Waktu Wajib Melakukan Shalat Zhuhur – Waktu-waktu Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Syarat-syarat Shalat

Pembahasan ini terbagi dalam delapan bab:

 

Bab 1

Waktu-waktu Shalat

 

Bab ini terbagi kepada dua pasal:

Pertama: Waktu wajib melakukan shalat.

Kedua: Waktu-waktu yang dilarang untuk melakukan shalat.

Pasal Pertama: Waktu wajib melakukan shalat.

Pasal ini meliputi dua hal:

Pertama: Waktu longgar.

Kedua: Waktu sempit.

Pertama: waktu longgar.

Dasar pembahasan ini adalah firman Allah s.w.t.:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا.

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nisā’ [4]: 103).

Kaum muslimin sepakat bahwa shalat lima waktu memiliki waktu-waktu khusus, dan merupakan syarat sahnya shalat, di dalamnya ada waktu utama dan waktu longgar, para ‘ulamā’ berbeda pendapat dalam batasan waktu utama dan waktu longgar.

Di dalam bagian ini ada lima masalah:

Masalah pertama: Waktu shalat Zhuhur.

Para ‘ulamā’ sepakat bahwa awal waktu Zhuhur adalah ketika tergelincirnya matahari, kecuali pendapat syādz yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās – dan kecuali perbedaan yang diriwayatkan mengenai shalat jum‘at yang akan dibahas nanti – mereka pun berbeda pendapat tentang akhir waktu longgar dan akhir waktu yang dianjurkan.

Mengenai akhir waktu longgar:

  1. Imām Mālik, Syāfi‘ī, Abū Tsaur dan Dāūd berkata: “Akhir shalat Zhuhur adalah ketika samanya bayangan sesuatu dengan aslinya.”
  2. Imām Abū Ḥanīfah berkata: “Akhirnya adalah bayangan sesuatu sebanding dengan dua kali tinggi aslinya.” Pada salah satu riwayatnya, dan merupakan awal waktu shalat ‘Ashar baginya, diriwayatkan pula darinya bahwa akhir waktu shalat Zhuhur adalah ketika sama bayangan sesuatu dengan tinggi aslinya, sementara awal shalat ‘Ashar adalah ketika samanya bayangan dengan dua kali aslinya, sementara di antara dua waktu tersebut tidak dibenarkan melakukan shalat Zhuhur, inilah pendapat yang diungkapkan oleh dua murid Abū Ḥanīfah, Abū Yūsuf dan Muḥammad bin Ḥasan.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan atsar yang menjelaskannya malaikat Jibrīl menjadi imam jika melakukan shalat dengan Nabi s.a.w.:

أَنَّهُ صَلَّى بِالنَّبِيِّ (ص) الظُّهْرَ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ، وَ فِي الْيَوْمِ الثَّانِيْ حِيْنَ كَانَ ظَلُّ كُلَّ شَيْءٍ مِثْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: الْوَقْتُ مَا بَيْنَ هذَيْنِ.

Bahwa Jibrīl melakukan shalat Zhuhur bersama Nabi s.a.w. dengan menjadi imam, pada hari pertama dia melakukannya saat matahari tergelincir, dan di hari kedua saat tinggi bayangan sesuatu sama dengan aslinya, kemudian dia berkata: “Waktu (Zhuhur) di antara dua waktu ini”.” (1711).

Diriwayatkan pula, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

إِنَّمَا بَقَاؤُكُمْ فِيْمَا سَلَفَ قَبْلَكُمْ مِنَ الْأُمَمِ كَمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ، أُوْتِيَ أَهْلُ التَّوْرَاةِ التَّوْرَاةَ فَعَمِلُوْا حَتَّى إِذَا انْتَصَفَ النَّهَارُ عَجَزُوْا فَأُعْطُوْا قِيْرَاطًا قِيْرَاطًا، ثُمَّ أَوْتِيَ أَهْلُ الْإِنْجِيْلِ الْإِنْجِيْلَ فَعَمِلُوْا إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ عَجَزُوْا فَأُعْطُوْا قِيْرَاطًا قِيْرَاطًا، ثُمَّ أُوْتِيْنَا الْقُرْآنِ فَعِمْلْنَا إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ فَأُعْطِيْنَا قِيْرَاطَيْنِ، قِيْرَاطَيْنِ، فَقَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ أَيْ رَبَّنَا أَعْطَيْتَ هؤُلَاءِ قِيْرَاطَيْنِ قِيْرَاطَيْنِ، وَ أَعْطَيْتَنَا قِيْرَاطًا قِيْرَاطًا، وَ نَحْنُ كُنَّا أَكْثَرَ عَمَلًا قَالَ: قَالَ: اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ هَلْ ظَلَمْتُكُمْ مِنْ أَجْرِكُمْ مِنْ شَيْءٍ قَالُوْا لَا قَالَ فَهُوَ فَضْلِيْ أُوْتِيْهِ مَنْ أَشَاءُ.

Bahwasanya diamnya kalian dibanding dengan umat terdahulu bagaikan antara shalat ‘Ashar hingga terbenamnya matahari, ahlu Taurāt diberikan Taurāt sehingga mengamalkannya sampai siang hari, lalu mereka nampak tidak mampu sehingga masing-masing dikasih satu qirath, kemudian ahli Injīl diberikan Injīl sehingga mereka mengamalkannya sampai waktu shalat ‘Ashar, lalu nampak mereka tidak maupu menunaikannya akhirnya masing-masing mereka diberikan satu qirath, kemudian kami diberikan al-Qur’ān, lalu kami pun mengamalkannya hingga terbenam matahari, akhirnya kami diberikan dua qirath, ahli kitab berkata: “Wahai Tuhan Engkau memberikan mereka dua qirath, sementara kami hanya mendapatkan satu qirath padahal amal kami lebih banyak?” Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Apakah Aku menzhalimi pahala kalian?” mereka berkata: “Tidak,” Allah berfirman: “Itu adalah keutamaan dari-Ku yang diberikan kepada orang yang aku kehendaki”.” (1722).

Imām Mālik dan Syāfi‘ī memegang hadits yang menjelaskan shalatnya Jibrīl bersama Nabi s.a.w., sementara Abū Ḥanīfah memegang pemahaman terbalik hadits di atas, yang memberikan pengertian bahwa waktu antara ‘Ashar sampai Maghrib lebih singkat daripada waktu antara Zhuhur sampai ‘Ashar, dengan demikian bayangan di waktu awal shalat ‘Ashar mesti lebih tinggi dari aslinya, dan waktu ini merupakan akhir waktu shalat Zhuhur.

Abū Muḥammad bin Ḥazm berkata: “Kenyataanya tidak seperti yang mereka duga, aku telah mencoba masalah ini dan aku dapatkan tegaknya bayangan selama sembilan jam setengah.” (al-Qādhī berkata: “Aku meragukan kata “setengah”, aku kira dia berkata: “Sepertiganya”).

Sementara dalil yang menyatakan bersambungnya waktu adalah sabda beliau s.a.w.:

لَا يَخْرُجُ وَقْتُ صَلَاةٍ حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتٌ أُخْرَى.

Tidaklah keluar waktu shalat, sehingga masuk waktu shalat yang lainnya.” (1733) Ini adalah hadits tsābit.

Adapun waktu yang dianjurkan adalah:

  1. Imām Mālik berpendapat bagi orang yang shalat sendirian waktu yang dianjurkan adalah di awal waktu, dan dianjurkan mengakhirkannya sedikit jika dilakukan di masjid secara berjama‘ah.
  2. Imām Syāfi‘ī berpendapat awal waktu adalah lebih utama kecuali jika cuaca sangat panas. Pendapat seperti ini pun diriwayatkan dari Imām Mālik.
  3. ‘Ulamā’ yang lainnya berpendapat awal waktu adalah lebih utama secara mutlak, baik bagi orang yang melakukan shalat sendirian atau secara berjama‘ah, dalam keadaan panas maupun dingin.

Sebab perbedaan pendapat: Karena perbedaan atsar, dalam masalah ini ada dua hadits shaḥīḥ:

Pertama: Sabda Rasūlullāh s.a.w.:

إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا عَنِ الصَّلَاةِ فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ.

Jika udara sangat panas, maka akhirkanlah shalat hingga cuaca menjadi dingin, sesungguhnya panasnya cuaca berasal dari bara api neraka.” (1744).

Kedua:

إِنَّ النَّبِيَّ (ص) كَانَ يُصَلِّيْ بِالْهَاجِرَةِ.

Bahwa Nabi s.a.w. pernah melakukan shalat saat udara sangat panas.” (1755).

Demikian pula hadits Khabāb:

أَنَّهُمْ شَكَوْا إِلَيْهِ حَرَّ الرَّمْضَاءَ فَلَمْ يُشْكِهِمْ.

Bahwa para sahabat mengeluh teriknya panas kepada Nabi s.a.w., lalu beliau tidak menghiraukannya.” (HR. Muslim).

Zuhair, perawi hadits ini berkata: Aku bertanya kepada Abū Isḥāq: “Apakah hal itu terjadi saat Zhuhur?” dia menjawab: “Betul,” aku bertanya lagi: “Apakah lantaran mempercepatnya?” dia menjawab: “Betul.”

Sebagian ‘ulamā’ menguatkan hadits yang menunda shalat hingga cuaca dingin karena merupakan nash, sementara yang lainnya menguatkan hadits-hadits di atas dengan landasan keumuman hadits yang diriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w. saat ditanya: “Amal apakah yang paling utama?” beliau s.a.w. menjawab: “Shalat pada waktunya.” (1766) (Muttafaq ‘alaih).

Sementara tambahannya (yaitu di awal waktunya) diperdebatkan.

Catatan:

  1. 171). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (393), at-Tirmidzī (149), Aḥmad (1/333, 354) dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (325), dan al-Ḥākim (1/193) lalu disetujui oleh adz-Dzahabī, diriwayatkan pula oleh Abū Ya‘lā dalam sanadnya (2742), ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (10752, 10753, 10754), ad-Dāruquthnī (1/258), al-Baihaqī (1/365) dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam al-Irwā’ (1/268).
  2. 172). Shaḥīḥ. HR. al-Bukhārī (557, 2269, 5021), at-Tirmidzī (2871), Aḥmad (2/111), ath-Thayālisī (1820), ath-Thabrānī (12385), dan al-Baihaqī (6/118).
  3. 173). Shaḥīḥ. HR. Muslim (681), Abū Dāūd (441), Ibn-ul-Jārud (153), Ibn-ul-Ja‘d (3075), al-Baihaqī (2/216) lafazh Muslim adalah:

    إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْريْطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيْطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ حَتَّى يَجِيْءَ وَقْتُ الصَّلَاةِ الْأُخْرَى.

    Sesungguhnya tidak ada kelalaian karena tidur, kelalaian hanyalah bagi orang yang tidak melakukan shalat sehingga datang waktu shalat yang lainnya.

  4. 174). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (533, 534, 536), Muslim (615), Ibnu Mājah (677), Aḥmad (2/285), dan al-Ḥumaidī (942) dari hadits Abū Hurairah.
  5. 175). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (540), Muslim (646), an-Nasā’ī dalam al-Kubrā (1505), Aḥmad (3/369), ath-Thayālisī (1722), Abū ‘Awānah (1/267), dan al-Baihaqī (1/434, 449) dari hadits Jābir.
  6. 176). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (527, 2782, 7534), Muslim (85), Aḥmad (1/421), ath-Thayālisī (372), dan al-Baihaqī (2/215).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *