Waktu Wajib Melakukan Shalat ‘Isya’ dan Shubuh – Waktu-waktu Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah keempat, Waktu ‘Isyā’.

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang waktu shalat ‘Isyā’ dalam dua hal:

Pertama, Awal waktu shalat ‘Isyā’.

Kedua, Akhir waktu shalat ‘Isyā’.

Tentang awal waktu shalat ‘Isyā’:

  1. Imām Mālik, Syāfi‘ī dan sekelompok ‘ulamā’ berpendapat bahwa awal waktunya adalah hilangnya sinar merah (setelah matahari tenggelam).
  2. Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa awal waktunya adalah hilangnya cahaya putih yang terjadi setelah cahaya merah.

Sebab perbedaan pendapat: Adanya ragam makna pada kata syafaq dalam bahasa ‘Arab, seperti halnya kata Fajar, syafaq pun memiliki dua arti, syafaq merah dan putih, dan syafaq putih sudah tentu tiba setelah syafaq merah di awal malam, fajar pun ada yang dinamakan fajar kadzib, juga ada yang dinamakan fajar shādiq, cahaya merah di awal malam adalah serupa dengan cahaya merah di akhir malam, yang menunjukkan tanda menjelangnya siang itu adalah empat, fajar kadzib, fajar shādiq, cahaya merah dan matahari, demikian pula terbenamnya matahari mesti terdiri dari empat unsur, karenanya apa yang diungkapkan oleh al-Khalīl bahwa dia meneliti syafaq putih dan mendapatkannya masih ada di sepertiga malam, ini adalah sebuah kedustaan yang bertentangan dengan penelitian dan qiyas, tidak ada perbedaan di antara para ‘ulamā’ dalam hadits Buraidah dan hadits Jibrīl: “Bahwa dia melakukan shalat ‘Isyā’ di hari pertama saat syafaq terbenam.” (1831).

Jumhur ‘ulamā’ telah memperkuat pendapatnya dengan sebuah riwayat yang menyatakan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) كَانَ يُصَلِّي الْعِشَاءَ عِنْدَ مَغْرِبِ الْقَمَرِ فِي اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ.

Bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukan shalat ‘Isyā’ saat terbenamnya bulan di malam ke tiga.

Lalu Abū Ḥanīfah memperkuat pendapatnya dengan sebuah keterangan bahwa Abū Ḥanīfah mengakhirkan shalat ‘Isyā’, demikian pula sabda beliau s.a.w.:

لَوْ لَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَخَّرْتُ هذِهِ الصَّلَاةَ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ.

Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku niscaya aku akan mengakhirkan shalat ini (‘Isyā’) ke pertengahan malam.” (1842).

Tentang akhir waktu shalat ‘Isyā’, para ‘ulamā’ berbeda pendapat menjadi tiga pendapat:

  1. Satu pendapat menyatakan sampai sepertiga malam.
  2. Yang lainnya menyatakan sampai pertengahan malam.
  3. Ada juga yang berpendapat sampai terbitnya fajar.

Pendapat pertama dipegang oleh Imām Syāfi‘ī, Abū Ḥanīfah dan merupakan pendapat masyhur dari madzhab Mālikī, diriwayatkan pula bahwa Imām Mālik memegang pendapat kedua (yakni sampai pertengahan malam), sementara yang ketiga adalah pendapat Dāūd.

Sebab perbedaan pendapat: Adanya kontradiksi di antara berbagai atsar: Dalam hadits Jibrīl diterangkan bahwa dia melakukan shalat ‘Isyā’ pada hari kedua pada sepertiga malam, sementara dalam hadits Anas, dia berkata: “Nabi s.a.w. mengakhirkan shalat ‘Isyā’ sampai pertengahan malam.” (1853) (HR. al-Bukhārī).

Diriwayatkan pula dari hadits Abū Sa‘īd al-Khudri dan hadits Abū Hurairah dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:

لَوْ لَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَخَّرْتُ الْعِشَاءَ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ.

Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku niscaya aku akan mengakhirkan shalat ‘Isyā’ ke pertengahan malam.” (1864).

Adapun hadits Abū Qatādah:

لَيْسَ التَّفْرِيْطُ فِي النَّوْمِ، إِنَّمَا التّفْرِيْطُ أَنْ تُؤَخِّرَ الصَّلَاةَ حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ الْأُخْرَى.

Sesungguhnya tidak ada kelalaian karena tidur, kelalaian adalah mengakhirkan shalat hingga masuk waktu shalat yang lainnya.” (1875).

‘Ulamā’ yang menguatkan hadits Jibrīl berkata: “Akhirnya sampai sepertiga malam.”

‘Ulamā’ yang menguatkan hadits Anas berkata: “Akhirnya sampai pertengahan malam.”

Adapun ahli zhāhir berpegangan kepada hadits Abū Qatādah, mereka berkata: “Hadits tersebut datang lebih akhir daripada hadits Jibrīl, karenanya ia menghapus hukum hadits Jibrīl, jika tidak menghapus maka akan ada kontradiksi yang menggugurkan hukumnya, dan saat itu mesti kembali kepada hukum asal yang disepakati.

Dan mereka bersepakat bahwa waktu shalat ‘Isyā’ telah lewat setelah keluarnya fajar, lalu mereka berbeda pendapat sesaat sebelum terbitnya fajar, kami telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa waktu shalat ‘Isyā’ menurutnya adalah sampai terbitnya fajar, maka hal ini mesti menjadi penyerta dalam menetapkan hukum waktu, kecuali jika ada kesepakatan mengenai keluarnya waktu, dugaan saya ini adalah pendapat yang dipegang oleh Abū Ḥanīfah.

Masalah kelima: Waktu shalat Shubuḥ.

Para ‘ulamā’ sepakat bahwa awal shalat Shubuḥ adalah terbitnya fajar shadiq, dan akhirnya adalah terbitnya matahari, kecuali sebuah riwayat dari Ibn-ul-Qāsim dan sebagian pengikut Syāfi‘iyyah yang menyatakan bahwa akhir waktu shalat Shubuḥ adalah sampai tampaknya sinar Shubuḥ.

Lalu mereka berbeda pendapat mengenai waktunya yang utama:

  1. ‘Ulamā’ Kūfah, Abū Ḥanīfah beserta pengikutnya, ats-Tsaurī dan kebanyakan ‘ulamā’ ‘Irāq menyatakan bahwa waktunya yang paling utama adalah ketika sinar Shubuḥ sudah tampak.
  2. Imām Mālik, Syāfi‘ī beserta pengikutnya, Aḥmad bin Ḥanbal, Abū Tsaur dan Dāūd berpendapat bahwa waktu yang paling utama adalah di akhir malam.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka dalam cara menyatukan berbagai hadits yang secara zhāhir berseberangan. Diriwayatkan dari jalan Rāfi‘ bin Khadīj, sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

أَسْفِرُوْا بِالصُّبْحِ فَكُلَّمَا أَسْفَرْتُمْ فَهُوَ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ.

Lakukanlah shalat Shubuḥ saat sinarnya telah nampak, setiap kali kamu melakukannya demikian, maka hal itu lebih menghasilkan pahala yang lebih besar.” (1886).

Diriwayatkan pula bahwa beliau pernah ditanya tentang amalan yang paling utama, lalu beliau menjawab:

الصَّلَاةُ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا.

Shalat di awal waktu.” (1897).

Demikian pula diriwayatkan: “Bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukan shalat Shubuḥ, lalu kaum wanita pulang sambil menutup tubuh mereka dengan wol, tidak ada seorang pun mengetahui mereka karena gelapnya akhir malam.” (1908) Zhāhir hadits ini menunjukkan bahwa hal itulah yang biasa mereka lakukan.

‘Ulamā’ yang menyatakan bahwa hadits Rāfi‘ bersifat khusus, sementara hadits yang menyatakan shalat di awal waktu bersifat umum, dan berdasarkan kaidah yang masyhur bahwa khusus bisa menggugurkan yang umum, dengan alasan ini maka keumuman tersebut dibatasi dengan shalat Shubuḥ, lalu hadits ‘Ā’isyah menunjukkan kebolehan, hadits tersebut hanya merupakan kabar untuk sebuah peristiwa dan bukan amalan yang biasa dilakukan oleh beliau s.a.w., mereka yang berargumentasi demikian berkata: “Shalat Shubuḥ saat cahaya pagi menyebar lebih baik daripada melakukannya di akhir malam.”

Lalu kelompok yang menguatkan hadits umum karena selaras dengan hadits ‘Ā’isyah, demikian pula hadits ‘Ā’isyah merupakan nash atau yang zhāhir, sementara hadits Rāfi‘ bersifat muhtamal (kemungkinan), sebab, bisa saja maknanya adalah benar-benar meyakini adanya fajar, akhirnya tidak ada kontradiksi antara hadits Rāfi‘ dengan ‘Ā’isyah juga hadits yang bersifat umum, mereka yang berargumentasi demikian berkata: “Shalat Shubuḥ di awal waktu adalah lebih utama.”

Adapun ‘ulamā’ yang berpendapat bahwa akhir waktunya adalah saat adanya cahaya Shubuḥ, maka sesungguhnya mereka memberikan penafsiran bahwa hadits tersebut untuk orang yang ada dalam keadaan darurat, yakni sabda Nabi s.a.w.:

مَنْ أَدْرَكَ رَكَعَةً مِنَ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ.

Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari Shubuḥ sebelum matahari terbit maka dia telah mendapatkan Shubuḥ.” (1919).

Ini persis dengan pendapat jumhur ‘ulamā’ saat mengomentari shalat ‘Ashar, anehnya mereka berpaling dari ulasan seperti ini, dan memihak kepada ahlu zhāhir, karena itulah ahlu zhāhir bisa menuntut perbedaan di antara keduanya.

Catatan:

  1. 183). Telah dijelaskan takhrīj-nya.
  2. 184). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (422), an-Nasā’ī (1/268), Ibnu Mājah (692), Aḥmad (3/5), al-Baihaqī (1/451) dari hadits Abū Sa‘īd al-Khudrī dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥ Abū Dāūd, lafazhnya dalam riwayat Abū Dāūd adalah:

    لَوْ لَا ضَعْفُ الذَّعِيْفِ وَ سَقَمُ السَّقِيْمِ لَأَخَّرْتُ هذِهِ الصَّلَاةَ إِلَى شَطْرِ اللَّيْل.

    Seandainya bukan karena lemahnya orang yang lemah, sakitnya orang yang sakit niscaya aku akan mengakhirkan shalat sampai pertengahan malam.

  3. 185). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (572), Muslim (640), an-Nasā’ī (1/268), Ibnu Mājah (692), Aḥmad (3/200).
  4. 186). Shaḥīḥ, hadits Abū Hurairah. HR. Abū Dāūd (46), at-Tirmidzī (167), an-Nasā’ī (1/266), Ibnu Mājah (690, 691), Aḥmad (2/245) dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Ḥibbān (1538, 1539), dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥ at-Tirmidzi, dalam sebagian lafazhnya:

    لَأَمَرْتُهُمْ بِتَأْخِيْرِ الْعِشَاءِ وَ السِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ.

    Niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk mengakhirkan ‘Isyā’, dan memerintahkan mereka bersiwak setiap kali akan melakukan shalat.

  5. 187). Shaḥīḥ. HR. at-Tirmidzī (154), an-Nasā’ī (1/372), Aḥmad (3/465), ath-Thayālisī (959), ad-Dārimī (1/277), ath-Thabrānī (4286, 4287, 4288, 4290, 4294).
  6. 188 *Missing
  7. 189 *Missing
  8. 190 *Missing
  9. 191 *Missing

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *