Hati Senang

Thariqah Alawiyah (I) | Bab 1 : Sedikit Ilmu Lebih Baik Daripada Banyak Ibadah

Thariqah 'Alawiyah Jalan Lurus Menuju Allah Terjemah : al-Manhaj al-Sawi Syarh Ushul Thariqah al-Saadah Aali Ba’Alawi Pengarang : Al Habib Zain bin Smith Penerjemah : Ust. Husin Nabil Assegaf Penerbit : Nafas

Sedikit Ilmu Lebih Baik Daripada Banyak Ibadah1

Dari Abu Umamah al-Bahiliy, mengatakan bahwa pernah disebutkan kepada Rasulullah dua orang laki-laki, salah satunya ahli ibadah dan lainnya alim. Maka berkatalah Rasulullah, “Keutamaan seorang alim dibandingkan ahli ibadah adalah seperti keutamaanku dibandingkan orang yang paling rendah di antara kalian.2

Beliau juga mengatakan, “Jarak antara seorang alim dengan ahli ibadah adalah seratus derajat, yang jarak antara derajat yang satu dan lainnya adalah sama dengan tujuh puluh tahun yang ditempuh kuda ramping yang cepat larinya.3 Demikian yang disebutkan dalam al-Ihya 4

Terdapat pula suatu hadits marfu”, “Majelis fiqih lebih baik daripada ibadah enam puluh tahun.5 Dalam hadits lain dikatakan, “Sebaik-baik agama kalian adalah yang paling mudah.” Dikatakan pula, “Sebaik-baik ibadah adalah fiqih.6

Dari Abu Dzar, mengatakan, “Rasulullah Saw. pernah berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Dzar, engkau pergi mempelajari suatu ayat dari Kitabullah adalah lebih baik bagimu daripada melakukan shalat seratus rakaat. Dan engkau pergi mengajarkan satu bab dari ilmu, baik diamalkan atau tidak, lebih baik daripada melakukan shalat seribu rakaat.7

Dari Abu Dzar dan Abu Hurairah, mereka berdua mengatakan, “Satu bab dari ilmu yang kami pelajari lebih kami sukai daripada seratus rakaat shalat sunnah, dan satu bab dari ilmu yang kami ajarkan, baik diamalkan atau tidak, lebih kami cintai daripada seratus rakaat shalat sunnah.8

Dari yang telah disebutkan, jelas bahwa menyibukkan diri dengan ilmu karena Allah adalah lebih utama daripada ibadah fisik yang sunnah, seperti shalat, puasa, tasbih, doa, dan sebagainya. Karena manfaat ilmu itu merata bagi pemiliknya dan orang lain, sedangkan ibadah fisik yang sunnah, manfaatnya terbatas pada pelakunya saja. Karena ilmu dapat meluruskan ibadah. Jadi ibadah membutuhkan ilmu dan bergantung padanya, tetapi ilmu tidak bergantung pada ibadah. Karena para ulama merupakan ahli waris para nabi, dan bukan ahli ibadah. Karena menaati orang alim adalah wajib atas selainnya. Karena bekas ilmu tetap hidup meskipun pemiliknya telah mati, sedangkan ibadah sunnah terputus dengan kematian pelakunya. Karena dengan terpeliharanya ilmu menghidupkan syariat dan menjaga rambu- rambu agama. Demikian yang disebutkan oleh Ibnu Jama’ah dalam kitab Tadzkirah-nya.

Di antara yang juga menunjukkan keunggulan dan keutamaan ilmu dibanding semua ibadah yang terbatas-yakni yang terbatas manfaatnya bagi pelakunya adalah yang disebutkan oleh Ibnu al-Haj al-Maliki9 dalam kitabnya, al-Madkhal, “Imam Sufyan ats-Tsauri”10 dan Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih utama setelah hal-hal yang wajib daripada menuntut ilmu. Sayyidina al-Imam Abu Ja’far Muhammad al-Baqir mengatakan, ‘Seorang alim yang bermanfaat ilmunya lebih utama daripada seribu ahli ibadah.“”11

Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan, “Satu masalah ilmu lebih baik daripada seratus ibadah, dan orang yang menuntut ilmu lebih utama dibandingkan dengan orang yang bersungguh-sungguh beribadah sehari semalam.” Beliau juga mengatakan, “Satu saat dari orang alim adalah lebih baik daripada beberapa tahun dari orang selainnya meskipun dia ahli ibadah.”

Maka pikirkanlah nash-nash, dalil-dalil, dan atsar-atsar ini, niscaya akan mengetahui bahwa ilmu, yakni mempelajari dan mengajarkannya, adalah lebih tinggi dan lebih utama daripada semua perbuatan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ia termasuk ibadah yang paling penting dan keutamaan-keutamaan yang baik. Anda juga akan tahu bahwa menyibukkan diri dengan ilmu termasuk ketaatan yang paling utama, pemanfaatan waktu yang paling baik, dan bahwa ulama adalah manusia yang terbaik, paling tinggi kedudukannya, paling bagus sebutannya, dan paling mulia kebanggaannya.

Al-Imam al-Hasan al-Bashriy mengatakan, “Bunyi pena seorang alim adalah tasbih, menulis ilmu dan memandangnya adalah ibadah, dan tintanya bagaikan darah seorang syahid. Ketika bangkit dari kuburnya, orang-orang memandangnya dan dia akan dibangkitkan bersama para nabi.”

Dalam kitab Bahjah az-Zamân12 disebutkan, “Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi adalah seorang yang sangat mengagungkan ilmu, memuji pemiliknya dengan sebenar- benar pujian, menghormati mereka dengan penghormatan yang sebesar-besarnya, juga menunjukkan bahwa semua kebaikan berada dalam menuntut ilmu, dan bahwa satu saat darinya menyamai ibadah seumur hidup.”

Dari Abu Hurairah dikatakan, “Mengajar satu bab ilmu mengenai perintah atau larangan lebih aku sukai daripada tujuh puluh peperangan di jalan Allah.” Sufyan ats-Tsauri pernah ditanya tentang seseorang yang berjuang, “Apakah itu yang lebih engkau sukai ataukah mempelajari Al-Qur’an?” Beliau menjawab, “Aku lebih suka mempelajari Al-Qur’an, karena Nabi Saw. mengatakan, ‘Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.”13

Catatan:

  1. Judul pasal ini diambil dari nash hadits yang di-takhrij-kan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih (1: 21) dan lainnya yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr.
  2. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmidzi (2685) dan ia mengatakan, “Hadits ini hasan shahih gharib.”
  3. Yaitu, kuda yang diberi makan sampai gemuk, kemudian tidak diberi makan lagi kecuali makanan pokoknya saja agar menjadi ramping. Kuda ini adalah kuda yang paling kuat dan paling cepat larinya. Lihat an-Nihayah karya Ibnu al-Atsir.
  4. Al-Hafizh al-‘Iraqi dalam tahkhrij-nya (1: 7) mengatakan: Hadits ini di-takhrij-kan oleh al-Ishfabâni dalam at-Targhib wa at-Tarhib dari hadits Ibnu Umar dari ayahnya yang mengatakan, “Tujuh puluh derajat,” dengan sanad yang lemah. Juga diriwayatkan oleh pengarang Musnad al-Firdaus dari hadits Abu Hurairah (al-Firdaus, 3: 128).
  5. 36. Di-takhrij-kan oleh ad-Dailami dalam al-Firdaus (5: 176) dari hadits Ibnu Umar dengan sanad dha’if
  6. Yang pertama di-takhrij-kan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (5:32) dari hadits Mihjan bi al-Adra’ dengan sanad jayyid, sedangkan yang kedua di-takhrij-kan oleh ath-Thabrani dalam ash-Shaghir (2: 251) dari hadits Ibnu Umar dengan sanad dhaif. Demikian dikatakan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Takhrij al-Ihya (1: 6).
  7. Di-takhrij-kan oleh Ibnu Majah (219) dengan sanad hasan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafizh al-Mundziri dalam at- Targhib wa at-Tarhib (1: 125).
  8. Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir (8: 212),al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9: 247) tetapi dengan ucapan alf rak’ah (seribu rakaat).
  9. Imam ‘Allamah, seorang yang saleh dan ‘arifbillah, Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-‘Abdari al-Maliki al-Fasi yang terkenal dengan sebutan Ibn al-Haj (wafat 737 H). tinggal di Mesir. Beliau menuntut ilmu di Fez, kemudian tinggal di Mesir. Beliau bersahabat dengan seorang arif billah yang besar, Abu Muhammad bin Abu Jamrah yang meringkas dan mensyarah Shahih al-Bukhari. Ibnu al-Haj wafat di Kairo. Kitabnya, al-Madkhal sangat bermanfaat sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar.
  10. Imam yang sangat terkemuka, Syaikh al-Islam, Amirul Mukminin dalam hadits, Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id ars-Tsauri al-Kufi (97-161 H), pemimpin orang-orang pada masanya dalam hal ilmu, hafalan, dan kezuhudan. Ibn al-Mubarak mengatakan, “Setahuku, tak ada orang di dunia yang lebih alim dibanding Sufyan.”
  11. Di-takhrij kan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Awliya (3: 183).
  12. Kitab Bahjah az-Zaman wa Salwah al-Ahzan fi Dzikr Thaifah min al-A’yan wa al-Ashhab wa al-Aqrån karya al-Imam al-Habib Muhammad bin Zain bin Sumaith. Beliau mengarang kitab ini untuk menyebutkan riwayat hidup sahabat dan murid gurunya. al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad. Kitab ini telah dicetak di Mesir
  13. Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari (5027) dan lainnya dari hadits Utsman bin ‘Affan ra.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.