HIKMAT IV
Kita akan meneruskan apa yang sudah kita pelajari sebelumnya. Kita sekarang sampai pada kondisi-kondisi sang Pecinta. Tajalliyāt al-ḥaqq bagi para Pecinta Gnostis disebut oleh para shūfī sebagai manassat al-a‘rasy – dalam kamar pengantin para Pecinta. Tajalliyāt menganugerahkan empat sifat cinta pada sang Pecinta.
Kondisi pertama sang Pecinta adalah maqtūl – yang terbunuh. Dari singgasana tajalli inilah sang Pecinta dianugerahi kondisi sebagai makhlūq yang terbunuh, karena dia tersusun dari sebuah sub-struktur alamiah, tabi‘at, dan jiwa – dia terdiri dari satu dzāt materi dan satu realitas ruhani. Seorang penyair mengatakan: “Jiwa itu terang, alam itu gelap. Sekarang, inilah raksa dalam makhlūq.” Ada pertentangan antara kedua aspek ini dalam diri manusia. Dua realitas itu saling bertentangan dan menafikan satu sama lain, dan masing-masing memiliki keunikannya sendiri. Karena itu, mengklaim syarī‘at tanpa hakikat, atau hakikat tanpa syarī‘at berarti tetap menjadi seorang dualis. Aturan ini juga berlaku bagi sang Pecinta.
Jika aspek alamiah yang mendominasi maka kondisinya (haikal) menjadi gelap sehingga dia mencintai Allah s.w.t. melalui para makhlūq, sehingga cahaya terus menembus kegelapan itu. Kita akan melihat pada al-Qur’ān dalam Surat Yāsīn (36: 37-38):
وَ آيَةٌ لَّهُمْ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُّظْلِمُوْنَ، وَ الشَّمْسُ تَجْرِيْ لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ذلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ
“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
Hari dalam ayat ini mewakili cahaya. Karenanya, berada di atas cakrawala adalah metafora bagi apa yang sedang terjadi dalam diri. Ini berarti mencintai Allah atas segala nikmat yang Dia berikan pada anda – yang datang seumpama pemberian dari tangan orang lain. Ada juga cinta kepada makhlūq, tapi itu karena anda mencintai Dia yang mencukupi anda. Dalam cinta itu, sang Pemberi adalah Allah s.w.t. Sang Penyedia adalah Allah, tapi sang orang awam mencintai makhlūq yang memberi. Jadi, inilah kondisi pertama cinta yang bercampur-aduk. Tetapi, jika yang alamiah mendominasi makhlūq maka akan muncul pertentangan yang mengantarkan pada kematian. Jika ruhani mendominasi sang makhlūq maka dia akan meninggal sebagai syahīd, hidup di sisi Allah s.w.t.
Karena itulah, dalam diri seseorang dan pengembaraannya mengarungi kehidupan, ada energi Ruhani atau kegelapan sifat kebinatangan yang mendominasi. Sang Pecinta terbunuh di dunia ini, sekalipun dia tidak menyadarinya. Jika dia tidak mati dengan satu cara, dia akan mati dengan cara lain, tapi proses cintalah yang akan memberinya kematian ini. Sekarang kita sampai pada kondisi kedua.
Kondisi kedua sang Pecinta adalah talif – takut, bingung. Allah s.w.t. telah menciptakan sang Pecinta dengan dua nama-Nya, azh-Zhāhir dan al-Bāthin. Seperti yang sudah kita katakan, ada dua aspek ini dalam diri manusia, alam fisik dan alam ruhani. Jadi, Allah telah menciptakan sang Pecinta untuk menjadi makhlūq lahir dan batin. Manusia memiliki dimensi lahir dan dimensi batin. Dia memberikan akal pada sang makhlūq agar bisa membedakan dan menjaga keseimbangan dalam dirinya. Di samping itu, sang makhlūq harus menjaga keseimbangan dalam kosmos. Ingat Surat Fāthir (35: 39):
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ فِي الأَرْضِ
“Dialah yang menjadikan kalian khalīfah di muka bumi.”
Allah telah menjadikan keseluruhan planet ini sebagai tanggung jawab manusia. Segala hal yang saat ini sedang ramai dibicarakan orang-orang kafir perihal ketidakteraturan dalam planet sebenarnya adalah hasil perbuatan manusia – dia mengemban tanggung jawab ini namun tidak menjalankannya. Manusia meninggalkannya demi mengejar uang dan harta benda. Adalah kewajiban manusia untuk menjaga keseimbangan dalam kosmos dan keseimbangan dalam dirinya, dan dia telah dianugerahi akal agar melihat bahwa kedua aspek diri ini harus senantiasa seimbang. Tentu saja, syarī‘at adalah panduan menuju perilaku yang akan membuka ruang bagi pencerahan ruhani.
Karenanya, tidaklah mustaḥīl mencintai Allah melalui para makhlūq guna mempertahankan keseimbangan. Tetapi, Allah s.w.t. telah menyingkap nama-Nya pada sang Pecinta dalam Surat asy-Syūrā (42: 11):
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَ هُوَ السَّمِيْعُ البَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Lihatlah pada situasi yang amat mengena ini. Saya telah membahas panjang lebar tentang ini dalam “Kitab Tauḥīd”. “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” Karenanya, Allah s.w.t. menyingkapkan diri-Nya pada sang Pecinta melalui nama-Nya: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya”. Allah s.w.t. menampakkan pada sang Pecinta bahwa Dia tidaklah menyerupai apa pun. Inilah yang membingungkan. Inilah pengolakan yang telah dipersiapkan untuk dialami manusia, saat pengetahuan menyentak kesadarannya. Di sini, dia yang memiliki cinta sedang mencari ke sana-sini dan tiba-tiba sang Pencipta mengatakan: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia,” dan ini membuat sang Pecinta kebingungan. Kemudian, tersingkaplah padanya bahwa dia tidak akan pernah bisa mengukur kekuatan dari segala sesuatu, terutama karena Dia, Allah s.w.t., telah berfirman sesudahnya: “Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” Inilah situasi ketika dia menemukan dirinya – bahwa Allah s.w.t. telah menyingkap nama-namaNya: Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Maka, karena urusannya sendiri adalah urusan Allah s.w.t., sang Pecinta melepaskan diri dari rancang kehidupan. Dia memiliki rancang kehidupannya sendiri, dia memiliki makhlūq lainnya, dan tiba-tiba saja dia mendapati hal yang menyentakkan ini, bahwa Allah s.w.t. tidaklah menyerupai sesuatu pun. Inilah yang dimaksud melepaskan rancang kehidupan. Rancang kehidupan terlempar ke dalam jurang krisis karena temuan yang menyentakkan ini, yang tak lain merupakan inti dari tauḥīd itu sendiri.
Inilah kegilaan sejati sang Pecinta. Keterputusan nyata ini sesungguhnya adalah kebangkitan potensi ruhani spiritual untuk mencintai Allah s.w.t. Kegilaan ini bukanlah ketidakpatuhan pada syarī‘at, melainkan penolakan terhadap cengkeraman rancang dunia, karena secara tiba-tiba, mencapai cinta Allah berarti rancang dunia ini telah terputuskan karena Allah s.w.t. sama sekali tidak serupa dengan apa pun yang ada di dalamnya! Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya!
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Kondisi ketiga sang Pecinta adalah “berada di jalannya”. Ini berarti berada di jalan menuju Allah s.w.t. dengan nama-namaNya. Dia harus menghinakan kekacauan ini dalam dirinya, cinta yang bangkit ini yang datang dengan keterputusan dalam kesadaran materialnya. Dia mesti mendekati Allah s.w.t. dengan nama-namaNya. Allah s.w.t. menampakkan Diri pada sang Pecinta baik dengan nama-nama para makhlūq – Kaun – maupun dengan nama-nama Ilahi, seperti yang Dia jelaskan dalam Surat al-Baqarah (2: 31):
وَ عَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا
“Dan dia mengajarkan kepada Ādam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.”
Jadi, akal manusia yang membuatnya mengenal nama-nama makhlūq sejatinya adalah ketersingkapan Ilahi. Allah s.w.t. menampakkan Diri-Nya pada sang Pecinta dengan nama-nama makhlūq – kaun – dan dengan nama-nama Ilahi. Sang Pecinta melihat tajalliyāt nama-nama makhlūq dengan sifat-sifat mereka, saat menerima turunnya Ilahi. Dengan kata lain, dia melihat sang makhlūq sedang mendengar, melihat dan mengetahui – segala sifat-sifat azali yang sepenuhnya telah kita sematkan pada Allah s.w.t., padahal tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dia masih melihat makhlūq-makhlūq itu memakaikan sifat-sifat temporal pada Allah s.w.t., yang mengatasi waktu. Jadi, dia mendapati semua cinta yang dia miliki bagi makhlūq ini sebenarnya karena dia menerima nama-nama itu di dalam dirinya. Mereka memiliki sifat-sifat ini melalui turunnya Ilahi, tapi dalam perspektif yang tidak diketahui, karena jika tidak demikian anda akan mempersekutukan Allah s.w.t., astaghfirullāh, dengan penciptaan yang mustaḥīl karena “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia” anda tahu bahwa dengan turunnya Ilahi ke dalam makhlūq dijumpailah sifat-sifat pinjaman yang terikat waktu, yang merupakan milik Allah s.w.t.
Maka kemudian, sang Pecinta melihat bahwa dia memiliki penyebutan yang terikat waktu terhadap nama-nama Ilahi dan sifat mereka kemudian menjadi tampak – takhalluq. Dia melihat tanda-tanda itu dalam dirinya dan makhlūq. Surat al-Fushshilat (41: 53-54):
سَنُرِيْهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَ فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَتّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَ وَ لَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ، أَلاَ إِنَّهُمْ فِيْ مِرْيَةٍ مِّنْ لِّقَاءِ رَبِّهِمْ أَلاَ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُّحِيْطٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’ān itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Ingatlah, sesungguhnya mereka berada dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, sesungguhnya dia Maha Meliputi segala sesuatu.”
Sang Pecinta melihat tanda-tanda dalam dirinya dan dunia, sehingga dia melihat penampakan nama-namaNya di dalam dunia tanpa melakukan bentuk asosiasi apa pun antara segala sesuatu dan realitas Ilahi.
Sekarang, kita menuju pada dīwān Syaikh Muḥammad bin al-Ḥabīb, raḥimahullāh, dan “Syair Agung” dalam pembukaannya. Kita akan melihat pada satu bagian di tengah-tengah syair ini:
فَأَسْمَاءُ رَبِّ الْعَرْشِ قَدْ عَمَّ نُوْرُهَا
بِأَجْزَائِهَا مَا بَيْنَ خَافٍ وَ شُهْرَةِ
فَلَوْ جُلْتَ فِي الْمِيَاهِ مَعْ أَصْلِ نَشْئِهَا
وَ تَرْبِيَةِ الأَشْيَاءِ مِنْهَا بِحِكْمَةِ
حَكَمْتَ بِعَجْزِ الْكُلِّ عَنْ دَرْكِ سِرِّهَا
وَ بُحْتَ بِتَخْصِيْصِ الإِلهِ بِقُدْرَةِ
وَ أَطْلِقْ عِنَانَ الْفِكْرِ عِنْدَ جِبَالِهَا
تَجِدْهَا هِيَ الأَوْتَادُ مِنْ غَيْرِ مِرْيَةِ
وَ مَا حَوَتِ الأَزْهَارُ مِنْ حُسْنِ مَنْظَرٍ
وَ كَثْرَةِ تَنْوِيْعِ الثِّمَارِ الْبَدِيعَةِ
وَ مَا أَظْهَرَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُرى بِهَا
وَ كُلٌّ أَتى مِنْ عَيْنِ عِزٍّ وَ سَطْوَةِ
فَشَاهِدْ جَمَالَ الْحَقِّ عِنْدَ لِحَاظِهَا
وَ إِيَّاكَ تَنْكِيْفًا عَلى أَدْنى ذَرَّةِ
فَمَا قَامَتِ الأَشْيَاءُ إِلاَّ بِرَبِّهَا
فَيَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ أَبْلَغُ حُجَّةِ
Maka cahaya nama-nama sang Raja Singgasana,
Memancar ke segala bagiannya yang tampak dan tersembunyi.
Jika engkau memikirkan samudra dan sumbernya,
Maka betapa luas kebijaksanaan yang engkau peroleh dengan mempelajarinya.
Kemudian engkau akan tahu, bahwa tak seorang pun mampu menyingkap rahasianya,
Dan engkau akan yakin bahwa kekuatan itu hanyalah milik Allah semata.
Biarkan pikiran-pikiranmu mengalir bebas menyusuri pegunungan.
Maka engkau tidak akan ragu bahwa pikiran-pikiran itu adalah pasak-pasaknya.
Lihatlah indahnya wajah bunga-bunga,
Dan beragam buah yang menakjubkan.
Lihatlah setiap penampakan yang kasat!
Semuanya memancar dari sumber energi dan kekuatan.
Pikirkan semua ini dan kemudian lihatlah keindahan kebenaran,
Waspadalah – engkau tidak boleh memandang remeh atom terkecil sekalipun.
Segala sesuatu tidak memiliki keberadaan kecuali melalui Tuannya,
Wahai kehidupan! Wahai Keabadian! Engkaulah bukti yang paling kuat!
Karena itu, keseluruhan alam semesta terbentuk oleh keseluruhan nama Ilahi. Keseluruhan Nama Ilahi itu kecuali untuk nama manusia yang berupa ‘abd – hamba. Jadi dalam pengelanaannya, sang Pecinta mengenali bahwa selama ini dia telah keliru. Dia telah mengistimewakan dan memisahkan sang Pecinta dari sang Kekasih. Abū Yazīd mengisahkan pengalamannya ketika sampai di pengujung pengembaraannya dalam kalimatnya: “Allah mendekatiku dengan sesuatu yang bukan bagian dariku, sesuatu yang bukan milikku.” Ketika dia melepaskan apa yang bukan menjadi miliknya, yaitu kehambaan, dia tentu saja telah termusnahkan – “Tidak ada sesutu pun yang menyerupainya.”
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Jadi, dia harus lenyap. Dia menceritakan bahwa sebuah suara berkata padanya di dalam gua: “Siapa yang bersemayam?” dan dia menjawab: “Abū Yazīd.” Suara itu berkata: “Jika begitu saya tidak bisa masuk, karena tidak boleh ada selain-Ku di tempat Aku berada.” Inilah yang disebut oleh para shūfī dengan fanā’, keterlenyapan Abū Yazīd dalam tajalliyāt Dzāt Allah s.w.t.
Kondisi keempat sang Pecinta adalah thayyar – bergerak laksana seekor burung. Sang Pecinta melihat pada nama-namanya, sifat-sifat pinjamannya, melihat pada sifat-sifat yang dia peroleh dari Allah s.w.t., dan melihat pada kumpulan nama-nama yang membuatnya ada: yang mengetahui, yang mendengar, yang menyaksikan, yang berkehendak dan seterusnya, dan dia melihat semua itu sebagai sarangnya – wikār. Sekali dia sadar bahwa ini semua tidaklah seperti apa adanya, dia terbang meninggalkan sarangnya itu. Sang Pecinta kemudian pindah ke sisi Allah s.w.t., hidup dengan nama-namaNya. Dia terbang menuju sang Pemilik nama-nama itu, pada wilayah pengetahuan. Surat ar-Raḥmān (55: 29) menyebutkan:
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِيْ شَأْنٍ
“Setiap waktu Dia berada dalam kesibukan.”
Setiap hari Dia, Allah s.w.t., sibuk dalam urusan. Dengan hikmah ayat inilah sang Pecinta terbang pada sang pemilik nama-nama menuju pada wilayah pengetahuan yang berada dalam “Setiap waktu Dia berada dalam kesibukan,” ini. Syaikh Abū Zarrūq telah bertahun-tahun berada di gurun pasir bersama seorang syaikh. Tiba-tiba saja beliau diberitahu oleh syaikhnya: “Sekarang engkau sudah selesai, pergilah!” Syaikh Abū Zarrūq berkata pada sang Muqaddam: “Tapi masih ada satu hal yang saya inginkan darinya dan saya masih belum mendapatkannya – jangan usir saya!” Tapi sang Muqaddam bersikeras: “Engkau harus pergi!” dan mengantarnya ke pintu zawiyya (pondokan shūfī – penerj.) lalu menutup pintu-pintunya. Dia menjumpai gurun pasir terbentang di hadapannya dan merasa tidak memiliki apa-apa. Beliau mengetuk pintu zawiyya itu dan sang Muqaddam membukanya kemudian Syaikh Abū Zarrūq berkata: “Tolonglah! Aku tidak bisa pergi, aku belum siap. Sampaikan pada Syaikh agar memberikan sesuatu yang akan kumiliki seumur hidupku!” sang Muqaddam pergi menemui sang Syaikh dan kembali lagi dengan sebuah syair yang sangat terkenal di kalangan para shūfī:
سَلِّمْ لِسَلْمَى
وَ سِرْ حَيْثُ سَارَتْ
وَ اتَّبِعْ رِيَاحَ الْقَضَا
وَ دُرْ حَيْثُ دَارَتْ
“Berpasrahlah pada Salmā,
Ikutilah ke mana pun dia pergi.
Ikutilah angin-angin Taqdīr,
Kembalilah saat angin-angin Taqdīr itu kembali.”
Salmā adalah nama seorang wanita dan digunakan oleh para shūfī untuk mewakili Dzāt Allah s.w.t.
Karena itu, sang Pecinta Allah s.w.t. pergi hari demi hari, perbuatan demi perbuatan, ḥāl demi ḥāl. Dengan cara ini, dia tinggal dalam ḥadrat perenungan terhadap Allah s.w.t.