Thariqah Alawiyah (I) | Bab 2 : Keutamaan Mengajar (2/2)

Thariqah 'Alawiyah Jalan Lurus Menuju Allah
Terjemah : al-Manhaj al-Sawi Syarh Ushul Thariqah al-Saadah Aali Ba’Alawi
Pengarang : Al Habib Zain bin Smith
Penerjemah : Ust. Husin Nabil Assegaf
Penerbit : Nafas

(lanjutan)

Bila seorang telah mati, tak ada lagi yang mengalir atasnya

Dari perbuatannya kecuali sepuluh perkara

Ilmu yang disebarkannya, doa anaknya

Kurma yang ditanamnya, sedekah yang diberikannya

Mushaf yang diwariskannya, benteng yang dibangunnya

Sumur yang digalinya, sungai yang dialirkannya

Rumah untuk pendatang asing yang dibangunnya

atau tempat berzikir yang didirikannya

Di antara hadits mengenai keutamaan mengajar yang banyak jumlahnya adalah sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, bahkan semut di lubangnya dan juga ikan, mendoakan kebaikan atas seorang pengajar.1 Nabi Saw. juga bersabda, “Sedekah yang paling utama adalah apabila seorang muslim mempelajari ilmu kemudian mengajarkannya kepada saudaranya sesama muslim.2 Nabi Saw. juga bersabda, “Yang paling pemurah di antara kalian setelah aku adalah seseorang yang mengetahui ilmu lalu menyebarkannya, ia akan dibangkitkan pada hari Kiamat seperti satu umat.3

Al-Hasan al-Bashriy mengatakan, “Aku lebih mencintai mempelajari satu bab ilmu lalu mengajarkannya kepada seorang muslim, daripada memiliki dunia seluruhnya di jalan Allah.” Demikian dikutip dari kitab al-Ihya.

Terdapat pula keterangan yang menyebutkan bahwa Allah memberikan wahyu kepada Nabi Musa, “Pelajarilah kebaikan dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya Aku memberikan cahaya kepada orang yang mengajarkan ilmu dan orang yang mempelajarinya di kubur mereka, sehingga tidak merasa kesepian di tempat mereka.

Prioritas dalam Mengajar adalah untuk Istri, Anak, dan Semacamnya

Dari Imam Ali ra. disebutkan penafsiran tentang firman Allah Ta’ala, “Jagalah diri dan keluarga kalian dari siksa neraka.” (QS. at-Tahrim: 6)

Dikatakan, “Ajarkanlah diri kalian dan keluarga kalian kebaikan.”4 Yakni, yang menyelamatkan mereka dari neraka. Dari Ibnu Abbas, mengatakan, “Berilah pemahaman, ajarkanlah, dan didiklah mereka.” Muqatil” mengatakan, “Hak seorang muslim adalah mengajar diri, keluarga, dan hamba sahayanya, dengan mengajarkan kepada mereka kebaikan dan mencegah mereka dari keburukan.”

Saya (penulis) mengatakan, “Dalam hal itu terdapat petunjuk mengenai kuatnya kewajiban mengajar istri, anak-anak, dan yang seperti mereka. Mereka lebih penting dan harus lebih didahulukan daripada mengajar orang-orang selain mereka, karena setiap pemimpin akan ditanya tentang orang-orang yang dipimpinnya.

Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith mengatakan, “Kebaikan terhadap anak yang wajib atas orang tua adalah mengajar dan mendidiknya. Nabi Saw. tidak banyak memberi dorongan mengenai kebaikan terhadap anak karena hal itu telah tercukupi dengan adanya dorongan tabiat manusia untuk melakukannya itu, dan itu lebih kuar daripada dorongan syariat. Berbeda dengan kebaikan terhadap orang tua yang wajib atas anak, syariat sangat memberi dorongan. Tetapi keduanya sama-sama wajib.”

Al-Imam Ali Krw. berkata, “Sesungguhnya seorang ayah memiliki hak atas anaknya, dan sesungguhnya seorang anak memiliki hak atas ayahnya. Hak ayah atas anak adalah ditaati dalam segala hal kecuali dalam maksiat kepada Allah yang Mahasuci. Sedangkan hak anak atas ayah adalah diberi nama yang baik, diajarkan adab yang baik, dan diajarkan Al-Qur’an,

Al-Imam al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir mengatakan dalam risalahnya yang bernama Shilah al-Ahl wa al-Aqrabin bi Ta’lim ad-Din, “Wajib atas bapak, ibu, dan wali, untuk mengajar anak-anak, keluarga, hamba sahaya, dan setiap orang yang berada dalam tanggungan mereka tentang sesuatu yang wajib atas mereka, seperti iman, shalat, zakat, dan haji, dan memerintahkan mereka untuk mempelajarinya. Juga mengajar mereka tentang hal-hal yang diharamkan seperti zina, membuka aurat, mencuri, khianat, berbohong, ghibah (membicarakan orang lain meskipun yang dibicarakan benar), namimah (mengadu domba), sombong, dengki, riya, dan sebagainya, serta mencegah mereka dari hal-hal tersebut. Jika mengabaikan hal itu berarti mereka menipu, mengkhianati, dan menzalimi orang-orang yang berada dalam tanggungan mereka.”

Imam al-Ghazali mengatakan dalam al-Ihya, “Dikatakan bahwa yang pertama terkait dengan seseorang pada hari Kiamat adalah istri dan anaknya, lalu mereka berdiri di hadapan Allah kemudian mengatakan, “Wahai Tuhan kami, ambillah hak kami darinya, sesungguhnya ia tidak mengajari kami apa yang tidak kami ketahui dan ia memberi kami makanan yang haram dan kami tidak mengetahuinya. Maka Allah mengambil balasan untuk mereka darinya.”

Nabi Saw bersabda, “Mengapa beberapa kaum tidak memberikan pemahaman kepada tetangga-tetangga mereka, tidak mengajari, tidak mengingatkan, tidak menganjurkan (kepada kebaikan), dan tidak pula mencegah mereka (dari keburukan)? Mengapa beberapa kaum tidak belajar dari tetangga-tetangga mereka, tidak mencari pemahaman, dan tidak mengambil peringatan? Demi Allah, hendaklah suatu kaum mengajar tetangga tetangga mereka, memberikan pemahaman, mengingatkan, menganjurkan (kepada kebaikan), dan mencegah mereka (dari keburukan)? Dan hendaklah suatu kaum belajar dari tetangga tetangga mereka, mencari pemahaman, dan mengambil peringatan. Atau, akan aku segerakan hukuman untuk mereka di dunia?5

Jika antara tetangga dan tetangga mendapat perhatian seperti di atas, lalu bagaimana dengan antara anggota keluarga dan anggota keluarga lainnya? Dalam hadits lain dari Rasulullah Saw. disebutkan “Hak seorang anak dari ayahnya adalah membaguskan namanya membaguskan penyusuannya, dan membaguskan adabnya,6

Sayyidina al-Imam Thâhir bin Husain bin Thahir dalam qashidahnya tentang anjuran mengajar dan mendidik anak mengatakan,

Dalam ilmu cahaya tuk penjaganya

Dan mengalir kepada yang lain, jin dan manusia

Belajar di waktu kecil bak mengukir di atas batu

Kokoh dan menetap di hati selalu

Hati anak bagai batu tulis yang bersih

Yang pertama dijumpa tampak nyata

Maka selama jernih hatinya

Tanamkan yang membawa ke surga

Jika tidak, tentara nafsu kan menguasai

Dan akan menduduki tempatnya

Setelah itu akan sulit mengusirnya

Dan akan panjang penderitaannya,

jika membiarkan anak dengan hawa nafsunya

Di kala masih kecil oleh kedua orang tua

Tak lama pasti mereka kan melihat

Kedurhakaan dan sesuatu yang tak mereka suka

Di hari Kiamat akan mengajukan orang tuanya

Kepada Hakim yang adil, lalu bertengkarlah keduanya

Karena mereka lalai memenuhi hak anaknya

Yang diperintahkan saat tujuh atau delapan usianya

Jika mereka mendidik dan memenuhi kewajiban

Maka kebaktiannya akan membuat mereka gembira

Dan kebahagiaan mereka sempurna dan melimpah pula

Dari perbuatan anak yang baik dan bagus

Aduhai kasihan yang melalaikan anaknya

Membiarkan mereka bagai binatang tak berharga

Mereka akan tetap bingung dalam kejahilannya

Dan tak ada yang mereka pahami kecuali meja makan

Tabiat yang keras senang dengan keadaan sia-sia

Dan kesia-siaan menjadi ganti dari surga

Alangkah merugi dan meruginya mereka

Di hari saling merugikan, hari yang nyata segalanya

Dan sungguh beruntung yang telah mendidik mereka

Dan mengajarkan semua perbuatan bagus.

la beroleh pahala dan terpelihara dari siksa

Serta penyejuk mata baginya kapan saja

Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan dalam Risalah al-Mudzakarah, “Sesungguhnya ketaatan yang dilakukan anak sebelum baligh akan tercatat dalam lembaran- lembaran amal kedua orang tuanya yang muslim. Jika mereka mendidiknya dengan bagus dan melaksanakan kewajiban terhadapnya sebagaimana mestinya, maka anugerah Allah yang diharapkan adalah mereka tak akan disia-siakan dari amal-amal saleh dan ketaatan anaknya setelah baligh. Bahkan mereka akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala yang diperoleh anaknya. Hal itu dinyatakan oleh hadits-hadits mengenai ajakan menuju hidayah dan petunjuk kepada kebaikan. Maka sesungguhnya mereka telah mengajak kepada hidayah dan menunjukkan kepada kebaikan, bagaimanapun mereka telah memenuhi hak anak, sebagaimana yang telah kami sebutkan dengan mendidiknya dengan baik, menyuruh dan mendorongnya melakukan kebaikan, serta melarang dan memperingatkannya dari kejahatan.

Catatan:

  1. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmidzi (2685) dari hadits Abu Umamah al- Bahili dan ia mengatakan, “Ini hadits hasan shahih gharib.”
  2. Di-takhrij-kan oleh Ibnu Majah (243) dari hadits Abu Hurairah dengan sanad hasan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafizh al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib (1: 54).
  3. 70. Di-takhrij-kan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (5: 177) dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (2: 281) dari hadits Anas bin Malik.
  4. Di-takhrij-kan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (2: 494).
  5. Di-takbrij-kan oleh ath-Thabrani dalam al-Mujam al-Kabir dari hadits Abdurrahman bin Abza. Lihat Majma’ az-Zawa-id (1: 164).
  6. Di-takhrij-kan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (6: 402) dari hadits Aisyah, yang mengatakan, “Di dalamnya terdapat kelemahan.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *