Tanwir-al-Qulub | Bagian Kedua-Bab 7 : Tobat (10/10)

Menerangi Qalbu
Manusia Bumi, Manusia Langit
Pengarang : Syaikh Muhammad Amin Al Kurdi An Naqsyabandiy
Penerbit : Pustaka Hidayah , Bandung

(lanjutan)

Kemudian dia mencari lagi orang yang paling alim di zaman itu. Dia ditunjukkan kepada seorang alim yang lain, dan dia pun segera mendatanginya. Sampai di hadapannya dia mengatakan bahwa dia telah membunuh seratus orang, apakah pintu tobat masih terbuka untuknya. Orang alim itu menjawab, ‘Masih. Tidak ada yang dapat menghalangimu untuk bertobat. Pergilah ke negeri anu, di sana penduduknya adalah penyembah Allah.

“Beribadahlah bersama mereka dan janganlah engkau kembali lagi ke negerimu. Sungguh, negerimu adalah negeri yang buruk.” Pemuda itu menuju negeri yang ditunjukkan sang alim. Di tengah perjalanan, malaikat maut datang dan mencabut nyawanya. Dia pun mati. Berselisihlah antara malaikat rahmat dan malaikat siksa. Malaikat rahmat berkata, ‘Dia datang dengan bertobat, hatinya menuju Allah. Malaikat siksa berkata, ‘Dia belum beramal kebaikan secuil pun. Kemudian datanglah malaikat lain dalam rupa manusia, menengahi malaikat rahmat dan malaikat siksa. Malaikat itu berkata, ‘Mari kita ukur jarak antara posisi saat dia mati dengan kedua negeri. Negeri yang terdekat itulah nasibnya. Mereka mengukur jarak antara keduanya. Dan ternyata lebih dekat ke negeri yang baik yang sedang dia tuju, dengan perbedaan jarak hanya sejengkal. Maka diputuskanlah malaikat rahmat yang menang.”

Di dalam riwayat lain ada tambahan, sampai di pertengahan jalan, lelaki itu mengalami sekarat, tetapi dia terus bergerak dengan susah payah dengan dadanya menuju negeri yang dituju. Sehingga dia diputuskan sebagai ahli penduduk negeri itu.”

Di dalam riwayat lain disebutkan, “Maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada negeri yang buruk, ‘Menjauhlah kamu darinya dan kepada negeri yang baik, Mendekatlah kamu kepadanya. Lalu malaikat yang tampak dalam rupa manusia berkata, ‘Ukurlah jarak antara keduanya.’ Sudah sepatutnya orang yang berakal mengambil pelajaran dari kisah itu dan mengetahui bahwa rahmat Allah sungguh luas, tidak menjadi sempit oleh dosa, meski dosa itu bergunung-gunung. Sudah selayaknya pula orang berakal segera bertobat dengan sungguh-sungguh. Sebab bila Allah Ta’ala mengetahui sang hamba yang bertobat dengan sungguh-sungguh, niscaya Allah akan mengampuninya. Sudah sepatutnya pula hamba bertobat sesuai kadar dosanya.

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa suatu ketika ‘Umar ibn al Khaththab berjalan-jalan di sebuah jalan kecil di kota Madinah. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang lelaki yang menyembunyikan sesuatu di dalam bajunya. ‘Umar bertanya kepada lelaki itu, “Wahai pemuda, apa yang engkau bawa di dalam bajumu?” Yang dibawa lelaki itu adalah khamr. Merasa malu karena dibawanya itu khamr, pemuda itu berdoa dalam hati, Ya Allah, jika Engkau tidak membuatku malu di hadapan ‘Umar dan Engkau menutupi aibku, aku sungguh tidak akan pernah lagi minum khamr, selamanya. Lalu dia berkata kepada ‘Umar, ‘Wahai Amirul-Mu’minin, yang aku bawa ini adalah cuka. “Umar berkata, ‘Coba perlihatkan kepadaku! Ketika pemuda itu memperlihatkannya, ternyata minuman yang tadinya berupa khamr itu telah berubah menjadi cuka.”

Maka, wahai saudaraku, ambillah pelajaran dari berbagai peristiwa. Jika orang yang bertobat karena malu kepada ‘Umar, Allah Ta’ala berkenaan khamr-nya menjadi cuka. Apalagi bagi hamba yang bertobat dari dosa karena takut kepada Allah, niscaya Allah akan mengubah khamr keburukannya menjadi cuka ketaatan. Hal ini sungguh bukan sesuatu yang sulit bagi Allah, sebab Allah Ta’ala telah berfirman, “…kecuali orang orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal salih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.1[]

Catatan:

  1. QS. Al-Furqan [25]:70

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *