Bab III
Para ‘ulamā’ bersepakat bahwa tempat yang harus dibersihkan itu ada tiga: badan, pakaian, kemudian masjid dan tempat shalat.
Para ‘ulamā’ bersepakat mengenai hal itu karena tertera di dalam al-Qur’ān dan Sunnah.
Dalil tentang pakaian adalah firman Allah s.w.t.:
وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.
“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (Qs. al-Muddatstsir [74]: 4).
Hal ini menurut pendapat yang memahaminya secara hakiki.
Demikian pula perintah Nabi s.a.w. untuk membersihkan pakaian karena terkena darah haidh, dan perintah beliau untuk menyiramkan air ke bagian yang terkena air seni bayi.
Mengenai masjid, Nabi s.a.w. memerintahkan para sahabat untuk mengucurkan air ke air seni seorang Badui yang kencing di dalam masjid.
Demikian pula perintah beliau untuk membersihkan madzi yang melekat di badan, dan najis yang keluar dari dua lubang tempat keluar kotoran.
Kemudian para ‘ulamā’ berbeda pendapat; apakah semua bagian kemaluan dibasuh karena madzi? Perbedaan ini berpijak dari sabda Nabi s.a.w. dalam sebuah hadits masyhur ketika ditanya tentang madzi, beliau menjawab:
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَ يَتَوَضَّأُ.
“Hendaknya ia mencuci kemaluannya dan berwudhu’.” (1511).
Sebab perbedaan pendapat: Apakah zakar itu adalah semua bagiannya atau batas minimalnya?
‘Ulamā’ yang menyatakan bahwa yang disebut zakar mencakup semua bagiannya, mereka berpendapat harus dibasuh semua bagiannya.
Sementara ‘ulamā’ yang mengambil batas minimal berpendapat cukup dengan hanya membasuh tempat keluarnya saja karena dianalogikan kepada air kencing dan madzi.