Syarat-syarat Adzan – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Syarat-syarat adzān.

 

Dalam bagian ini ada delapan masalah:

  1. Apakah orang yang mengumandangkan adzān harus melakukan iqāmah pula ini merupakan salah satu syaratnya?
  2. Apakah tidak boleh berbicara saat mengumandangkan adzān termasuk salah satu syaratnya?
  3. Apakah mengumandangkan adzān dalam keadaan suci termasuk salah satu syaratnya?
  4. Apakah menghadap qiblat termasuk salah satu syaratnya?
  5. Apakah berdiri saat mengumandangkan adzān termasuk salah satu syaratnya?
  6. Makruhkan adzāh orang yang sedang mengendarai kendaraan?
  7. Apakah baligh merupakan salah satu syarat beradzān?
  8. Apakah tidak boleh mengambil upah bagi mu’adzdzin merupakan salah satu syaratnya?

 

Seseorang melakukan adzān sementara iqamah dilakukan oleh yang lainnya, dalam masalah ini ‘ulamā’ diberbagai negeri membolehkannya, sementara sebagian dari mereka tidak membolehkannya.

Sebab perbedaan pendapat: Dalam masalah ini ada dua hadits yang saling bertentangan:

Pertama, hadits ash-Shadā’ī, dia berkata:

أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) فَلَمَّا كَانَ أَوَانُ الصُّبْحِ أَمَرَنِيْ فَأَذَّنْتُ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَجَاءَ بَلَالٌ لِيُقِيْمَ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهُ (ص): إِنَّ أَخَا صَدَاءَ أَذَّنَ، وَ مَنْ أَذَّنَ فَهُوَ يُقِيْمُ.

“Aku menjumpai Rasūlullāh s.a.w., ketika tiba waktu Shubuḥ beliau memerintahkan untuk mengumandangkan adzān, lalu aku pun melakukannya, kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat, lalu datang Bilāl hendak beriqāmah, akhirnya Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya saudara Shadā’ telah mengumandangkan adzān, barang siapa mengumandangkan adzān maka dialah yang mesti mengumandangkan iqāmah.” (2121).

Kedua, riwayat yang menyatakan bahwa ketika ‘Abdullāh bin Zaid diperlihatkan adzān, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan Bilāl untuk mengumandangkan adzān lalu dia melakukannya, kemudian memerintahkan ‘Abdullāh bin Zaid untuk mengumandangkan iqāmah, lalu dia melakukannya.” (2132).

‘Ulamā’ yang menempuh jalan an-naskh (penghapusan) berkata: “Hadits ‘Abdullāh bin Zaid datang terlebih dahulu, sementara hadits ash-Shadā’ī datang terakhir.”

Adapun ‘ulamā’ yang menempuh jalan tarjīḥ (mengunggulkan pendapat yang kuat) menyatakan: “Bahwa hadits ‘Abdullāh bin Zaid lebih kuat, sementara hadits ash-Shadā’ī diriwayatkan oleh ‘Abd-ur-Raḥmān al-‘Ifriqī secara menyendiri, padahal dia tidak bisa dijadikan ḥujjah menurut ‘ulamā’ hadits.”

Adapun perbedaan pendapat mengenai upah bagi mu’adzdzin, ini terjadi karena perbedaan persepsi dalam ke-shaḥīḥ-an hadits yang menjelaskannya, yaitu hadits ‘Utsmān bin ‘Abd-il-‘Āsh, dia berkata:

إِنَّ مِنْ آخِرِ مَا عَهِدَ إِلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ (ص) أَنْ أَتَّخِذَ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى الْأَذَانِ أَجْرًا.

Sesungguhnya perkara akhir yang diwasiatkan Rasūlullāh s.a.w. kepadaku adalah hendaknya aku menjadikan seorang mu’adzdzin yang tidak mengambil upah atas adzānnya.” (2143).

Perbedaan pendapat mengenai syarat-syarat lainnya adalah perbedaan persepsi dalam menganalogikan adzān kepada shalat:

Kelompok ‘ulamā’ yang menganalogikannya kepada shalat, tentu mewajibkan syarat-syarat tersebut, sementara yang tidak mengqiyaskannya tidak mensyaratkannya.

Abū ‘Umar bin ‘Abd-il-Barr berkata: “Kami telah meriwayatkan dari Abū Wā’il bin Ḥajar, dia berkata: “Yang benar dan merupakan sunnah adalah bahwa seseorang harus melakukan adzān sambil berdiri, dan dalam keadaan suci.” (2154).

Abū ‘Umar berkata: “Abū Wā’il termasuk kalangan sahabat, perkataan beliau, “Sunnah” masuk ke dalam Musnad dan lebih baik daripada qiyas.”

Al-Qādhī berkata: “At-Tirmidzī telah meriwayatkan dari Abū Hurairah, sesungguhnya beliau s.a.w. bersabda:

لَا يُؤَذِّنُ إِلَّا الْمُتَوَضِّئُ.

Tidak boleh mengumandangkan adzan kecuali orang memiliki wudhu’.” ( 2165).

Catatan:

  1. 212). Dha‘īf. HR. Abū Dāūd (514), at-Tirmidzī (199), Ibnu Mājah (717), Aḥmad (4/69), ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (5/263) (5286), ath-Thahāwī dalam Syarḥ al-Ma‘ānī al-Atsar (1/142), dan al-Baihaqī (1/399) semua hadits ini berasal dari ‘Abd-ur-Raḥmān bin Ziyād al-Ifriqī, walaupun dia disifati dengan kebaikan dirinya akan tetapi hafalannya lemah sehingga tidak bisa dijadikan sandaran jika meriwayatkan secara menyendiri, hadits ini pula dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īf at-Tirmidzī.
  2. 213). Telah dijelaskan takhrīj-nya, potongan hadits ‘Abdullāh bin Zaid.
  3. 214). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (531), at-Tirmidzī (209), an-Nasā’ī (2/23), dan dalam al-Kubrā (1636), Ibnu Mājah (714), Aḥmad (4/21, 217), al-Ḥumaidī (906) dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (423), al-Ḥākim (1/201) diriwayatkan pula oleh ad-Dāruquthnī dalam al-Kabīr (IX/8357, 8363, 8376, 8378), dan al-Baihaqī (1/429) dan dinilai Shaḥīḥ al-Albānī dalam Shaḥīḥ at-Tirmidzi.
  4. 215). Sanadnya munqathi‘. HR. al-Baihaqī (1/392), Ibnu Ḥajar menguatkannya dalam at-Talkhīsh (1/216), ad-Dāruquthnī dalam al-Afrād dan Abī Syaibah dalam al-Adzān.
  5. 216). Dha‘īf. HR. at-Tirmidzī (200), al-Baihaqī (1/397) dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īf at-Tirmidzī.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *