Surat-Surat Sang Sufi | Surat Pertama (6/7)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Engkau menyinggung beberapa pernyataan Abu Bakr Al-Khatib301 yang tidak sependapat dengan Abu Thalib mengenai pandangan-pandangan mengenai kaum sufi tentang Sifat-sifat Ilahi. Pernyataan-pernyataan argumentatif itu muncul sesudah pujian Abu Bakr atas Abu Thalib, dan sulit menjelaskan bagaimana pertentangan dan pujian bisa berjalan seiring. Jika orang yang merasa keberatan memasukkan kata-katanya yang belakangan sebagai berarti bid’ah Abu Thalib, seolah-olah dia berdebat dengan seseorang yang tidak setuju mengenai dasar sifat-sifat, keabadiannya, hubungan timbal balik menyeluruhnya, atau transendensinya, maka Abu Bakr pastilah tidak menyinggung-nyinggung soal itu. Tak ada sesuatupun yang telah dikatakan Abu Thalib membenarkan kesimpulan seperti itu. Lantas bagaimana perbedaan pendapat Abu Bakr sesuai dengan pujiannya kepada Abu Thalib, jika pada saat yang sama Abu Thalib pantas menerima kecaman pedas atas keadaan spiritual dan kesalahannya, lebih daripada dia layak beroleh pujian dan sanjungan Abu Bakr? Jika sebaliknya, Abu Bakr sekedar tidak setuju tanpa bermaksud menilai bahwa dia telah berbuat bid’ah seperti dalam debat-damai antara kaum literalis dan kaum spiritualis, maka hal itu bisa diterima, dan satu pihak pun tidak punya bukti meyakinkan untuk menjauhkan pihak lain.

Yang aku inginkan darimu adalah berhenti pada soal yang ada dalam kitab “Al-Kitab” itu. Tulislah lengkap bagian itu, dan kirimkan padaku agar bisa mempelajarinya. Aku senang engkau menggeluti ilmu-ilmu ini dan mengkajinya, sekalipun engkau jauh dari rumah dan terpisah dari sanak saudara dan lingkunganmu. Kokohkan pijakanmu dalam kajian itu dan tekunilah, sehingga hasil-hasilnya bakal sangat bermanfaat bagimu.

Engkau memerlukan pengajaran yang maknanya bisa dipahami sepenuhnya hanya lewat kecerdasan dan pengalaman, dan seseorang bisa dipalingkan dari pengajaran itu hanya oleh kelalaian dan kepura-puraan. Inilah bahaya-bahaya yang bakal engkau jumpai dalam proses belajar ini, khususnya diantara orang-orang yang memiliki salah satu dari tiga sifat ini: keangkuhan, bid’ah’ dan taklid buta. Keangkuhan adalah laknat yang mencegah seseorang meraih kejayaan dan mencapai tujuan. Orang yang memiliki salah satu dari sifat-sifat ini tunduk pada penilaian tak berarti dan berada dalam pergulatan serta kekacauan terus-menerus. Bagaimana jadinya dengan orang yang dalam dirinya bergabung sifat-sifat ini!

Jangan biarkan dirimu dipengaruhi oleh orang-orang seperti ini. Janganlah pergaulanmu dengan mereka menghalangimu dari proses belajar ini, sehingga kesalehanmu menjadi lemah, dan pintu-pintu petunjuk serta keberhasilan tertutup bagimu. Manakala salah seorang di antara orang-orang ini mengemukakan berbagai argumen tak masuk akal atau mengaku berada dalam keadaan atau maqam (kedudukan tertentu), maka akibatnya adalah penalaran sesat, dusta, penipuan dan angan-angan.

Ini menggiurkan orang yang berbicara dan orang yang mendengarkan, sebab mengaku membuat kaya setiap orang yang bodoh dan mudah tertipu. Semuanya itu adalah kesombongan diatas kesombongan. Di dalamnya dijumpai salah satu bukti paling meyakinkan ihwal keunggulan pengetahuan yang sudah aku bicarakan. Ia membuka pintunya hanya buat hamba yang suci dan bertakwa kepada Allah, dan menyingkapkan hijabnya hanya buat qalbu yang bertobat dan dibersihkan dari berbagai pandangan bertentangan yang dikemukakan oleh bentuk-bentuk lain pengetahuan.

Karenanya, janganlah memandang pendukung hukum (fiqh-ed.) lebih mampu ketimbang seseorang yang berasal dari mazhab Pengetahuan ini (sufi-ed.). Sebab pengetahuan eksoteris (fiqh-ed.) bertentangan sekali dengan Kebenaran Mistik. Ia menuntun ke arah perilaku tak benar dan kerusakan jalan hidupnya, dan puncaknya adalah kehampaan-membinasakan buat mereka yang terlibat di dalamnya. Kaum sufi, sebaliknya merenungkan apa yang tersembunyi dari orang lain, dan menyadari sepenuhnya kebenaran-kebenaran yang tidak dipahami orang lain. Mereka itu seperti orang-orang yang dikatakan oleh penyair,

 Malamku telah menjadi fajar cerah karena wajahmu,

Mesti petang telah menampak di angkasa.

Burung tetap berada dalam malam mereka,

Sementara kami berada dalam pesona kecermelangan wajahmu.

(bersambung)

Catatan:

  1. Yang jelas, Abu Bakr Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 1071 M) yang menulis sejarah orang-orang Muslim terkemuka dari Baghdad, termasuk Abu Thalib salah satunya. Ibn ‘Abbad merujuk kepada “Al-Khatab”, juga konteks pembahasan tentang bagaimana menafsirkan ucapan guru-guru spiritual mengenai sifat-sifat Ilahi, dalam RK XVI (bandingkan IAR 158).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *