BAB VI
WALI DAN KARAMAH
Allah Ta’ala berfirman, “Ingatlah, bahwa para wali Allah (awliya Allah) itu tiada ketakutan pada mereka, dan mereka pun tidak bersedih hati” (Q.S.Yunus : 62).
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang membuat para nabi dan orang-orang yang mati syahid (syuhada) iri hati.” Kemudian ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka itu, ya Rasulullah? Biar kami bisa mencintai mereka.” Rasulullah menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai karena cahaya Allah, bukan karena harta dan bukan pula karena keturunan. Wajah mereka bercahaya. Mereka berada di atas mimbar-mimbar cahaya. Mereka tidak merasa takut di saat orang lain merasa takut. Mereka juga tidak bersedih hati di saat orang lain bersedih hati.”1. Kemudian Rasulullah saw, membacakan firman Allah Ta’ala, “Ingatlah bahwa para wali Allah (awliya’ Allah) itu tiada ketakutan pada mereka, dan mereka pun tidak bersedih hati.”
Berdasarkan hukum akal, kemunculan karamah pada diri para wali merupakan hal yang mungkin adanya. Dalil naqli juga membenarkan terjadinya karamah ini. Kenyataan karamah sebagai hal yang mungkin adanya menemui akal karena karamah bukan hal mustahil bagi Allah Ta’ala yang Maha kuasa. Bahkan karamah termasuk hal-hal yang mungkin terjadi (al-mumkinat), seperti mukjizat para nabi. Ada dan terjadi karamah bukan hal mustahil. Karamah itu sudah tegas adanya bagi para waliyullah, baik di saat mereka masih hidup maupun setelah wafat sebagaimana pendapat jumhur ulama Ahlus-Sunnah.
Di dalam empat mazhab populer, tidak ada yang menafikan kelangsungan karamah para wali setelah para wali tersebut wafat. Bahkan, penampakan karamah setelah mereka wafat lebih utama, sebab saat itu nafsu berada dalam kondisi bersih dari berbagai kotoran. Karena itulah, ada ulama yang mengatakan, “Barangsiapa karamahnya tidak nampak setelah dia wafat sebagaimana dulu ketika masih hidup, maka dia itu bukan orang yang beriman sejati (shadiq).”
Sebagian syaikh sufi berkata, “Sesungguhnya Allah menugaskan malaikat di kuburan wali untuk memenuhi berbagai hajat. Namun terkadang si wali itu keluar dari kuburnya untuk memenuhi sendiri hajat tersebut.
Karamah ialah suatu yang luar biasa yang tidak disertai pengakuan kenabian dan bukan pula bagian dari kenabian. Karamah muncul pada hamba yang salih, teguh dalam mengikuti Nabi dan menjalankan syariatnya disertai dengan keyakinan yang benar dan amal salih.
Perlu diketahui bahwa wali tidaklah terpelihara dari dosa (ma’shum), karena keterpeliharaan dari dosa itu hanya bagi para wabi, bukan bagi wali. Tetapi wali itu mahfuzh, yakni tidak melakukan perbuatan dosa. Kalau pun melakukannya, dia akan segera menyesal, lalu bertobat dengan tobat yang sempurna dan mengenal ketergelinciran dirinya. Adapun orang yang selalu melakukan perbuatan dosa atau perbuatana dosanya lebih dominan, tentu dia bukan dari komunitas wali, bukan pula pengikutnya, bahkan dia akan mencium sedikit keharuman mereka.
Adanya karamah bagi wali dibenarkan dalil naqli, diantaranya kisah yang ditutur Alqur’an tentang Maryam dan kelahiran putranya, Isa a.s. Juga tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Maryam selama berada dalam asuhan Nabi Zakariyya. Allah Ta’ala berfirman: “Ketika Zakariyya masuk ke mihrab menemuinya (Maryam), ia dapatkan sisinya rizki (makanan). Dia berkata, “Wahai Maryam, dari manakah makananmu ini?’ Ia menjawab, ‘Makanan ini dari Allah.’” (Q.S.Ali Imran: 37)
Tidak seorang pun dapat masuk tempat mihrab Siti Maryam selain Zakariyya. Apabila dia keluar, dia mengunci pintunya. Namun Nabi Zakariyya mendapati di sisi Maryam ada buah-buahan musim panas pada musim dingin, dan buah-buahan musim dingin di musim panas. (bersambung)