Bab VI
Tempat-tempat yang Tidak Boleh Digunakan untuk Shalat
Tentang tempat yang boleh digunakan untuk menunaikan shalat, para ‘ulamā’ berbeda pendapat:
- Sebagian ‘ulamā’ ada yang membolehkan melakukan shalat di tempat mana saja yang tidak ada najisnya.
- Sebagian ‘ulamā’ lainnya ada yang memberikan pengecualian tujuh tempat, yaitu tempat sampah, tempat penyembelihan, kuburan, tengah jalan, WC, kandang unta, dan di atas Ka‘bah.
- ‘Ulamā’ yang hanya mengecualikan kuburan.
- ‘Ulamā’ yang mengecualikan kuburan dan WC.
- ‘Ulamā’ yang memakruhkan shalat di tempat-tempat yang dilarang akan tetapi tidak menjadikannya batal, ini adalah salah satu riwayat dari Imām Mālik, ada juga riwayat dari beliau yang menyatakan boleh, dan ini adalah riwayat Abul-Qāsim.
Sebab perbedaan pendapat: Kontradiksi antara berbagai atsar dalam masalah ini, jelasnya ada dua hadits yang disepakati dan dua hadits yang diperdebatkan.
Hadits yang disepakati adalah, sabda beliau s.a.w.:
أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ نَبِيٌّ قَبْلِيْ ….. وَ جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا فَأَيْنَمَا أَدْرَكَتْنِي الصَّلَاةُ صَلَّيْتُ.
“Aku telah diberikan lima hal yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku…. dan tanah dijadikan masjid juga penyuci bagiku, di mana saja datang waktu shalat maka aku melakukan shalat di sana.” (2381).
Demikian pula sabda beliau s.a.w.:
اِجْعَلُوْا مِنْ صَلَاتِكُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ، وَ لَا تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا.
“Lakukanlah sebagian shalat kalian di dalam rumah, dan janganlah kalian menjadikannya sebagai kuburan.” (2392).
Sementara hadits yang dipertentangkan adalah:
Pertama, riwayat yang menyatakan:
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِيْ سَبْعَةِ مَوَاطِنَ، فِي الْمَزْبَلَةِ، وَ الْمَجْزَرَةِ، وَ الْمَقْبَرَةِ، وَ قَارِعَةِ الطَّرِيْقِ، وَ فِي الْحَمَّامِ، وَ فِيْ مَعَاطِنِ الْإِبِلِ، وَ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللهِ.
“Bahwa Nabi s.a.w. melarang shalat pada tujuh tempat; tempat sampah, tempat penyembelihan, pekuburan, tengah jalan, di WC, kandang unta, dan di atas Ka‘bah.” (2403). (HR. at-Tirmidzī).
Kedua, riwayat yang menyatakan bahwa beliau bersabda:
صَلُّوْا فِيْ مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَ لَا تُصَلُّوْا فِيْ أَعْطَانِ الْإِبِلِ.
“Lakukanlah shalat di kandang kambing, dan janganlah kalian melakukannya di kandang unta.” (2414).
Lalu para ‘ulamā’ dalam memahami hadits ini menempuh tiga cara:
Pertama, ‘ulamā’ yang menempuh jalan naskh dan tarjīḥ.
Kedua, ‘ulamā’ yang membawa ma‘na khusus kepada yang umum.
Ketiga, ‘ulamā’ yang mengkopromikan dalil-dalil.
‘Ulamā’ yang menempuh jalan tarjīḥ mengambil hadits yang masyhur, yaitu sabda Nabi s.a.w.:
وَ جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا.
“Dan tanah (bumi) dijadikan masjid juga penyuci bagiku.”
Mereka berkata: “Hadits ini menghapus hadits-hadits yang lainnya, karena ia merupakan keutamaan Nabi s.a.w., yang tidak mungkin dihapus.”
Sementara ‘ulamā’ yang membawa hadits yang khusus kepada hadits yang bersifat umum, mereka berkata: “Hadits yang membolehkan bersifat umum, sementara hadits yang menunjukkan larangan bersifat khusus, karena itu ma‘na khusus mesti dibawa kepada yang umum.”
Di antara mereka ada yang memberikan pengecualian pada tujuh tempat.
Adapun ‘ulamā’ yang memberikan pengecualian pada WC dan kuburan, mereka berkata: “Inilah yang tetap dari Nabi s.a.w., karena keduanya telah diriwayatkan secara menyendiri.”
Ada juga yang memberikan pengecualian pada pekuburan saja seperti dijelaskan hadits terdahulu.
Adapun ‘ulamā’ yang berusaha menyatukan antara berbagai hadits, dan tanpa membuat pengecualian, mereka berkata: “Hadits-hadits larangan mengandung hukum makruh, sementara yang pertama menunjukkan boleh.”
Para ‘ulamā’ berbeda pendapat dalam hal melakukan shalat di tempat ibadah orang Yahudi dan gereja.
- Sebagian ‘ulamā’ memakruhkanya.
- Sebagian lainnya membolehkannya.
- Ada pula ‘ulamā’ yang membedakan antara ada gambar dan tidak, ini adalah madzhab Ibnu ‘Abbās berdasarkan perkataan ‘Umar:
لَا تَدْخُلْ كَنَائِسَهُمْ مِنْ أَجْلِ التَّمَاثِلِ.
“Janganlah kalian masuk ke dalam gereja-gereja mereka karena patung-patung.”
Sementara alasan bagi orang yang memakruhkannya beralasan najis dan bukan karena gambar.
Para ‘ulamā’ bersepakat bolehnya shalat di atas tanah, dan berbeda pendapat tentang melakukan shalat di atas permadani dan hal lainnya yang biasa diduduki:
- Jumhur ‘ulamā’ memperbolehkan shalat di atas tikar dan hal serupa yang biasa tumbuh di atas tanah.
- Sebagian ‘ulamā’ memakruhkannya, ini adalah madzhab Mālik bin Anas.
Catatan:
- 238). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (335, 37, 3122), Muslim (521), an-Nasā’ī (1/209), Aḥmad (3/304), dan al-Baihaqī (1/22) semuanya dari hadits Jābir bin ‘Abdillāh.
- 239). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (432), Muslim (77), Abū Dāūd (1043, 1448), at-Tirmidzī (451), an-Nasā’ī (3/197), dan Aḥmad (2/6, 16, 122), semuanya dari hadits Ibnu ‘Umar.
- 240). Dha‘īf. HR. at-Tirmidzī (346), Ibnu Mājah (746), ‘Abd bin Ḥumaid (765), ath-Thahawī dalam Syarḥu Ma‘ānī-l-Atsar (1/383) dari hadits Ibnu ‘Umar, dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īf-ut-Tirmidzi, dalam masalah ini pun ada hadits dari ‘Umar yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah (747), dan dari ‘Abdullāh bin ‘Amru yang diriwayatkan oleh al-Baihaqī (2/329).
- 241). Shaḥīḥ. at-Tirmidzī (348, 349), Ibnu Mājah (768), Aḥmad (2/451, 491), ad-Dārimī (1/323), dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (795), dan Ibnu Hibban (1384, 1700, 1701) dan diriwayatkan oleh al-Baihaqī (2/449) dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī.