَغِيْبِ الشَّمْسِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ.

Barang siapa mendapatkan satu rakaat ‘Ashar sebelum terbenamnya matahari, maka dia telah mendapatkan ‘Ashar.” (1921).

Lalu memahami hadits ini sebagai keringanan, mereka tidak menyatakan boleh menggabungkan shalat dengan dalil sabda Rasūlullāh s.a.w.:

لَا يَفُوْتُ وَقْتُ صَلَاةٍ حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ الْأُخْرَى.

Tidaklah waktu shalat itu berakhir sehingga masuk waktu shalat yang lainnya.” (1932).

Dan ḥujjah-ḥujjah yang akan kami jelaskan dalam bab menjama‘ shalat, dia berkata: “Waktu tersebut hanya diperkenankan untuk shalat ‘Ashar, sementara ‘ulamā’ yang membolehkan menjama‘ dalam perjalanan (bepergian), mereka menganalogikannya kepada orang-orang yang memiliki ‘udzur, karena orang yang sedang melakukan perjalanan pun termasuk orang yang memiliki ‘udzur, walhasil dia memberikan waktu tersebut tergabung pada shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isyā’.”

Masalah kedua: Batasan waktu darurat.

Imām Mālik dan Syāfi‘ī berbeda pendapat mengenai akhir waktu yang dimiliki bersama:

  1. Imām Mālik berkata: “Waktu darurat hanya ada untuk shalat Zhuhur dan ‘Ashar setelah tergelicirnya matahari, dengan ukuran empat rakaat shalat Zhuhur bagi orang yang muqīm (tidak bepergian), dan dua rakaat bagi musafir.”

Artinya Imām Mālik menjadikan waktu khusus untuk Zhuhur dengan ukuran empat rakaat bagi orang yang tidak bepergian (muqīm) setelah tergelincirnya matahari, dua rakaat untuk musafir.

Demikian pula Imām Mālik menjadikan waktu khusus untuk shalat ‘Ashar dengan empat rakaat bagi yang muqim, atau dua rakaat bagi orang yang sedang melakukan perjalanan, (Maksudnya, orang yang mendapatkan waktu khusus tidak ada kewajiban baginya kecuali melakukan shalat yang khusus untuk waktu tersebut, jika ia termasuk orang yang tidak diwajibkan melakukan shalat sebelum masuk waktu tersebut, dan barang siapa mendapatkan waktu lebih luang maka artinya ia mendapatkan dua shalat pada waktunya, waktu khusus untuk shalat ‘Ashar seukuran satu rakaat sebelum Maghrib. Demikian pula hal itu dilakukan jika menggabungkan antara Maghrib dan ‘Isyā’ hanya saja waktu khusus itu terkadang dijadikan untuk shalat Maghrib, dia (Mālik) berkata: “Ukurannya adalah tiga rakaat sebelum terbit fajar, dan terkadang dijadikan untuk shalat yang terakhir sebagaimana dilakukan pada shalat ‘Ashar,” dia berkata lagi: “Ukurannya adalah empat rakaat”, ini adalah qiyas dan akhir waktu tersebut seukuran satu rakaat sebelum terbit fajar.

  1. Adapun Imām Syāfi‘ī menjadikan akhir dari waktu tersebut satu persatu, yaitu mendapatkan satu rakaat sebelum terbenam matahari, ini berlaku untuk Zhuhur dan ‘Ashar secara bersamaan, dan ukuran satu rakaat sebelum terbit fajar untuk Maghrib dan ‘Isyā’, ada juga yang berpendapat seukuran takbīr (maksudnya, barang siapa mendapatkan takbīr sebelum terbenam matahari maka wajib baginya melakukan shalat Zhuhur dan ‘Ashar).
  2. Imām Abū Ḥanīfah sepakat dengan Mālik tentang akhir waktu ‘Ashar dengan ukuran satu rakaat sebelum terbenam matahari bagi orang-orang yang sedang berada dalam darurat, akan tetapi dia tidak sepakat dengannya tentang waktu yang dimiliki bersama dan waktu khusus.

Sebab perbedaan pendapat: (antara Mālik dan Syāfi‘ī) bertitik tolak dari sebuah pertanyaan apakah pendapat yang menyatakan adanya waktu yang dimiliki oleh dua shalat secara bersamaam, menuntut adanya dua waktu; waktu khusus untuk keduanya dan waktu yang dimiliki bersama? Atau hanya menunjukkan adanya waktu yang dimiliki secara bersamaan.

Argumentasi Syāfi‘ī adalah bahwa penggabungan shalat hanya menunjukkan adanya waktu yang dimiliki bersama, dan tidak menunjukkan adanya waktu khusus.

Sementara Mālik menganalogikan waktu yang dimiliki bersama saat darurat dengan waktu yang dimiliki bersama jika leluasa (maksudnya, jika Zhuhur dan ‘Ashar memiliki dua waktu walaupun dalam keadaan leluasa, yakni waktu yang dimiliki bersama dan waktu khusus, hal itu pun mesti ada jika sedang darurat), adapun Syāfi‘ī tidak menyetujui Mālik tentang adanya waktu yang dimiliki bersama oleh Zhuhur dan ‘Ashar dalam keadaan leluasa.

Catatan:

  1. 192). Telah dijelaskan takhrīj-nya.
  2. 193). Telah dijelaskan takhrīj-nya.

1 Komentar

  1. Badar Rustandi berkata:

    Semoga berkah ilmunya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *