Waktu Wajib Melakukan Shalat ‘Ashar & Maghrib – Waktu-waktu Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah kedua: Waktu shalat ‘Ashar.

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat mengenai waktu shalat ‘Ashar dalam dua hal:

Pertama, Adanya kesamaan antara awal waktu shalat ‘Ashar dengan akhir shalat Zhuhur.

Kedua, Akhir waktu shalat ‘Ashar.

Mengenai kesamaan waktu:

  1. Imām Mālik, Syāfi‘ī, Dāūd dan sekelompok ‘ulamā’ bersepakat bahwa awal waktu shalat ‘Ashar adalah akhir waktu shalat Zhuhur, yaitu saat tinggi bayangan sama dengan tinggi aslinya, hanya saja Imām Mālik menyatakan bahwa akhir waktu Zhuhur adalah awal waktu shalat ‘Ashar secara bersamaan (yakni seukuran shalat empat rakaat), sementara Imām Syāfi‘ī, Abū Tsaur dan Dāūd berpendapat bahwa akhir waktu Zhuhur dan awal shalat ‘Ashar menyatu tidak bisa dipisahkan.
  2. Imām Abū Ḥanīfah sebagaimana telah kami jelaskan berpendapat bahwa awal waktu ‘Ashar adalah tinggi bayangan dua kali benda aslinya.

Perbedaan pendapat antara Abū Ḥanīfah dengan yang lainnya telah dijelaskan di muka.

Adapun sebab perbedaan pendapat antara Mālik dengan Syāfi‘ī bersama kelompoknya adalah adanya kontradiksi antara hadits Jibrīl dengan hadits ‘Abdullāh bin ‘Amru, dalam hadits Jibrīl dijelaskan: “Bahwa dia melakukan shalat Zhuhur bersama Nabi s.a.w. kedua kalinya pada waktu shalat ‘Ashar saat melakukannya pertama kali.” (1771).

Sementara hadits ‘Abdullāh bin ‘Amru, bahwa Nabi s.a.w. bersabda:

وَقْتُ الظُّهْرِ مَا لَمْ يَحْضُرْ وَقْتُ الْعَصْرِ.

Waktu shalat Zhuhur adalah selama waktu ‘Ashar belum tiba.” (1782) (HR. Muslim).

‘Ulamā’ yang menguatkan hadits Jibrīl atas hadits yang lainnya berpendirian bahwa waktu tersebut bersamaan, dan ‘ulamā’ yang menguatkan hadits ‘Abdullāh daripada hadits Jibrīl tidak menjadikannya bersamaan.

Hadits Jibrīl lebih mungkin dipahami daripada hadits ‘Abdullāh, karena kemungkinan adanya kata-kata berlebihan dari perawi, dan dekatnya kedua waktu tersebut, selain itu hadits Jibrīl dinilai shaḥīḥ oleh at-Tirmidzī sementara hadits Ibnu ‘Umar diriwayatkan oleh Muslim.

Kemudian perbedaan para ‘ulamā’ tentang akhir waktu shalat ‘Ashar, dalam masalah ini ada dua riwayat dari Mālik:

  1. Akhir waktunya adalah bahwa tinggi bayangan sama dengan dua kali tinggi aslinya, ini pula pendapat yang dipegang oleh Imām Syāfi‘ī.
  2. Akhir waktunya adalah selama matahari belum nampak berwarna kuning, pendapat ini dipegang oleh Aḥmad bin Ḥanbal.
  3. Sementara Ahlu Zhāhir berpendapat satu rakaat sebelum matahari terbenam.

Sebab perbedaan pendapat: Dalam masalah ini ada tiga hadits yang saling bertentangan.

Pertama, hadits ‘Abdullāh bin ‘Amru yang diriwayatkan oleh Muslim, di dalamnya diungkapkan:

فَإِذَا صَلَّيْتُمُ الْعَصْرَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ.

Jika kalian hendak melakukan shalat ‘Ashar, maka waktunya adalah hingga matahari berwarna kuning.” (1793).

Dalam sebagian riwayat dinyatakan:

وَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ.

Waktu shalat ‘Ashar adalah selama matahari belum berwarna kuning.”

Kedua, hadits Ibnu ‘Abbās tentang shalatnya Jibrīl bersama Nabi s.a.w. di dalamnya diungkapkan:

إِنَّهُ صَلَّى بِهِ الْعَصْرَ فِي الْيَوْمِ الثَّانِيْ حِيْنَ كَانَ ظِلُّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ.

Bahwa dia mengimami shalat ‘Ashar bersama Nabi pada hari kedua saat bayangan sesuatu sebanding dengan dua kali aslinya.” (1804).

Ketiga, hadits Abū Hurairah yang masyhur:

مَنْ أَدْرَكَ رَكَعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ، وَ مَنْ أَدْرَكَ رَكَعَةً مِنَ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ.

Barang siapa mendapatkan satu rakaat ‘Ashar sebelum terbenamnya matahari, maka dia telah mendapatkan ‘Ashar, dan barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Shubuḥ sebelum matahari terbit maka dia telah mendapatkan Shubu.” (1815).

‘Ulamā’ yang menguatkan hadits shalatnya Jibrīl bersama Nabi s.a.w., berpendapat bahwa akhir waktu utama adalah dua kali bayangan asli.

‘Ulamā’ yang menguatkan hadits Abū Hurairah, berkata: “Waktu ‘Ashar adalah hingga tersisa satu rakaat sebelum matahari terbenam, mereka adalah ahlu zhahir sebagaimana telah kami katakan.”

Sementara jumhur menggabungkan tiga hadits di atas; hadits Ibnu ‘Abbās dan ‘Abdullāh bin ‘Amru, kedua waktunya berdekatan, karena itulah terkadang Imām Mālik memegang pendapat ini, dan terkadang yang lainnya, adapun hadits Abū Hurairah mengandung waktu yang jauh dari kedua hadits di atas, karena itu mereka mengatakan bahwa hadits ini diperuntukkan untuk orang-orang yang memiliki ‘udzur.

Masalah ketiga: Waktu shalat maghrib.

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat mengenai shalat maghrib, apakah memiliki waktu longgar (luas).

  1. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa shalat maghrib tidak memiliki waktu luas, ini adalah riwayat termasyhur dari Imām Mālik dan Syāfi‘ī.
  2. Sebagian yang lainnya berpendapat bahwa waktunya meluas dari terbenamnya matahari sampai lenyapnya syafaq (sinar merah), inilah pendapat yang dipegang oleh Imām Abū Ḥanīfah, Aḥmad, Abū Tsaur dan Dāūd, pendapat ini pun diriwayatkan dari Syāfi‘ī dan Mālik.

Sebab perbedaan pendapat: Adanya kontradiksi antara hadits Jibrīl dengan hadits ‘Abdullāh bin ‘Amru. Dalam hadits Jibrīl dijelaskan bahwa dia melakukan shalat Maghrib dua hari dalam waktu yang sama, sementara dalam hadits ‘Abdullāh bin ‘Amru dijelaskan:

وَ وَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ.

Dan waktu shalat Maghrib adalah selama syafaq (sinar merah) tidak lenyap.” (1826).

‘Ulamā’ yang menguatkan hadits Jibrīl berpendapat bahwa waktunya hanya satu, sementara ‘ulamā’ yang menguatkan hadits ‘Abdullāh bin ‘Amru menjadikan waktu longgar untuk shalat Maghrib.

Hadits ‘Abdullāh bin ‘Amru diriwayatkan oleh Muslim, sementara hadits Jibrīl tidak diriwayatkan oleh al-Bukhārī dan Muslim (maksudnya hadits Ibnu ‘Abbās), yang dijelaskan bahwa Nabi s.a.w. melakukan sepuluh shalat, yang semuanya menjelaskan tentang waktu shalat, dan di dalam hadits tersebut Jibrīl berkata: “Waktunya di antara dua waktu ini.

Makna yang terkandung dalam hadits ‘Abdullāh bin ‘Amru pun ada dalam hadits Buraidah al-Aslamī, yang merupakan pokok dalam masalah ini, mereka berkata: “Hadits Buraidah lebih utama karena terjadi di Madīnah saat ada orang yang bertanya tentang waktu shalat, sementara hadits Jibrīl terjadi di Makkah saat pertama kali shalat ditetapkan.”

Catatan:

  1. 177). Hadits ini telah dijelaskan takhrīj-nya terdahulu.
  2. 178). Shaḥīḥ. HR. Muslim (612), Abū Dāūd (396), an-Nasā’ī (1/260), Aḥmad (2/210, 213, 223), dan al-Baihaqī (1/365, 367, 374, 378).
  3. 179). Telah dijelaskan takhrīj-nya.
  4. 180). Telah dijelaskan takhrīj-nya.
  5. 181). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (579), Muslim (608), at-Tirmidzī (186), an-Nasā’ī (1/157), Aḥmad (1/462), dan al-Baihaqī (1/367, 368).
  6. *Missing

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *