Tujuh Aspek Cinta Allah Bagi Kaum Muslim – Kitab Cinta (1/3)

KITAB CINTA: Risalah Utama Para Pecinta Sejati
Oleh: Syaikh ‘Abd-ul-Qādir ash-Shūfī

 
Penerjemah: Maufur, M.A.
Penerbit: Alifia Books

Rangkaian Pos: Hikmah II - Tujuh Aspek Cinta Allah Bagi Kaum Muslim - Kitab Cinta

HIKMAH II

Tujuh Aspek Cinta Allah Bagi Kaum Muslim

 

Seperti janji saya sebelumnya, kita akan membahas ma‘na maḥabbah, cinta, dalam peristilahan tashawwuf. Perlu anda pahami bahwa segala hal yang akan kita bahas, yang sangat agung dan memiliki ma‘na-ma‘na yang sangat baik dan halus, sepenuhnya didasarkan pada al-Qur’ān dan pemikiran Islam yang utama. Sebelum kita benar-benar melihat lebih dekat peristilahan khusus ini, kita akan membahas bagaimana cinta difirmankan Allah s.w.t. di dalam al-Qur’ān.

Hal pertama yang harus diketahui: cinta merupakan Maqām Ilahi – cinta merupakan Maqām Ilahi – cinta adalah Pangkalan Ilahi. Mari kita lihat Surat al-Mā’idah (5: 54):

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَ يُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَ لاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mu’min yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di Jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.

Inilah yang kita sebut dengan Perjanjian Ilahi. Cinta ini adalah Maqām Ilahi sekaligus Perjanjian Ilahi. Cinta adalah sesuatu yang terserah pada manusia untuk menerima atau menolaknya. Mari kita melihat sebuah ayat masyhur dalam Surat adz-Dzāriyāt (51: 56):

وَ مَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

Dan Aku tidak menciptakan jinn dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Istilah ‘Arabnya di sini adalah liya‘budūn yang berasal dari akar kata kerja ‘abada yang berma‘na “beribadah”, sekalipun terjemahan itu tidak akan pernah persis benar. ‘Abud adalah satu istilah yang sangat menarik karena ia merupakan bagian dari sifat penghambaan. “Aku tidak menciptakan jinn dan manusia melainkan supaya mereka menjadi ‘abud-Ku.” Penghambaan adalah tujuan mereka diciptakan. Dalam satu pengertian bisa dikatakan: “Aku tidak menciptakan jinn dan manusia melainkan supaya mereka menjadi para budak-Ku.” Penghambaan ini adalah beribadah pada Allah s.w.t. Yang disebut ibadah bukan hanya shalat melainkan juga seluruh proses menyembah dan menaati Allah. Imām al-Ghazālī pernah ditanya: “Kenapa tujuh kali thawāf?” Kenapa 49 batu untuk melempari syaithān?” Beliau menjawab: “Tidak ada tempat untuk “kenapa” Itulah ‘ubūdiyyah. Itulah penghambaan. Anda sudah diperintahkan untuk melakukannya, maka lakukanlah! Ke‘arifannya terletak pada perihal anda melakukannya, sebab anda sudah diperintahkan melakukannya.

Manusia diciptakan dengan tujuan penghambaan kepada Allah. Cinta sendiri adalah inti dari dan pemenuhan terhadap penghambaan itu. Cinta bukanlah puisi. Cinta membenamkan kedirian anda ke dalam sang Kekasih. Inilah tujuan penciptaan. Manusia diciptakan untuk menyembah dan taat kepada Allah. Jika manusia ingkar maka itu karena dia sakit atau sedang merugi. Allah s.w.t. berfirman dalam Surat al-‘Ashar (103: 2):

إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ

Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.

Apakah kerugian manusia itu? Ini seperti ketika anda mematikan listrik – manusia telah terputus dari arus makna kehidupan yang sesungguhnya, sehingga mereka menjadi makhluk yang bingung akibat tidak melakukan apa yang sudah menjadi tujuan mereka.

Jika anda memiliki seekor kuda pacu dan anda tidak bisa memacunya dalam perlombaan, kuda itu akan menjadi binatang pesakitan, berat, dan gemuk. Tapi ketika anda memacunya dalam perlombaan, kuda itu benar-benar seekor kuda pacu sejati. Demikian juga, manusia diciptakan untuk beribadah dan jika mereka tidak menaatinya maka mereka merugi, berada dalam khusr ini. Maka, kita menjumpai bahwa posisi manusia ini menghubungkan mereka dengan keseluruhan penciptaan. Mari kita melihat Surat al-Isrā’ (17: 44):

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَ الأَرْضُ وَ مَنْ فِيْهِنَّ وَ إِنْ مِّنْ شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ وَ لكِنْ لاَّ تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbīḥ kepada Allah. Tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbīḥ mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

Ayat di atas penuh dengan hikmah. Ayat ini berma‘na, sekarang kita sedang mengetahui bahwa tujuan penciptaan manusia telah melibatkannya dalam sebuah proses yang sepenuhnya bersifat kosmis, karena langit, bumi, dan setiap orang di dalamnya – segala sesuatu sedang bertasbīḥ, menyembah Allah s.w.t. Karena itu, sifat cinta yang paling mendasar adalah kosmis yang sebenarnya, kekuatan dinamis yang Allah ciptakan agar menyembah-Nya. Untuk lebih menegaskan hal ini, kita akan melihat Surat an-Nūr. (24: 41):

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَ الأَرْضِ وَ الطَّيْرُ صَافَّاتٍ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلاَتَهُ وَ تَسْبِيْحَهُ وَ اللهُ عَلِيْمٌ بِمَا يَفْعَلُوْنَ

Tidakkah kamu tahu bahwasanya setiap makhlūq di langit dan di bumi bertasbīḥ kepada Allah, juga burung-burung dengan mengembangkan sayapnya? Masing-masing mengetahui cara sembahyang dan tasbīḥnya. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Ini berarti, segala sesuatu sedang bertasbīḥ kepada Allah s.w.t. Kita tahu bahwa Rasūlullāh s.a.w. dalam keadaan “ruhani” tertentu bertanya pada benda-benda mati, apakah aku keliru? Beliau berbicara pada bebatuan, sehingga beliau mengerti bahwa bebatuan sekalipun sedang bertasbih kepada Allah ketika beliau bertanya padanya. Segala sesuatu bertasbīḥ kepada Allah. “Sebagaimana juga burung-burung dengan mengembangkan sayap-sayapnya.” Jika burung bertasbīḥ kepada Allah dengan mengepakkan sayap-sayapnya selagi terbang, manusia, seperti yang akan kita lihat, bertasbih pada Allah melalui tindakan-tindakan mereka yang disukai-Nya.

Untuk mengakhiri bagian ini, mari kita merujuk pada Surat al-Ḥajj (22: 18). Di sini kita menjumpai sebuah ayat yang sungguh luar biasa. Kita tidak akan memasukkan bagian terakhir ayat itu karena tidak menjadi rujukan bagi pembahasan kita di sini.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَ مَنْ فِي الأَرْضِ وَ الشَّمْسُ وَ الْقَمَرُ وَ النُّجُوْمُ وَ الْجِبَالُ وَ الشَّجَرُ وَ الدَّوَابُّ وَ كَثِيْرٌ مِّنَ النَّاسِ

Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?

Di sini kita melihat indikasi pertama bahwa ada sebuah realitas yang berbeda pada manusia, dan kita menjumpai ini dalam kalimat terakhir:

وَ كَثِيْرٌ مِّنَ النَّاسِ

Sebagian besar manusia?

Allah s.w.t. telah menciptakan sifat manusia sedemikian rupa agar mereka bisa memilih untuk mengikuti jalan ini atau mengikuti jalan lain. Jika manusia tidak memiliki kesempatan itu, niscaya dia yang benar-benar mengambil jalan lurus mustahil bisa tunduk, karena sebenarnya manusia itu tidak bisa “tunduk”. Inilah keutamaan sekaligus ancaman dari kondisi manusiawi.

وَ كَثِيْرٌ مِّنَ النَّاسِ

Sebagian besar manusia?

Maksudnya adalah orang-orang Muslim.

Kita sudah membahas Perjanjian Ilahi yang dibuat Allah dengan seluruh makhlūq, terutama manusia. Untuk menyempurnakan pembahasan ini, kita perlu melihat Surat an-Naḥl (16: 48-50):

أَوَ لَمْ يَرَوْا إِلى مَا خَلَقَ اللهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَفَيَّأُ ظِلاَلُهُ عَنِ الْيَمِيْنِ وَ الشَّمآئِلِ سُجَّدًا للهِ وَ هُمْ دَاخِرُوْنَ، وَ للهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَ مَا فِي الأَرْضِ مِنْ دَآبَّةٍ وَ الْمَلآئِكَةُ وَ هُمْ لاَ يَسْتَكْبِرُوْنَ، يَخَافُوْنَ رَبَّهُمْ مِّنْ فَوْقِهِمْ وَ يَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri? Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhlūq yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka, dan melaksanakan apa yang diperintahkan [kepada mereka]”.

Di sini kita menjumpai dimensi lainnya. Kita mengetahui bahwa dalam memenuhi kontrak perjanjian ini, ada ketakutan dan kepatuhan kepada Allah – melakukan segala hal yang diperintahkan kepada kita. Unsur inilah yang disukai Allah dan merupakan pemenuhan terhadap perjanjian itu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *