Bab II
Bab ini terbagi kepada dua pasal:
Pertama: Pembahasan tentang adzān.
Kedua: Pembahasan tentang iqāmah.
Pembahasan dalam pasal ini terangkum dalam lima bahasan:
Para ‘ulamā’ berbeda pendapat mengenai tata cara adzān dalam empat cara yang masyhur:
Pertama, membaca dua kali takbīr, empat kali syahādatain dan sisanya masing-masing dua kali, ini adalah pendapat penduduk Madīnah (Imām Mālik) dan yang lainnya, sementara ‘ulamā’ di kurun terakhir dari pengikut Mālik cenderung memilih cara tarji‘, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali dengan samar, kemudian mengucapkannya lagi sebanyak dua kali dengan keras.
Kedua, adzān penduduk Makkah, inilah pendapat yang dipegang oleh Imām Syāfi‘ī, yaitu mengucapkan takbīr sebanyak empat kali di permulaan dan dua kalimat syahadat, lalu sisanya masing-masing dibaca dua kali.
Ketiga, adzān penduduk Kūfah, yaitu membaca takbīr empat kali di permulaan, sisanya masing-masing dibaca dua kali, inilah pendapat yang dipegang oleh Abū Ḥanīfah.
Keempat, adzān penduduk Bashrah, yaitu membaca takbīr sebanyak empat kali di permulaan, membaca dua kalimat syahadat, Ḥayya ‘alash-Shalāh, dan Ḥayya ‘alal-Falāḥ sebanyak tiga kali, dimulai dengan mengucapkan Asyhadu an lā ilāha illallāh sampai kepada Ḥayya ‘alal-Falāḥ, kemudian mengulanginya untuk kedua kali (yakni empat kalimat secara berurutan), lalu mengulanginya untuk yang ketiga kali, inilah pendapat yang dipegang oleh Ḥasan al-Bashrī dan Ibnu Sīrīn.
Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan atsar dalam masalah tersebut dan berbedanya sandaran amal (dalil) yang biasa dilakukan, maksudnya penduduk Madīnah jelas mengikuti amalan yang biasa dilakukan di Madīnah, orang Makkah berhujjah dengan pengamalan yang biasa dilakukan di Makkah, demikian pula orang Kūfah dan Bashrah, dan masing-masing memiliki dalil yang dijadikan sebagai sandaran.
Mengenai ucapan takbīr dua kali sebagaimana dipegang oleh penduduk Ḥijāj, pendapat ini bersandarkan kepada riwayat Abū Maḥdzūrah (2021) dan ‘Abdullāh bin Zaid al-Anshārī, (2032).
Demikian pula pengucapan takbīr sebanyak empat kali diriwayatkan dari Abū Maḥdzūrah dari jalur lain dan dari ‘Abdullāh bin Zaid.
Syāfi‘ī berkata: “Riwayat tersebut merupakan tambahan yang wajib diambil, diperkuat dengan kebiasaan penduduk Makkah yang melakukannya.”
Sementara at-tarji‘ yang dipegang oleh ‘ulamā’ kurun terakhir dari kalangan Mālik berdasarkan kepada sebuah atsar yang diriwayatkan dari Abū Qudāmah, Abū ‘Umar berkata: “Abū Qudāmah menurut para ‘ulamā’ adalah lemah.”
Sementara penduduk Makkah berdalil dengan hadits Ibnu Abī Lailā, di dalamnya ada ungkapan:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنِ زَيْدٍ رَأَى فِي الْمَنَامِ رَجُلًا قَامَ عَلَى خُرُمٍ حَائِطٍ، وَ عَلَيْهِ بُرْدَانِ أَخْضَرَانِ، فَأَذَّنَ مُثَنَّى، وَ أَقَامَ مُثَنَّى، وَ أَنَّهُ أَخْبَرَ بِذلِكَ رَسُوْلَ اللهِ (ص)، فَقَامَ بِلَالٌ فَأَذَّنَ مُثَنَّى، وَ أَقَامَ مُثَنَّى.
“Sesungguhnya ‘Abdullāh bin Zaid bermimpi melihat seseorang yang sedang berdiri di atas dinding berlubang dengan mengenakan dua jubah hijau, lalu dia beradzān dua kali-dua kali, dan iqāmah dua kali-dua kali, kemudian dia mengabarkan hal itu kepada Rasūlullāh s.a.w., lalu Bilāl berdiri dan beradzān dua kali-dua kali, dan iqāmah dua kali-dua kali.” (2043).
Sementara yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam masalah ini hanyalah hadits Anas, yaitu:
أَنَّ بَلَالًا أُمِرَ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَ يُوْتِرَ الْإِقَامَةَ، إِلَّا قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ، فَإِنَّهُ يُثَنِّيْهَا.
“Sesungguhnya Bilāl diperintahkan untuk mengucapkan adzān secara genap, dan iqāmah secara ganjil kecuali ucapan qad qāmat-ish-shalāh, sesungguhnya dia mengucapkannya sebanyak dua kali.” (2054).
Dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abū Maḥdzūrah tentang spesifikasi adzān orang-orang Ḥijāz. (2065).
Karena adanya kontradiksi dalam berbagai hadits ini, Aḥmad dan Dāūd melihat bahwa cara-cara yang berbeda ini merupakan sebuah pilihan bukan bersifat wajib kepada salah satunya.
Mereka juga berbeda pendapat mengenai ucapan mu’adzdzin pada shalat Shubuḥ: “ash-Shalātu khairun min-an-naum”, apakah diucapkan atau tidak?
Jumhur ‘ulamā’ berpendapat bahwa redaksi tersebut harus diucapkan, sementara yang lainnya berpendapat tidak harus diucapkan karena tidak termasuk ucapan adzān yang disunnahkan, inilah pendapat yang dipegang oleh Imām Syāfi‘ī.