Tanwir-al-Qulub | Bagian Kedua-Bab 8 : Takhliyah Dan Tahliyah (3/5)

Menerangi Qalbu
Manusia Bumi, Manusia Langit
Pengarang : Syaikh Muhammad Amin Al Kurdi An Naqsyabandiy
Penerbit : Pustaka Hidayah , Bandung

(lanjutan)

Sebab, orang yang tidak menempuh jalan thariqah biasanya tidak akan bisa memasuki hadirat al-ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dia akan senantiasa bersama dirinya sendiri dan orang lain di dalam amal-amal ibadahnya.

Kalau saja seseorang telah memasuki hadirat al-ihsan, tentu dia akan menyaksikan bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala, Dialah Sang Pelaku bagi semua amalnya. Dialah yang menciptakan dan mewujudkan amal-amal itu. Dengan demikian si hamba akan melihat bahwa dirinya hanyalah sekadar tempat sandaran amal-amal itu, dan dia diberi balasan karena mematuhi hukum dan kewajiban, bukan karena yang lain.

Barangsiapa telah menyadari hal ini, dia tidak akan mendapati amal sebagai miliknya, dan dia akan terbebas dari riya dan bangga diri, bahkan tidak akan meminta pahala dari Allah Ta’ala untuk amalnya. Karena, dia menyaksikan ternyata anggota tubuhnya sekadar alat yang digerakkan, dan dia mendapati bahwa yang menggerakkannya itu adalah Allah Ta’ala, dengan memberinya potensi dan kekuatan. Bukan dirinya sendiri yang berbuat dan beramal. Oleh karena itu, jangan sampai engkau berbuat riya. Sebab riya akan merusak amal, membatalkan pahala, meng- hadirkan murka dan siksa.

Al-Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan sebuah hadis marfu, “Sungguh, barangsiapa dari umat ini (umat Muhamad) yang beramal untuk kepentingan dunia, maka tidak ada baginya bagian di akhirat.

Ath-Thabrani dan lainya juga meriwayatkan sebuah hadis marfu”, “Barangsiapa berhias dengan amal akhirat padahal dia tidak menghendaki akhirat dan tidak pula mengusahakan akhirat, maka dia akan dilaknat di langit dan di bumi.

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan hadis mursal, “Allah tidak akan menerima amal yang di dalamnya terdapat riya, walau hanya sebutir atom.”

Riya ada dua macam. Pertama, riya murni, yaitu beramal dengan amal akhirat hanya untuk mendapat manfaat duniawi. Kedua, riya campuran, yaitu beramal untuk mendapatkan manfaat dunia dan manfaat akhirat. Kedua-duanya merupakan riya dan dapat melebur pahala, na’ūdzu billāhi min dzalik.

7. Cinta Pangkat dan Jabatan

Yang dimaksud cinta pangkat dan jabatan adalah bernafsu untuk menjadi populer dengan reputasi baik. Sifat ini sungguh tercela dan memutuskan jalan kebenaran. Lain halnya dengan orang yang dipopulerkan oleh Allah Ta’ala untuk menyebarkan agama-Nya. Tidak ada orang yang selamat dari cinta pangkat dan jabatan selain orang-orang yang benar imannya (ash-shiddiquun).

Rasulullah saw bersabda, “Cukuplah keburukan bagi anak Adam bila sampai dia dituding dengan jari dalam agama dan dunianya, kecuali orang yang dijaga dari dosa oleh Allah Ta’ala. (HR. Ath Thabrani)

Abu Yazid al-Busthami berkata, “Aku telah menanggung beban beribadah selama tiga puluh tahun. Lalu aku melihat seseorang berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Yazid, sungguh lemari Allah telah penuh dengan ibadah. Jika engkau ingin sampai kepada-Nya, engkau mesti menempuh adz dzillah, wa al iftiqaar‘”1

Al-Mutawalli r.a.berkata, “Kondisi si faqir di dunia ini laksana orang yang duduk di kamar kecil (wc). Jika pintunya ditutup, dia menunaikan hajatnya dan keluar dalam keadaan tertutup sehingga, tidak ada yang melihat auratnya. Apabila pintunya dibuka, tersebarlah auratnya dan rusaklah rahasianya, dan orang-orang yang melihatnya pun akan mengutukinya.

Dalam kondisi bagaimanapun, apabila hati si salik condong pada cinta pangkat dan jabatan, maka dia akan terputus dari jalan menuju Allah Ta’ala.

8. Tafaakhur

Tafaakhur adalah berbangga diri dengan berbagai kemuliaan, entah kedudukan, nasab, ataupun yang lainnya. Ini adalah sifat tercela dan terlarang. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian semua berendah diri, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan diri di atas orang lain dan tidak seorang pun berbuat zalim terhadap siapa pun.” (HR. Muslim)

Berbangga diri ini bisa dengan banyaknya harta benda, atau dengan kehormatan orang tua, atau dengan amal ibadah.

9. Marah (al-ghadhab)

Marah adalah didih darah hati untuk menuntut pelampiasan (pembalasan). Rasulullah saw. bersabda, “Marah berasal dari setan. Setan diciptakan dari api. Api dipadamkan dengan air. Maka apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah dia mandi.” (HR. Ibnu Asakir)

Di dalam satu khabar disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, ingatlah Aku jika engkau marah, maka aku akan mengingatmu saat Aku marah, sehingga Aku tidak akan membinasakanmu bersama orang-orang yang binasa.

Amal yang paling utama adalah bermurah hati saat marah dan

bersabar ketika sangat menginginkan sesuatu.

Bermurah hati sejatinya bukan saat ridha,

tetapi murah hati itu saat marah.

Rasa takut kepada Allah Ta’ala bisa meredakan marah. Perhatikanlah orang-orang! Mereka marah hanya karena mereka terhijab dan tidak menyaksikan Allah Ta’ala sebagai pelaku bagi semua yang muncul di alam wujud. Karena keterhijaban itu mereka hanya bisa melihat perbuatan sebagai perbuatan dari sesama jenisnya.

Padahal bila saja mereka menempuh jalan tarekat, tentu mereka akan mendapati bahwa perbuatan adalah milik Allah Ta’ala. Dengan demikian dia tidak akan mendapati siapa pun yang layak dijadikan sasaran kemarahannya. Bahkan dia akan mendapati bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam wujud ini adalah sumber hikmah.

Seorang ‘arif berkata,:

Jika engkau melihat Allah sebagai pelaku dalam segala,

engkau akan melihat semua yang wujud ini adalah bagus,

dan jika engkau tiada melihat selain fenomena ciptaan-Nya,

engkau sungguh tertabir, dan yang bagus menjadi tampak buruk.

Benar, orang yang sempurna adalah orang yang tidak marah selain karena Allah Ta’ala, yakni apabila kehormatan-Nya dirusak. Tetapi bukan atas dasar keyakinan bahwa maksiat itu adalah perbuatan Allah Ta’ala, melainkan perbuatan itu dinisbatkan kepada si hamba. Dari sini Anda tahu bahwa seseorang tidak akan bisa membebaskan dirinya secara sekaligus, selamanya.

(bersambung)

Catatan:

  1. Adz-dzillah, senantiasa merasa diri hina di hadapan Allah. Al iftiqar, senantiasa merasa butuh kepada Allah

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *