Hati Senang

‘Ulama Fiqh Dan Hadist Pun Bertarekat – Tarekat dalam Timbangan Syariat

Buku Tarekat dalam Timbangan Syariat
TAREKAT dalam Timbangan SYARIAT Jawaban atas Kritik Salafi Wahabi Penulis: Nur Hidayat Muhammad   Penerbit: Muara Progresif

‘ULAMĀ’ FIQH DAN HADITS PUN BERTAREKAT

 

Adakah ‘ulamā’ Islam, baik dari kalangan ahli hadits dan fiqh, yang bertarekat? Pentanyaan menggelitik yang sanggat menarik kita kaji untuk meneguhkan keyakinan akan kebenaran tareka shūfī. Diharapkan dengan ulasan ini, siapapun yang kontra dan mencela tarekat shūfī tidak lagi menghinakannya dengan sehina-hinanya.

Pendiri tarekat adalah para ‘ulamā’ ‘āmilīn dan wali besar yang diakui muslimin di penjuru dunia, kecuali mereka yang merasa paling Qur’ānī tetapi jiwa mereka rapuh dipenuhi dendam, iri dengki, buruk sangka, bangga diri, dan cinta popularitas.

Ibn-ul-Ḥajj al-Mālikī penulis kitab al-Madkhal, setelah mengkritik berbagai persepsi batil dalam bertarekat di hadapan mursyid, berkata: “Janganlah kemudian ini dijadikan prasangka oleh mereka, bahwa apa yang sudah saya paparkan barusan adalah bentuk pengingkaran terhadap mengambil janji (bait tarekat) dari orang yang ahli kepada orang yang juga ahli dengan kriteria yang telah ditetapkan. Demikian itu karena mengambil janji adalah napak tilas jalannya para salaf shalih. Dan saya juga tidak menginkari penisbatan kepada para masyāyikh (bertarekat) selama memenuhi syarat.” (471).

Imām Aḥmad bin Ḥanbal, meski belum ditemukan keterangan secara rinci dan pasti yang menyebutkan beliau bertarekat, tetapi beliau ikhlas menerima bimbingan dan saran dari Abū Ḥamzah al-Baghdādī, seorang shūfī besar di zamannya.

Dan berikut ini adalah daftar ‘ulamā’ ahli hadits dan ahli fiqh yang bertarekat, atau minimal pernah hidup di bawah bimbingan mursyid tarekat. Mereka adalah.

1). Imām Abū Ḥanīfah sebagaimana keterangan di depan.

2). Sulthān-ul-‘Ulamā’, ‘Izz-ud-Dīn bin ‘Abd-is-Salām, yang sulūk di bawah asuhan Syaikh Abul-Ḥasan asy-Syādzilī.

3). Al-Ḥāfizh an-Nawawī dalam bimbingan Syaikh Yāsīn al-Mazzīn. (482).

4). Imām Ḥasan al-Bashrī yang menerima talqīn dari Sayyidinā ‘Alī bin Abī Thālib r.a. Atau menurut sebagian riwayat, beliau dari ayahnya yang bernama ‘Alī, dari Sayyidinā ‘Alī bin Abī Thālib r.a.

5). Ibnu Daqīq-il-‘Īd, murid ‘Izz-ud-Dīn bin ‘Abd-is-Salām, yang dalam suluknya di bawah asuhan Syaikh Abul-Ḥasan asy-Syādzilī.

6). Imām Ḥujjat-ul-Islām al-Ghazālī.

*Missing: (493).

7). Ibnu Mulaqqīn, penulis kitab takhrīj hadits, al-Badr-ul-Munīr, yang mempunyai silsilah tarekat dengan ‘Abd-ul-Wāḥid bin Zaid (shūfī yang pernah melamar Rābi‘ah Adawiyyah). (504).

8). Al-Ḥāfizh Jalāl-ud-Dīn as-Suyūthī di bawah asuhan Syaikh al-Maghribī asy-Syādzilī. (515).

9). Al-Ḥāfizh ‘Abd-ur-Ra‘ūf al-Munāwī, penulis syaraḥ al-Jāmi‘ ash-Shaghīr, di bawah asuhan Syaikh ‘Abd-ul-Wahhāb asy-Sya‘rānī.

10). Syaikh ‘Abd-ul-Wahhāb asy-Sya‘rānī.

11). Ibnu Suraij asy-Syāfi‘ī di bawah bimbingan Junaid al-Baghdādī.

12). Muḥammad bin Muḥammad al-Ba‘lī al-Ḥanbalī yang diakui oleh Ibnu Katsīr dalam al-Bidāyah wan-Nihāyah (juz XIII, hal. 212) dan Ibnu Mufliḥ dalam al-Maqshad al-Marsyad (juz II, hal. 357) bertarekat di bawah asuhan ‘Abdullāh al-Bathaiḥī.

13). Muḥammad bin Aḥmad al-Yunānī al-Ḥanbalī yang diakui al-Ḥāfizh adz-Dzahabī dalam Siyaru A‘lām-in-Nubalā’ (juz VI, hal. 17) bertarekat di bawah asuhan ‘Abdullāh al-Bathaiḥī.

15). ‘Alī bin Wadhdhah al-Ḥanbalī yang diakui Ibnu Mufliḥ bertarekat di bawah asuhan ‘Alī bin Idrīs al-Ya‘qūbī.

16). Ibnu Qudamah al-Maqdīsī al-Ḥanbalī, penulis kitab al-Mughnī, bertarekat bersama dengan al-Ḥāfizh ‘Abd-ul-Ghanī di hadapan Syaikh-ul-Islām ‘Abd-ul-Qādir. Demikian dikutip Imām al-‘Ulaimī dalam dalam al-Manhaj al-Aḥmad (juz II, hal. 191.

17). Al-Ḥāfizh ‘Abd-ul-Ghanī al-Ḥanbalī.

18). Syaikh Muḥammad bin ‘Umar al-Baghdādī al-Ḥanbalī yang juga bertarekat.

19). ‘Abdullāh al-Kinānī al-Ḥanbalī yang menurut Ibnu Mufliḥ juga bertarekat di hadapan Syaikh ‘Alī al-Maidūnī. (526).

20). Syaikh-ul-Islāmi wal-Muslimīn Zakariyyā al-Anshārī penulis kitab Asnā al-Mathālib, Fatḥ-ul-Wahab dan lain-lain yang belajar sulūk di bawah asuhan Syaikh al-Ghamrī.

21). Syaikh ‘Abdullāh asy-Syarqāwī, mantan Syaikh-ul-Azhar dan penulis kitab syarah hadits Mukhtasharu Shaḥīḥ-il-Bukhārī karya az-Zabīdī.

22). Imām Mufassir Fakhr-ud-Dīn ar-Rāzī. Diceritakan oleh asy-Sya‘rānī dalam al-Ajwibat-ul-Mardhiyyah, bahwa pernah suatu waktu Syaikh Fakhr-ud-Dīn ar-Rāzī bermaksud datang ke tempat Syaikh Najm-ud-Dīn al-Kurdī supaya diajarkan tarekat shūfī. Dan ketika kabar tersebut sampai ke telinga Syaikh Najm-ud-Dīn, beliau berkata: “Sungguh dia tidak akan mampu bertarekat.” Dan tatkala Syaikh Fakhr-ud-Dīn ar-Rāzī sampai di ribath Syaikh Najm-ud-Dīn, beliau mengucapkan salam: “Wahai saudaraku, apa gerangan yang mendorong dirimu datang ke daerah kami?” Tanya Syaikh Najm-ud-Dīn. “Aku datang karena ingin diajarkan tarekat untuk dapat ma‘rifat Allah” jawab Fakhr-ud-Dīn. Syaikh Najm-ud-Dīn kembali berkata: “Dirimu tidak akan mampu.” Syaikh Fakhr-ud-Dīn ar-Rāzī menjawab: “Aku mampu, in syā’ Allāh”. Syaikh Fakhr-ud-Dīn ar-Rāzī pun memohon berkali-kali untuk dijadikan sebagai murid. Kemudian Syaikh Najm-ud-Dīn memberi titah kepada salah seorang kepercayaan beliau agar membukakan pintu kamar khalwat dan mempersilakan Syaikh Fakhr-ud-Dīn ar-Rāzī untuk masuk dan sibuk berdzikir kepada Allah dalam khalwatnya. Selang beberapa saat, Syaikh Najm-ud-Dīn bermunajat kepada Allah dan ternyata Allah-pun berkenan mencabut semua ilmu yang dimiliki Syaikh Fakhr-ud-Dīn. Dan ketika Syaikh Fakhr-ud-Dīn merasa ilmunya hilang, beliau berteriak sekeras-kerasnya dalam khalwatnya: “Aku tidak mampu, aku tidak mampu, aku tidak mampu”. Dan akhirnya pun Syaikh Najm-ud-Dīn mengeluarkan Syaikh Fakhr-ud-Dīn dari ruangan khalwatnya. Syaikh Fakhr-ud-Dīn berkata: “Sungguh aku takjub dengan kesungguhan ucapanmu”. Syaikh Najm-ud-Dīn kemudian berkata: “Wahai Fakhr-ud-Dīn, bagaimana dirimu berharap jalan menuju Allah sedangkan di dirimu masih ada cinta menjadi pemimpin di antara teman-temanmu dan takabbur atas mereka? Bagaimana kamu akan menjadi hamba Allah dan tidak ada kecenderungan selain diri-Nya?” Kala mendengar ucapan tersebut, menangislah Syaikh Fakhr-ud-Dīn dan berkata: “Aku telah merugi dan beruntunglah orang lain.” Syaikh Najm-ud-Dīn kembali berkata: “Engkau telah menjadi salah seorang yang aku kenal dan aku senang engkau menjadi sahabatku. Engkau tidak kuasa, maka kembalilah ke daerah asalmu dengan selamat.” (537).

23). Al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar al-Asqalānī. Beliau pernah meminta tashḥīḥ kitab syarah nazham Tā’iyyah karya Ibn-ul-Farīdh kepada ‘ulamā’ tarekat, Syaikh Abū Madyān. Syaikh ‘Abd-ul-Wahhāb asy-Sya‘rānī bercerita: “Telah sampai riwayat kepadaku bahwa Syaikh-ul-Islām al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar al-Asqalānī pernah menulis kitab yang berisi penjelasan (syaraḥ) bait-bait syair ‘Umar bin Farīdh. Kemudian hasil kitab syarah tersebut dikirimkan kepada Syaikh Abū Madyān, murid Syaikh Aḥmad az-Zāhid, supaya dilihatnya. Selama 2 bulan kitab syarah tersebut berada di tempat Syaikh Abū Madyān setelah dikirimkan oleh al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar. Setelah 2 bulan berlalu, Abū Madyān mengembalikan kitab tersebut kepada al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar dan di luar sampulnya diberi tulisan: “Berjalan ke arah timur dan berjalan ke arah barat. Betapa jauhnya antara timur dan barat.” (548). Setelah itu beliau hidup dalam bimbingan Abū Madyān. (559).

24). Syaikh ‘Ubādah al-Mālikī di bawah asuhan Abū Madyān. Pernah terjadi cerita antara Sayyidī Syaikh Abū Madyān dengan Syaikh ‘Ubādah al-Mālikī. Suatu hari Syaikh Abū Madyān mengundang Syaikh ‘Ubādah datang ke acara resepsi yang beliau adakan. Kala itu, Syaikh ‘Ubādah adalah salah satu ‘ulamā’ yang kebetulan tidak sejalan dengan Syaikh Abū Madyān. Kemudian Abū Madyān menyusun rencana, yaitu perintah kepada murid-muridnya untuk tidak berdiri saat Syaikh ‘Ubādah datang dan tidak pula diberi tempat yang longgar. Dan mereka semua pun menjalankan titah sang guru saat Syaikh ‘Ubādah datang, sehingga beliau hanya duduk di jalanan yang banyak dilalui orang yang lewat. Kemudian Syaikh Abū Madyān berdiri dan berkata sesuai dengan rencananya: “Syaikh telah datang dan kalian tidak memberitahuku?!” dan sesaat kemudian Syaikh Abū Madyān memanggil Syaikh ‘Ubādah dan dipersilahkan untuk duduk di samping beliau. Lalu Syaikh Abū Madyān berkata: “Ada pertanyaan untuk anda, bolehkah seseorang berkata kepada orang-orang: “Berdirilah menghormatiku dan muliakanlah aku seperti halnya kalian mengagungkan Rabbmu?” Syaikh ‘Ubādah menjawab “ya”. Dan apa yang terjadi setelah percakapan singkat itu, Syaikh ‘Ubādah berteriak di tengah hadirin yang hadir: “Ketahuilah, aku menyaksikan kepada kalian semuanya, bahwa aku memperbarui Islamku di depan Syaikh Abū Madyān”. Kemudian setelah kejadian itu, beliau diajari dzikir oleh Syaikh Abū Madyān dan beliau juga berkhidmah sampai wafat. Beliau juga rela meninggalkan majlis pengajian ilmunya dan berpesan jika suatu saat beliau wafat hendaknya dimakamkan di samping murid-murid shūfī Syaikh Abū Madyān. Syaikh ‘Ubādah al-Mālikī juga pernah berkata: “Andai tidak karena berkah Sayyidī Syaikh Abū Madyān tentu aku sudah binasa karena sifat sombong dan banggaku”. (5610).

25). Sayyid Murtadhā az-Zabīdī, seorang ‘ālim lughat, hadits, fiqh dan tashawwuf yang juga penulis syarah Iḥyā’, Ittifat-us-Sādāt-il-Muttaqīn. (5711).

26). Syaikh Ḥasan al-Adawī al-Mālikī, seorang ahli hadits dari Mesir yang juga penulis kitab an-Nafaḥāt-usy-Syādziliyyah. (5812) Beliau adalah guru dari Syaikh Yūsuf an-Nabhānī.

27). Syaikh Yūsuf an-Nabhānī sebagaimana yang beliau tulis dalam akhir kitab Syawāhid-ul-Ḥaqq.

28). Syaikh Dr. ‘Abd-ul-Ḥalīm Maḥmūd, mantan Syaikh-ul-Azhar, Kairo, Mesir, yang juga pengamal tarekat Syādziliyyah.

29). Al-Ḥāfizh Ḥakīm at-Tirmidzī, penulis kitab hadits Nawādir-ul-Ushūl.

30). Syams-ud-Dīn al-Ḥanafī yang bertarekat Syādziliyyah.

31). Syaikh Aḥmad Dardir al-Mālikī, penulis as-Syarḥ-ul-Kabīr, pengamal tarekat Khalwatiyyah.

32). Imām Aḥmad ash-Shāwī, penulis Ḥāsyiyat-ush-Shāwī syarḥu Tafsīr-il-Jalālain, pengamal tarekat Khalwatiyyah.

33). Sayyid Mushthafā al-Bakrī, seorang ‘ulamā’ Ḥanafiyyah pengamal tarekat Khalwatiyyah.

34). Syaikh ‘Abd-ul-Ghanī an-Nabilisī, seorang ‘ulamā’ Ḥanafiyyah pengamal tarekat Khalwatiyyah.

35). Syaikh Imām al-Jazūlī penulis Dalā’il-ul-Khairāt yang merupakan seorang pengamal tarekat Syādziliyyah.

36). Al-Muḥaddits al-Faqīr ‘Abdullāh bin Shiddīq al-Ghumārī, mursyid tarekat ash-Shiddīqiyyah.

37). Al-Muḥaddits ‘Abdullāh al-Ḥararī al-Ḥabsyī asy-Syāfi‘ī adalah pengamal tarekat Rifā‘iyyah dan Tijāniyyah. Beliau adalah salah satu ‘ulamā’ kontemporer yang dimusuhi dan difitnah oleh Salafī Wahhābī karena kegigihan beliau membela ajaran Ahl-us-Sunnah.

38). Syaikh Muḥammad Makkī Nashr penulis kitab tajwīd Nihāyat-ul-Qaul-il-Mufīd. Sebuah kitab yang di-taḥrīf (diubah) oleh Salafī Wahhābī. Beliau adalah pengamal tarekat Syādziliyyah.

39). Syaikh Ḥasan al-Bannā’, pendiri Ikhwān Muslimīn, yang bertarekat Syādziliyyah. Demikian dikatakan Syaikh Fatḥi Mishrī dalam Fadhā’iḥ-ul-Wahhābiyyah.

Catatan:

  1. 47). Muḥammad al-‘Abdarī (Ibn-ul-Ḥajj al-Mālikī), al-Madkhal (Beirut: Darul Fikr, tth), juz II, hal. 209.
  2. 48). Yūsuf an-Nabhānī, Syawāhid-ul-Ḥaqq (Beirut: Darul Fikr, 2007), hal. 201.
  3. 49). Ibid, hal. 412.
  4. 50). Dr. ‘Abd-ul-Mun‘īm al-Hifnī, al-Mausu‘at-ush-Shufiyyah (Kairo: Dar ar-Rasyad, 1992), hal. 195.
  5. 51). ‘Abd-ul-Wahhāb asy-Sya‘rānī, op.cit, hal. 432.
  6. 52). Lebih lengkap baca kitab I‘lām-un-Nubalā’i fī Man Tashawwafa min-as-Sādāt-il-Ḥanābilāt-il-Fudhalā’ karya Khālid Ḥamd ‘Alī, yakni sebuah kitab yang mencatat ‘ulamā’-‘ulamā’ Ḥanbalī yang bertarekat.
  7. 53). ‘Abd-ul-Wahhāb asy-Sya‘rānī, al-Ajwibat-ul-Mardhiyyah (Kairo: Maktabah Ummil Qura, 2003), hal. 380-381.
  8. 54). Maksudnya, penjelasan Ibnu Ḥajar al-Asqalānī dianggap belum menyentuh substansi kandungan syair Ibnu Farīdh tersebut.
  9. 55). Abd-ul-Wahhāb asy-Sya‘rānī, al-Yawāqītu wal-Jawāhir (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2007), juz I, hal. 16 dan al-Ajwibat-ul-Mardhiyyah hal. 304.
  10. 56). Ibid, hal. 380.
  11. 57). Yūsuf an-Nabhānī, op.cit, hal. 413.
  12. 58). Ibid, hal. 412.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.