Thariqah Alawiyah (I) | Pendahuluan : Riwayat Hidup Pengarang (1/4)

Thariqah 'Alawiyah Jalan Lurus Menuju Allah
Terjemah : al-Manhaj al-Sawi Syarh Ushul Thariqah al-Saadah Aali Ba’Alawi
Pengarang : Al Habib Zain bin Smith
Penerjemah : Ust. Husin Nabil Assegaf
Penerbit : Nafas

Nama dan Nasabnya1

Beliau adalah al-‘Allamah al-Muhaqqiq al-Faqih al-‘Abid az Zahid al-Murabbi ad-Da’i ilallah, as-Sayyid al-Habib Abu Muhammad Zain bin Ibrahim bin Zain bin Muhammad bin Zain bin Abdurrahman bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin Sâlim bin Abdullah bin Muhammad Sumaith (Smith) bin Ali bin Abdurrahman bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi (Ammul-Faqih al-Muqaddam)2 bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir ilallah bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shâdiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin Sayyidina al-Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah az-Zahra binti Rasulullah, junjungan kami, nabi kami, dan penyejuk mata kami, Muhammad S.a.w.

Jadi beliau adalah seorang sayyid dari Ahlulbait, keturunan al-Husain, cucu Rasulullah S.a.w., dari keturunan Alwi, cucu Imam al-Muhajir.3 Beliau bermazhab Syafi’i, beraqidah sunni (ahlussunnah wal-jamaah), dan beraliran salafi (yang dimaksud adalah mengikuti as-Salafush-Shâlih, bukan pengikut ajaran Ibnu Taimiyah yang terkadang juga disebut salafi, penj.), dengan mengikuti thariqah para datuknya di Hadramaut dari keluarga Sadah Ba’alawi.

Kelahiran dan Pertumbuhannya

Beliau dilahirkan tahun 1357 Hijriah bertepatan dengan 1936 M di kota Jakarta, dalam sebuah keluarga yang menjalankan agama dengan baik dari kedua orang tua yang dikenal kesalehannya4. Di waktu beliau masih kecil, ayahnya suka membawanya ke majelis Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad, pemuka kalangan Sadah Alawiyyin di Bogor5. Beliau menghadiri maulid yang biasa diadakan oleh Habib Alwi di rumahnya setiap Asar di hari Jumat. Habib Alwi terhitung guru pertama dalam kehidupan beliau. Terkadang beliau menghadiri pelajaran yang diberikan oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi yang diadakan setiap Ahad pagi di tempatnya Kwitang, Jakarta Pusat. Maka beliau mendapatkan keberkahan menghadiri majelis-majelis yang mulia ini.

Di madrasah-madrasah setempat, beliau belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an, dan ilmu tajwid. Pada tahun 1371 H (1950 M), dalam usia sekitar 14 tahun, beliau berangkat bersama ayahnya ke Hadramaut. Beliau tinggal di rumah ayahnya di kota Tarim.

Belajar dan Guru-Gurunya

Berkat kesungguhannya, di Tarim beliau menanjak dengan cepat. Beliau dengan sepenuhnya menerima pelajaran dan menuntut ilmu, berpindah-pindah di antara madrasah-madrasah di kota itu dan peninggalan-peninggalannya yang diberkahi, khususnya Rubath Tarim. Di sana beliau membaca berbagai kitab-kitab ringkas (mukhtashar) dalam ilmu fiqih kepada al-‘Allamah al Habib Muhammad bin Salim bin Hafizh. Pada gurunya ini, beliau juga menghafal kitab Shafwah az-Zubad karya Imam Ibnu Ruslan dan kitab al-Irsyad karya asy-Syaraf Ibnu al-Muqri yang beliau hafal sampai bab Jinayat. Beliau juga membaca kitab-kitab gurunya dalam ilmu faraidh dan masalah nikah, sebagian dari kitab al-Minhaj, sekumpulan kitab-kitab tasawuf, dan sebagian ilmu falaq. Beliau juga menghafal Nazham Hadiyyah ash-Shadiq karya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir.

Beliau menimba ilmu nahwu, ilmu ma’ani, dan ilmu bayan dari Habib Umar bin Alwi al-Kaff. Kepadanya beliau juga membaca kitab Mutammimah al-Ajurumiyah, menghafal kitab Alfiyyah karya Ibnu Malik, dan mulai mempelajari syarah kitab itu padanya.

Beliau menimba ilmu fiqih dari al-‘Allamah asy-Syaikh Mahfuzh bin Salim az-Zubaidi dan dari seorang syaikh yang faqih, Mufti Tarim, Syaikh Salim Sa’id Bukayyir Baghitsan. Beliau juga membaca kitab Mulhah al-l’rab karya al-Hariri dengan Habib Salim bin Alwi Khird. Dalam ilmu ushul, beliau mengambil dari Syaikh Fadhl bin Muhammad Bafadhl dan dari Habib Abdurrahman bin Hâmid ash-Sirri. Kepada mereka berdua, beliau juga membaca kitab matan al-Waraqat. Beliau pun menghadiri majelis-majelis Habib Alwi bin Abdullah bin Shihabuddin dan rauhah-nya6, juga pelajaran-pelajaran di Ribath, dan majelis Syaikh Ali bin Abu Bakar as-Sakran.

Beliau juga menimba ilmu dari Habib Ja’far bin Ahmad al-Aydarus dan sering pulang pergi ke tempatnya. Beliau mendapatkan banyak ijazah darinya. Beliau juga menimba ilmu dari Habib Ibrahim bin Umar bin ‘Aqil dan Habib Abu Bakar Aththâs bin Abdullah al-Habsyi. Kepadanya beliau membaca kitab al-Arba’in karya Imam al-Ghazali (bukan al-Arba’in karya an-Nawawi, penj), dan kepada guru-guru yang lain. Guru-gurunya memuji karena kelebihannya dibanding teman temannya, juga karena adab, perilaku, dan akhlaknya yang baik.

(bersambung)

Catatan:

  1. Sumber-sumber riwayat hidupnya adalah Qabasat an-Nur karya al-Habib Abu Bakar al-Masyhur halaman 189-196, riwayat hidup singkat beliau yang ditulis oleh putranya, Sayyid Muhammad, dalam mukadimah kitab al-Fuyudhat ar-Rabbaniyyah min Anfas as-Sadah al-‘Alawiyyah karya pengarang halaman 8-9, catatan sanad-sanad dan guru-guru beliau (tulisan tangan). Selain dari sumber-sumber tersebut, riwayat hidup beliau diperoleh dari putranya, Sayyid Muhammad bin Zain secara langsung
  2. Semua Sadah di Hadramaut sekarang adalah keturunan al Faqih al Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam atau dari keturunan Ammul Faqih (paman al Faqih al-Muqaddam), yakni Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath. Pengarang adalah keturunan ‘Ammul Faqih sebagaimana tersebut dalam nasab di atas.
  3. Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir (wafat 345 H)
  4. Ayahanda pengarang adalah seorang yang saleh dan bertakwa, memiliki ketenangan, kewibawaan, dan akhlak yang mulia. Di akhir umurnya, ia menjadi imam di masjid Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas di (daerah Empang-ed.)Bogor. Di antara yang menunjukkan kecerdasan dan pemahamanya adalah kepindahannya bersama anak-anaknya-termasuk pengarang ketika mereka masih kecil menuju kota Tarim di Hadramaut, karena mengkhawatirkan fitnah dan kerusakan terhadap mereka. Kemudian ia kembali ke Indonesia. Beberapa tahun kemudian, ia mendapatkan beberapa surat dari anaknya, pengarang kitab ini, yang telah memiliki keunggulan dalam ilmu dan patut dipuji. Maka ayahnya mengambil surat-surat tersebut dan meletakkannya di atas kepalanya sambil menangis karena sangat gembira. la tak pernah bertemu dengan anaknya setelah pindah ke Hadramaut kecuali ketika berjumpa di Tanah Haram, saat menunaikan haji beberapa tahun setelahnya. Setelah itu, ayahandanya kembali ke Indonesia dan wafat di kota Bogor.
  5. Wafat di Bogor tahun 1373 H. Lihat riwayat hidupnya dalam Idam al-Quut karya Ibnu Ubaidillah as-Saqqaf

  6. Rauhah adalah majelis di mana seorang syaikh berkumpul dengan murid-muridnya di luar waktu belajar, biasanya diadakan pada sore hari. Dalam kesempatan itu, mereka membaca kitab-kitab akhlak, perjalanan. manaqib, atau adab. Tujuannya adalah bersantai dan bersenang-senang dengan sesuatu yang bermanfaat. Majelis Rauhah biasanya diakhiri dengan nasyid yang indah, kemudian ditutup dengan do’a dan pembacaan surat al-Fatihah

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *