رُبَّمَا اسْتَحْيَا الْعَارِفُ أَنْ يَرْفَعَ حَاجَتَهُ إِلَى مَوْلَاهُ لِاِكْتِفَائِهِ بِمَشِيْئَتِهِ فَكَيْفَ لَا يَسْتَحْيِ أَنْ يَرْفَعَهَا إِلَى خَلِيْقَتِهِ.
“Kadangkala seorang ‘ārif itu malu untuk mengungkapkan kebutuhannya kepada Allah, karena merasa cukup dengan kehendak-Nya. Bagaimana tidak malu meminta hajatnya kepada makhlūq-Nya.”
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
رُبَّمَا اسْتَحْيَا الْعَارِفُ أَنْ يَرْفَعَ حَاجَتَهُ إِلَى مَوْلَاهُ لِاِكْتِفَائِهِ بِمَشِيْئَتِهِ.
“Kadangkala seorang ‘ārif itu malu untuk mengungkapkan kebutuhannya kepada Allah, karena merasa cukup dengan kehendak-Nya.”
Adakalanya seorang ‘ārif itu merasa malu untuk mengungkapkan hajatnya kepada Tuhannya, karena merasa cukup dengan kehendak-Nya.
فَكَيْفَ لَا يَسْتَحْيِ أَنْ يَرْفَعَهَا إِلَى خَلِيْقَتِهِ.
“Bagaimana tidak malu meminta hajatnya kepada makhlūq-Nya.”
Bagaimana ia tidak malu untuk meminta hajatnya kepada makhlūq-Nya?
Tak satupun orang ‘ārifīn yang meminta sesuatu dan menyampaikan hajatnya kepada makhlūq. Karena makhlūq semuanya miskin, yang kaya hanyalah Allah saja.