الْمُؤْمِنُ إِذَا مُدِحَ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ تَعَالَى أَنْ يُثْنَى عَلَيْهِ بِوَصْفٍ لَا يَشْهَدُهُ مِنْ نَفْسِهِ.
“Seorang mu’min, jika dipuji, ia malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ia dapati pada dirinya.”
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
الْمُؤْمِنُ إِذَا مُدِحَ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ تَعَالَى أَنْ يُثْنَى عَلَيْهِ بِوَصْفٍ لَا يَشْهَدُهُ مِنْ نَفْسِهِ.
“Seorang mu’min, jika dipuji, ia malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ia dapati pada dirinya.”
Orang mu’min yang hakiki (sejati) itu ketika dipuji orang, ia akan merasa malu kepada Allah, karena ia dipuji dengan sifat-sifat yang tidak ia dapati pada dirinya. Sebaliknya, ia merasa bahwa kebaikan itu semua adalah karunia Allah, ciptaan Allah dan mereka sekalipun tidak pernah merasa mampu melakukan kebaikan tersebut. Oleh karena itu, ketika ia dipuji karena suatu kebaikan, maka ia menjadi semakin malu kepada Allah, ia semakin mengagungkan Allah, semakin mencela dirinya sendiri, semakin mensyukuri anugerah Allah, maka inilah yang dinamakan syukur atas ketaatan yang menjadi sebab bertambahnya anugerah Allah kepadanya.