Para ‘ulamā’ sepakat bahwa adzān tidak dikumandangkan sehingga masuk waktu shalat, kecuali shalat Shubuḥ, dalam hal ini para ‘ulamā’ berbeda pendapat:
Sebab perbedaan pendapat: dalam hal ini ada dua hadits yang saling bertentangan:
Pertama, hadits masyhur, yaitu sabda Rasūlullāh s.a.w.:
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَ اشْرَبُوْا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ.
“Sesungguhnya Bilāl mengumandangkan adzān di malam hari maka makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktūm mengumandangkan adzān.” (209209). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (917, 1918, 2656), Muslim (1092), Abū Dāūd (1347), at-Tirmidzī (203), an-Nasā’ī (2/10), Ibnu Mājah (1696), Aḥmad (2/9, 57, 62, 123, 386) semuanya dari hadits Ibnu ‘Umar.).
Ibnu Ummi Maktūm adalah seorang lelaki buta, dan ia tidak mengumandangkan adzān hingga dikatakan kepadanya: “Telah Shubuḥ, telah Shubuḥ.”
Kedua, riwayat dari Ibnu ‘Umar:
إِنَّ بِلَالًا أَذَّنَ قَبْلَ طُلُوْعِ الْفَجْرِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ (ص) أَنْ يَرْجِعَ فَيُنَادِيَ أَلَا إِنَّ الْعَبْدَ قَدْ نَامَ.
“Sesungguhnya Bilāl mengumandangkan adzān sebelum terbit fajar, lalu Nabi s.a.w. memerintahkannya untuk mengulang, lalu dia berseru: “Ingatlah sesungguhnya seorang hamba telah tidur.” (2101).
Hadits yang dipegang oleh ‘ulamā’-‘ulamā’ Ḥijāz lebih kuat sementara hadits yang dipegang oleh ‘ulamā’ Kūfah diriwayatkan oleh Abū Dāūd, dan dinilai shaḥīḥ oleh banyak ‘ulamā’, jadi para ‘ulamā’ dalam memahami dua hadits ini menempuh dua cara, al-jam‘u (mengkompromikan beberapa hadits) dan tarjīḥ (menentukan yang lebih kuat).
‘Ulamā’ yang menempuh cara tarjīḥ adalah ‘ulamā’-‘ulamā’ Ḥijāz, mereka berkata: “Hadits Bilāl lebih kuat dan wajib diambil.”
Adapun ‘ulamā’ yang berusaha untuk mengompromikan adalah ‘ulamā’ Kūfah, mereka berkata: “Mungkin saja adzan Bilāl itu dilakukan jika diragukan terbitnya fajar, karena saat itu matanya agak lemah, sementara adzān Ibnu Ummi Maktūm terjadi jika benar-benar telah terbit fajar, cara seperti ini didukung dengan sebuah atsar dari ‘Ā’isyah, dia berkata:
لَمْ يَكُنْ بَيْنَ أَذَانَيْهِمَا إِلَّا بِقَدَرِ مَا يَهْبِطُ هذَا وَ يَصْعَدُ هذَا.
“Jeda waktu antara keduanya hanya seukuran turunnya (yang pertama) dan naiknya (yang kedua).” (2112).
Sementara ‘ulamā’ yang mengkompromikan di antara keduanya maksudnya, mengumandangkan adzān sebelum fajar dan setelahnya), mereka berpegang teguh kepada zhāhir riwayat shalat Shubuḥ secara khusus (maksudnya, bahwa mu’adzdzin pada zaman Rasūlullāh s.a.w. itu ada dua, Bilāl dan Ibnu Ummi Maktūm).
إِنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) كُلُوْا وَ اشْرَبُوْا حَتَّى يُؤَذِّنُ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ قَالَ الْقَاسِمُ وَ لَمْ يَكُنْ بَيْنَ أَذَانِهِمَا إِلَّا أَنْ يَرْقَى ذَا وَ يَنْزِلَ ذَا.
“Sesungguhnya Bilāl mengumandangkan adzān di malam hari, lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Makan dan minumlah kalian sehingga Ibnu Ummi Maktūm mengumandangkan adzān, karena sesungguhnya dia tidak akan beradzān sehingga terbit fajar”, al-Qāsim berkata: “Tempo di antara keduanya hanya seukuran naiknya yang kedua dan turunnya yang pertama.” HR. al-Bukhārī (623), dan Muslim (1092).