Kategori yang ketiga adalah muta’allim (pelajar). Yaitu orang yang belajar karena Allah ta’ala semata. Bagi orang yang seperti ini, kegiatan belajar lebih utama daripada berzikir atau mengerjakan ibadah sunnah mutlak. Namun dia tidak perlu mengosongkan diri dari wirid sejumlah zikir setiap harinya. Karena hal tersebut akan sangat membantunya dalam menempuh jalan belajar yang ditekuninya. Akan tetapi, bila pelajar itu dalam kategori awam, maka menghadiri majelis petuah dan majelis ilmu lebih utama daripada disibukkan dengan berbagai wirid.
Ka’ab al-Akhbar r.a berkata, “Seandainya pahala majelis para ilmuwan/ulama tampak di mata orang-orang, tentu mereka akan berlomba-lomba menghadirinya. Orang yang berkekuasaan akan membiarkan kekuasaan mereka. Orang yang punya warung di pasar pun akan meninggalkan warungnya.”
‘Umar ibn al-Khatthab r.a berkata, “Seseorang keluar dari rumahnya dengan beban dosa segunung Tihamah. Bila dia mendengar seorang ‘alim, lalu dia merasa takut dan kemudian bertobat dari dosa-dosanya, maka dia akan kembali ke rumahnya tanpa beban dosa sedikitpun. Oleh karena itu, kalian jangan memisahkan diri dari majelis ulama. Sungguh, Allah ‘Azza wa Jalla tidak menciptakan di muka bumi ini sebidang lahan yang lebih utama dari majelis ulama.
Atha ibn Abu Ribah r.a berkata, “Menghadiri majelis ilmu dapat menutupi tujuh puluh majelis senda gurau dan permainan.”
Kesimpulannya, sekecil apapun hal yang membuat satu saja ikatan cinta dunia terlepas dari hati, yang disebabkan oleh perkataan seseorang pemberi petuah yang santun dan berbudi luhur, itu lebih mulia dan lebih bermanfaat daripada banyaknya rakaat shalat sunnat yang dilakukan dalam kondisi hati yang penuh cinta dunia.
Kategori yang keempat adalah muhtarif (kaum pekerja, profesional). Yaitu orang yang membutuhkan materi untuk menafkahi keluarganya. Dia tidak bisa begitu saja menelantarkan keluarganya untuk kemudian menghabiskan waktu dalam pelaksanaan ritual-ritual ibadah. Orang yang seperti ini wiridnya (adalah-ed.) di waktu bekerja, pergi ke pasar dan sibuk bekerja. Dia jangan sampai lupa berzikir kepada Allah di dalam hatinya pada waktu-waktu tersebut. Dia harus tekun bertasbih, berzikir dan membaca Al-Qur’an. Semua amalan itu boleh dilakukan sambil bekerja, tidak harus melewatinya. Lalu bila selesai kerja dan menghasilkan nafkah secukupnya, dia kembali lagi mengerjakan ritual-ritual ibadah.
(bersambung)