Tanwir-al-Qulub | Bagian Kedua-Bab 5 : Tasawuf (3/4)

Menerangi Qalbu
Manusia Bumi, Manusia Langit
Pengarang : Syaikh Muhammad Amin Al Kurdi An Naqsyabandiy
Penerbit : Pustaka Hidayah , Bandung

5. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu-ilmu yang Lain

Tasawuf merupakan pangkal dan syarat bagi ilmu-ilmu lainnya. Tidak ada satu pun ilmu dan amal yang akan bermanfaat selain yang dimaksudkan untuk menghadap (tawajjuh) kepada Allah. Jika ilmu-ilmu yang lain adalah jasad, maka tawasuf laksana ruh baginya.

6. Peletak Dasar Tasawuf

Tasawuf diciptakan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala dan diwahyukannya kepada Nabi Muhammad saw serta para nabi sebelumnya. Tasawuf adalah ruh bagi seluruh syariat agama yang diturunkan Allah. Berkaitan dengan ini, ada tiga istilah yang maknanya terkadang tidak jelas bagi orang awam, yaitu syari’ah, thariqah dan haqiqah.

Syari’ah (atau syariat-ed.) adalah hukum-hukum yang diturunkan kepada Rasulullah yang dipahami oleh para ulama dari Alqur’an dan Sunnah, yang tekstual maupun melalui istinbath (analogi). Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum-hukum yang jelas tentang ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf.

Sedangkan yang dimaksud dengan thariqah (atau tarekat-ed.) adalah pengamalan syariat dengan sungguh-sungguh dan tidak sekadar mengamalkan yang gampang-gampangnya saja. Atau menjauhi semua larangan Allah Ta’ala, baik lahir maupun batin, serta menjalankan segala perintah-Nya secara maksimal. Atau menjauhi segala yang haram dan yang makruh, tidak berlebihan dalam hal yang mubah, serta menunaikan hal-hal yang fardhu dan amalan-amalan sunnah secara maksimal. Dalam menjalankan itu semua, seorang hamba seharusnya berada dalam pengawasan seorang al- ‘arif billah (orang yang sungguh mengenal Allah).

Adapun haqiqah (atau hakekat-ed.), terbagi tiga bagian, yaitu: Pertama, tersingkapnya hijab antara si hamba dengan sesuatu yang dimaninya sebagai Allah, sifat-sifat-Nya, keagungan-Nya, kesempurnaan-Nya, kedekatan-Nya, hakikat kenabian, kesempurnaan-kesempurnan para nabi a.s.–terutama kesempurnaan Rasulullah saw. yang men jadi pemuka para nabi dan rasul-serta segala hal yang telah diinformasikannya, antara lain:

nikmat dan siksa kubur, kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksa yang ada di dalamnya, surga dan berbagai kenikmatannya. Ketersingkapan ini membuat si hamba melihat semua itu dengan jelas dan nyata. Ketersingkapan hijab ini diikuti dengan berbagai kondisi ruhani (ahwal) yang nampak pada orang yang berhasil menggapainya, antara lain zuhud dalam dunia, mabuk ketuhanan, kelinglungan (dzuhul), tergoncang, sangat rindu dan cinta kepada Allah. Selain ketersingkapan ini juga mungkin disertai dengan ketersingkapan sesuatu-yang dikehendaki Allah-dari alam atas atau alam bawah serta kejadian-kejadian di masa lalu atau kejadian-kejadian di masa depan.

Haqiqah model ini digambarkan dalam ungkapan Haritsah ibn Malik al-Anshari ketika Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Wahai Haritsah, apa kabarmu pagi ini?” Haritsah menjawab, “Pagi ini aku benar benar menjadi seorang mukmin.” Rasulullah saw. berkata lagi kepadanya, “Sesungguhnya setiap perkataan itu memiliki hakikat. Apa hakikat keimananmu itu?” Haritsah menjawab, “Jiwaku berpaling dari dunia. Bagiku, batu dan emas dari dunia ini sama saja. Karena itulah aku tak tidur di malam hari dan menahan haus di siang hari. Aku seolah-olah melihat singgasana Tuhanku demikian nampak. Aku seolah-olah melihat ahli surga saling mengunjungi. Dan aku seolah-olah mendengar jeritan ahli neraka.” Kemudian Rasulullah saw. berkata lagi, “Aku tahu, maka tetaplah pada jalan ini.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Barang siapa ingin melihat orang yang qalbunya telah disinari cahaya oleh Allah, maka lihatlah Haritsah ibn Malik.” Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Bazzar serta yang lainnya.

Haqiqah model ini merupakan bagian haqiqah paling tinggi, jenis haqiqah paling agung dan merupakan induk bagi dua model haqiqah lainnya.

Kedua, kekosongan diri (takhalli) dari berbagai akhlak yang kotor serta memenuhinya dengan sifat-sifat yang diridhai dan akhlak yang terpuji (tahalli), sehingga dia benar-benar kokoh padanya serta sifat serta sifat yang diridhai dan akhlak yang terpuji itu menjadi adat kebiasaannya.

Ketiga, kemudahan menjalankan amal salih sehingga tidak diperoleh rasa berat dan rasa sukar. Bahkan apabila dia hendak meninggalkan amal salih itu, jiwanya tidak rela dan tidak patuh. Kelapangan dada untuk Islam telah benar-benar sempurna pada dirinya. Jiwanya benar-benar tenteram dalam menjauhi larangan Allah Ta’ala dan menjalankan perintah-Nya. Ketundukan sejati benar-benar sempurna melekat pada dirinya, sehingga dia seperti malaikat dalam rupa manusia.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *