Takbir – Rukun-rukun Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Rukun-rukun Shalat

 

Dalam bahasan ini akan dibicarakan masalah bacaan dan perbuatan, yang merupakan rukun shalat.

Bacaan dan perbuatan itu banyak dan sedikitnya berbeda-beda, adakalanya dari sisi munfarid (sendirian) dan jama‘ah, adakalanya dari sisi waktu shalat. (seperti, perbedaan antara shalat Zhuhur di hari Jum‘at dengan hari-hari lainnya). Berbeda antara yang mukim dan safar, keadaan aman atau takut, dan sehat atau sakit.

Agar bahasan ini tersusun secara sistematis. Maka pertama kali akan dibahas beberapa masalah yang terkait dengan seluruh jenis shalat, kemudian kajian secara khusus satu persatu.

Cara ini saya anggap lebih mudah, kendatipun ada kemungkinan terjadi pengulangan. Tetapi, karena cara ini dipakai para fuqahā’, maka saya berusaha untuk mengikutinya.

Pembahasan ini saya bagi menjadi enam bab:

 

Bab I

Shalat Munfarid Bagi Orang yang Mu’min, dalam Keadaan Aman dan Sehat.

 

Dalam bab ini ada dua pasal:

Pasal pertama: Bacaan-bacaan dalam shalat.

Pasal ini meliputi sembilan masalah:

Masalah pertama: Takbir.

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang takbir menjadi tiga pendapat:

  1. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa semua takbir dalam shalat adalah wajib.
  2. Sebagian yang lainnya berpendapat bahwa tidak seluruh takbir itu wajib, ini adalah pendapat yang syādzdz.
  3. Sebagian lainnya berpendapat bahwa hanya takbīrat-ul-iḥrām saja yang wajib. Pendapat ini adalah pendapat Jumhur ‘Ulamā’.

Sebab perbedaan pendapat: Adalah pertentangan antara hadits-hadits Nabi s.a.w. dan perbuatan beliau:

Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abū Hurairah yang masyhur, bahwa Nabi s.a.w. berkata kepada seorang laki-laki yang sedang diajarkan Shalat:

إِذَا أَرَدْتَ الصَّلَاةَ، فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ، ثُمَّ كَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ.

Jika kamu hendak shalat, maka sempurnakanlah Wudhū’, menghadap qiblat lalu membaca takbir, lalu membaca (ayat al-Qur’ān).” (2481).

Hadits tersebut dapat dipahami bahwa hanya takbir pertama (takbīrat-ul-iḥrām) saja yang wajib dibaca, karena jika takbir lainnya diwajibkan, tentu Rasūlullāh s.a.w. akan menyebutkannya sebagaimana beliau menyebut kewajiban takbir pertama.

Adapun perbuatan yang dinukil dari beliau s.a.w. di antaranya sebagai berikut:

Hadits Abū Hurairah:

أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّيْ فَيُكَبِّرُ، كُلَّمَا خَفَضَ وَ رَفَعَ، ثُمَّ يَقُوْلُ: إِنِّيْ لَأَشْبَهُكُمْ بِصَلَاةً بِصَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ (ص).

Bahwa (Abū Hurairah) mengerjakan shalat, kemudian ia takbir setiap menunduk (ruku‘ dan sujud) dan tegak (bangkit dari ruku‘ dan sujud), lalu ia berkata: “Sesungguhnya akulah yang paling sesuai dengan shalat Rasūlullāh s.a.w..” (2492).

Hadits Mutharrif bin ‘Abdillāh bin asy-Syikhir, dia berkata:

صَلَّيْتُ أَنَا وَ عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ خَلْفَ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ، فَكَانَ إِذَا سَجَدَ كَبَّرَ، وَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ كَبَّرَ، فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ وَ انْصَرَفْنَا أَخَذَ عِمْرَانُ بِيَدِهِ فَقَالَ: أَذْكَرَنِيْ هذَا صَلَاةَ مُحَمَّدٍ (ص).

Aku dan ‘Imrān bin Ḥushain melakukan shalat di belakang ‘Alī bin Abī Thālib, jika dia sujud maka ia mengucapkan takbir, dan jika dia mengangkat kepalanya dari ruku‘, maka dia mengucapkan takbir. Ketika selesai shalat dan kami pun pergi, ‘Imrān menggandeng tangan ‘Alī seraya berkata: “Shalat ini mengingatkanku akan shalat Muḥammad s.a.w..” (2503).

‘Ulamā’ yang mengharuskan membaca takbir berpedoman pada kedua hadits yang meriwayatkan perbuatan Nabi s.a.w. di atas. Mereka berkata: “Pada prinsipnya seluruh perbuatan Nabi s.a.w. yang dilakukan dalam rangka memperjelas sesuatu yang wajib harus pula diartikan sebagai wajib.” Hal ini selaras dengan sabda Nabi s.a.w.:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أَصَلِّيْ.

Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (2514).

Demikian pula sabda beliau:

خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ.

Ambillah dariku tata cara ibadah haji kalian.” (2525).

Pendapat pertama menyatakan bahwa kedua hadits di atas memberikan petunjuk bahwa yang dilakukan para sahabat adalah menyempurnakan bacaan takbir. Oleh karena itu, dalam hal ini Abū Hurairah mengatakan: “Sesungguhnya akulah yang paling sesuai shalatnya dengan Rasūlullāh s.a.w.” ‘Imran juga mengatakan: “Shalat ini mengingatkanku akan shalat Rasūlullāh s.a.w.”

Sedangkan ‘ulamā’ yang berpendapat bahwa semua takbir itu hanyalah sunnah adalah pendapat yang sangat lemah. Mungkin, mereka ini hanya mengqiyaskannya kepada dzikir yang ada dalam shalat yang tidak wajib. Ini karena mereka juga mengqiyaskan takbīrat-ul-iḥrām dengan takbir lainnya.

Abū ‘Umar bin Ibni ‘Abd-il-Barr berkata: “Di antara berbagai hal yang mendukung pendapat jumhur ‘ulamā’ ialah hadits yang diriwayatkan Syu‘bah bin al-Ḥajjāj dari Ḥasan bin ‘Imrān dari ‘Abdullāh bin ‘Abd-ir-Raḥmān bin ‘Abzī dari bapaknya, beliau bersabda:

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ (ص) فَلَمْ يُتِمِ التَّكْبِيْرِ، وَ صَلَّيْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ فَلَمْ يُتِمِ التَّكْبِيْرَ.

Aku shalat bersama Nabi s.a.w., kemudian beliau tidak menyempurnakan takbir, dan aku shalat bersama ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz, ia juga tidak menyempurnakan takbir.” (2536).

Juga hadits riwayat Imām Aḥmad bin Ḥanbal dari ‘Umar r.a., Bahwa beliau tidak mengucapkan takbir jika melakukan shalat sendirian. (2547).

Seakan-akan mereka berpendapat bahwa takbir hanya dibaca sebagai isyarat bagi ma’mum mengenai berdiri dan duduknya imam. Mungkin saja, karena alasan ini, ada ‘ulamā’ yang berpendapat bahwa takbir itu semuanya sunnah.

Catatan:

  1. 248). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (757, 793, 6251, 6252), Muslim (397), at-Tirmidzī (303), an-Nisā’ī (2/124), Aḥmad (3/437) dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (590) dan HR. al-Baihaqī (2/88, 117).
  2. 249). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (785, 803), Muslim (392), Abū Dāūd (836), an-Nasā’ī (2/235), dan Aḥmad (2/452).
  3. 250). Shaḥīḥ. HR. Muslim (393), Abū Dāūd (835), an-Nasā’ī (2/204), dan dalam al-Kubrā (669), Aḥmad (4/429), ath-Thayālisī (826), dan al-Baihaqī (2/134).
  4. 251). Telah dijelaskan takhrīj-nya.
  5. 252). Shaḥīḥ. HR. Muslim (1297), Abū Dāūd (1970), an-Nasā’ī (5/270), dan dalam al-Kubrā (4068), Aḥmad (3/318, 337, 378), dan al-Baihaqī (5/130), semuanya dari hadits Jābir bin ‘Abdillāh.
  6. 253). Dha‘īf, bagian pertama diriwayatkan Abū Dāūd (837), Aḥmad (3/406, 407), ath-Thayālisī (1287), dan al-Baihaqī (2/68, 347) dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īfu Abī Dāūd.
  7. 254). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (61, 618), at-Tirmidzī (3), Ibn Mājah (275), Aḥmad (1/123, 129), ad-Dāruquthnī (1/360, 379), dan al-Baihaqī (2/15, 173, 253, 279).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *