Tanwir-al-Qulub | Bagian Kedua-Bab 7 : Tobat (4/10)

Menerangi Qalbu
Manusia Bumi, Manusia Langit
Pengarang : Syaikh Muhammad Amin Al Kurdi An Naqsyabandiy
Penerbit : Pustaka Hidayah , Bandung

(lanjutan)

Di dalam satu riwayat dari Makhul disebutkan, “Ketika Nabi Ibrahim as mendapat “penyingkapan hijab” akan kerajaan langit dan bumi, dia melihat seorang hamba yang berzina, lalu Ibrahim memohonkan kebinasaan bagi si pezina itu, hingga orang itu dibinasakan oleh Allah. Kemudian dia melihat hamba yang mencuri, dia memohonkan kebinasaan bagi si pencuri itu hingga Allah membinasakannya. Kemudian dia melihat hamba yang melakukan maksiat lainnya, namun saat Ibrahim hendak memohonkan kebinasaan baginya, Allah Ta’ala ber firman, “Wahai Ibrahim, lepaskanlah [urusan] hamba-Ku itu darimu, sebab hamba-Ku berada di antara tiga hal: dia bertobat dan Aku menerima tobatnya, atau Aku keluarkan darinya keturunan yang kemudian beribadah kepada-Ku, atau dia dikuasai kesengsaraan dan di belakangnya Jahannam telah menanti.

Syarat tobat adalah menyesali perbuatan dosa yang telah berlalu, bertekad untuk tidak akan mengulangnya kembali, mengembalikan mazhalim kepada pemiliknya atau ahli warisnya dan bersedekah atas nama orang yang telah dizhalimi, pelepasan permusuhan dan berbuat baik kepada mereka yang sempat dimusuhi jika memungkinkan. Selain itu, wajib meng-qadha ibadah fardhu telah ditinggalkan.

Setelah bertobat, si pelaku tobat harus mendidik diri dalam sebagaimana dia telah mendidik diri dalam kemaksiatan, dan merasakan pahit ketaatan sebagaimana dia merasakan manis maksiat. Si pelaku tobat juga mesti meninggalkan teman yang buruk, menjaga kehalalan makanan dan minuman serta pakaian yang dikonsumsinya. Jangan sampai meninggalkan tobat hanya karena takut terjatuh kembali dalam dosa. Karena bila hamba bertobat, Allah akan menerima tobatnya. Tidak perlu berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.1 Sebaliknya, dia mesti bertobat kepada Allah Ta’ala di setiap waktu dan tidak melakukan dosa. Sebab, orang yang tidak lagi melakukan dosa, meskipun dia telah tujuh puluh kali berbuat dosa dalam sehari itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq bahwa Nabi Muhamad saw. bersabda, “Orang yang memohon ampun kepada Allah tidak dianggap pendosa, sekalipun dia mengulang dosa sampai 70 kali dalam sehari.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Seorang hamba tidak layak meninggalkan tobat hanya karena takut terjerumus ke dalam dosa yang lain. Sebab hal itu merupakan was-was setan yang ditiupkan ke dalam hati hamba agar dia menunda-nunda tobat. Sudah semestinya hamba segera bertobat dan tidak menunda nundanya. Sebab ajal sungguh tersembunyi, hamba tidak tahu kapan kematian akan datang mengagetkannya, tidak pula dia tahu kapan sakit akan menimpanya, sakit yang mengantarkannya kepada kematian. Sudah semestinya hamba berusaha keras melakukan pertobatan. Sungguh, modal pokok orang beriman adalah iman, dan iman bisa lenyap bila tiada tobat dan terjerembab di lembah dosa. Sehingga dia abadi di neraka Jahanam.

Al-Imam al-Ghazali r.a. berkata, “Siapa yang tidak bersegera bertobat dengan menunda-nundanya, dia berada di antara dua bahaya besar yang amat mengkhawatirkan. Pertama, gelap semakin berlipat meliputi hatinya karena maksiat hingga berkarat dan tidak bisa dihapus. Kedua, didahului sakit atau mati hingga dia tidak memiliki keluangan untuk berusaha menghilangkan karat tersebut.

Karena itu ada keterangan di dalam atsar, “Sesungguhnya jeritan penghuni neraka kebanyakan disebabkan oleh perilaku menunda-nunda tobat. Dan kebanyakan jeritan mereka adalah,: O… sungguh malang orang yang menunda-nunda. Orang yang hancur binasa tidak hancur binasa karena menunda-nunda. Tidak ada yang selamat selain orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih (qalbun salim).”

(bersambung)

Catatan:

  1. Q.S. Yusuf [12]: 87

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *