Syarah Hikmah Ke-75 – Syarah al-Hikam – KH. Sholeh Darat

شَرْحَ
AL-HIKAM
Oleh: KH. SHOLEH DARAT
Maha Guru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufarohah
Penerbit: Penerbit Sahifa

Syarah al-Hikam

KH. Sholeh Darat
[Ditulis tahun 1868]

SYARAH HIKMAH KE-75

 

مَنْ ظَنَّ انْفِكَاكَ لُطْفِهِ عَنْ قَدَرِهِ فَذلِكَ لِقُصُوْرِ نَظَرِهِ.

Barang siapa mengira kelembutan-Nya terlepas dari taqdīr-Nya hal itu lantaran piciknya (dangkalnya) pandangan īmān.

 

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

مَنْ ظَنَّ انْفِكَاكَ لُطْفِهِ عَنْ قَدَرِهِ فَذلِكَ لِقُصُوْرِ نَظَرِهِ.

Barang siapa mengira kelembutan-Nya terlepas dari taqdīr-Nya hal itu lantaran piciknya (dangkalnya) pandangan īmān.

Barang siapa mengira terlepasnya atau hilangnya sifat belas-kasih Allah kepada hamba-Nya ketika menurunkan cobaan dan ujian, hal itu disebabkan kedangkalan pandangan imannya.

Wahai murid, jangan sekali-kali menyangka bahwa Allah sudah tidak lagi mengasihi hamba-Nya ketika Dia menurunkan cobaan kepada hamba-hambaNya berupa sakit atau miskin. Sebaliknya, hal tersebut dikarenakan Ia mengasihi mereka, karena di setiap cobaan itu terdapat faedah yang sangat besar. Di antara faedahnya adalah menjadikanmu bersandar kepada-Nya tatkala ditimpa cobaan, melemahkan nafsu, melenyapkan kekuatan nafsu, merusak sifat-sifat nafsu yang berupa suka kemaksiatan dan sangat cinta dunia, mendapatkan ketaatan hati seperti sabar, ridha atau rela akan hukum-hukumnya Allah, ber-tawakkal kepada-Nya, membenci dunia, sangat menginginkan bertemu dengan-Nya. Amalan hati seberat satu biji dzarrah itu lebih utama daripada amalan anggota lahiriah seberat gunung. Di antara faidah dari cobaan adalah diampuni atau diringankan dosa-dosa dan kesalahannya.

Nabi s.a.w. bersabda, “Ketika Allah mengasihi hamba-Nya, maka Ia menurunkan cobaan kepadanya, jika hamba mau bersabar, maka Allah mencintai si hamba tadi, jika hamba mau ridha maka Allah akan menjadikannya kekasih.

Nabi s.a.w. bersabda, “Seorang mukmin tidak akan ditimpa penyakit dan kepayahan, kesusahan dan keprihatinan, kecuali Allah akan melebur segala keburukan mukmin tadi.

Nabi s.a.w. bersabda, “Seorang muslim tidak akan diberi musibah, kecuali Allah akan mengangkatnya satu derajat dan mengampuni atau melebur dosa-dosanya.

Nabi s.a.w. bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka akan diturunkan cobaan untuknya.

Nabi s.a.w. bersabda, “Barang siapa sembuh dari penyakitnya, maka kebersihan dan kebahagiaannya diumpamakan hujan yang turun dari langit.

Nabi ‘Īsā a.s. bersabda, “Seseorang tidak disebut ‘ālim jika ia tidak mau bergembira saat ditimpa musibah dan penyakit, pada badan maupun hartanya.

Hadits-hadits lain yang menerangkan tentang terpilihnya orang yang terkena balā’, seperti penyakit panas atau demam tinggi dan buta, sebagaimana hadits Nabi berikut:

Nabi pernah berkata kepada sahabat Anshār yang kesemuanya terserang demam tinggi: “Sakit demam tinggi itu bisa membersihkan dan melebur dosa.” Sahabat berkata, “Wahai Rasul, kami mohon engkau berkenan mendoakan kami agar penyakit demam ini bertambah parah.” Lalu nabi menjawab, “Penyakit demam ini bisa menghilangkan kesalahan-kesalahan bani adam (manusia) sebagaimana pembakaran api bisa menghilangkan karat besi.

Rasul berkata, “Allah pernah berfirman: “ketika Aku memberi cobaan hamba-Ku yang mukmin berupa sakit mata, lalu ia mau bersabar, maka aku akan memberikannya surga sebagai ganti sakit mata yang dialaminya.”

Nabi s.a.w. bersabda, “Tidak ada cobaan yang lebih berat bagi seorang hamba setelah hilangnya agama kecuali hilangnya pandangan (tidak bisa melihat), Allah tidak akan menghilangkan penglihatan hambanya, kemudian dia mau bersabar, kecuali dia akan bertemu dengan Allah dan tidak ada hisab baginya.

Faedah terbesar dengan adanya penyakit yaitu kemauan untuk bertaubat, memperbanyak istighfar, dzikirnya menjadi lebih baik, lebih banyak mengingat kematian, dan di dalam mengingat kematian ini terdapat banyak fadhīlah (keutamaan).

Sayyidah ‘Ā’isyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah, adakah selain syuhadā’ yang bisa berkumpul dengan syuhadā’?” Rasul menjawab: “Orang yang bisa berkumpul dengan para syuhadā’ yaitu orang yang bisa mengingat kematian sebanyak dua puluh kali dalam sehari-semalam.” Lalu Rasul melanjutkan sabda beliau: “Wahai ‘Alī, barang siapa setiap harinya membaca doa (اللَّهُمَّ باَرِكْ لِي فِي الْمَوْتِ وَ فِيْمَا بَعْدَ الْمَوْتِ) sebanyak 21 kali, maka aku tidak akan menghisab kenikmatan dunia yang aku berikan kepadanya.

Di dalam kitab Tadzkirah, Imām Qurthūbī menuturkan, “Barang siapa memperbanyak mengingat kematian, maka Allah akan memberikan tiga kemuliaan kepadanya:
Pertama, segera bertaubat.
Kedua, nafsunya rela menerima dengan apa yang sudah ditentukan oleh Allah.
Ketiga, bersemangat dalam melaksanakan ibadah.
Barang siapa lupa mengingat kematian, maka akan disiksa dengan tiga hal:
Pertama, menunda-nunda bertaubat.
Kedua, nafsunya tidak merasa cukup dengan pemberian Allah.
Ketiga, malas dalam beribadah.”

Nabi bersabda, “Jika engkau mengetahui kesengsaraan saat mati, maka kamu tidak akan bisa merasakan dan menikmati makanan, sebab sangat beratnya kesengsaraan dalam kematian.

Nabi bersabda, “Sesungguhnya mauqif itu memiliki seribu kesulitan, kesulitan paling rendah adalah kematian. Kematian memiliki 99 kesulitan, seribu tebasan pedang masih lebih ringan dibandingkan satu dari 99 kesulitan kematian, barang siapa ingin selamat dari kesulitan tersebut, hendaknya membaca do’a ini sebanyak 10 kali setiap setelah melakukan shalat maktubah:

اللَّهُمَ إِنِّي أَعْدَدْتُ لِكُلِّ هَوْلٍ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَ لِكُلِّ هَمٍّ وَ غَمٍّ مَا شَاءَ اللهُ وَ لِكُلِّ نِعْمَةٍ الْحَمْدُ للهِ، وَ لِكُلِّ رِضَاءٍ وَ شِدَّةٍ الشُّكْرُ للهِ، وَ لِكُلِّ أَعْجُوْبَةٍ سُبْحَانَ اللهِ، وَ لِكُلِّ ذَنْبٍ أَسْتَغْفِرُ اللهِ، وَ لِكُلِّ مُصِيْبَةٍ إِنَّا للهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ، وَ لِكُلِّ ضِيْقٍ حَسْبِيَ اللهُ، وَ لِكُلِّ قَضَاءٍ وَ قَدَرٍ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، وَ لِكُلِّ طَاعَةٍ وَ مَعْصِيَةٍ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إِلَّا باِللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Nabi s.a.w. bersabda: “Ketika seorang hamba sakit atau sedang bepergian, maka Allah menyuruhnya menulis semua amal shalih yang ia kerjakan ketika sehat atau dalam keadaan mukim (menetap).” Dan hadits-hadits lainnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *