(lanjutan)
Ketakutan mereka akan tipu daya Allah bisa juga dipahami sebagai masalah intelektual. Yang jelas pertanyaan dan jawaban itu merupakan bentuk ucapan, dan itulah yang menjadikan masalah ini bisa dipahami. Jawaban kita tentang hadis ini tak lain adalah jawaban yang selalu diberikan berkenaan dengan kesulitan intelektual ini. Al-Ghazali membahas soal ini dan mengomentari hadis ini dengan mengemukakan hadis lain tentang doa Nabi saw. kepada Tuhannya pada waktu perang Badar: “Jika Engkau menghancurkan barisan pasukan ini, maka tak ada bakal satupun orang menyembah-Mu.” Beliau berdoa seperti ini dalam konteks janji pertolongan dan kemenangan kepada Allah Swt.261Maksud hadis ini adalah koleksi itu, dan komentar atasnya, sama dengan apa yang dikatakan tentang hadis pertama, kecuali bahwa dalam hadis pertama karakteristik kefakiran tampak lebih jelas.
Kisah Musa a.s. dan ketakutannya setelah memiliki keyakinan dan keimanan kuat, adalah variasi lain tentang tema pengetahuan transendensi, kalam, kehendak, dan ketentuan Allah Swt. serta tentang kebutuhan Musa akan Tuhannya, dan tentang kemuliaan kedudukannya.272 Inilah makna pernyataan Syaikh Abu Thalib “Musa tidak merasa aman” sampai kalimat “karena Musa memiliki pengetahuan mendalam tentang tipu daya tersembunyi-Nya dan sifat-sifat terselubung-Nya.” Pengamatan Abu Thalib” dan apapun pengetahuan-Nya tidak tunduk pada ketentuan apa pun” mengacu kepada keesaan Allah Swt. berkenaan dengan ketentuan sejauh yang dibawah ketentuan adalah sebentuk paksaan. Allahlah yang menang, namun, seandainya Dia tunduk pada ketentuan, maka dia akan menjadi yang diadili dan bakal menjadi yang dikalahkan. Tapi Allah jauh di atas semisal itu.
Maksud Allah yang kedua tidaklah seperti engkau bayangkan, memiliki pengertian seperti yang pertama. Yang kedua jelas meliputi salah satu rahasia Allah Swt. yang mengakibatkan timbulnya kedamaian, ketenangan, keyakinan dan tiadanya ketakutan dalam diri Musa. Ini menunjukkan kerahmanan dan kerahiman-Nya dalam menjalankan kehendak-Nya dalam diri Musa a.s.
Syaikh Abu Thalib memperhatikan ini ketika berkata: “Kemudian dia percaya pada zat yang tengah berbicara kepadanya,sekalipun dia mula-mula tidak bisa diam tenang, “Tidaklah engkau mengetahui bagaimana Allah Swt membawa Musa menuju pemahaman lebih dalam tentang tujuan-Nya guna membuat dia aman, dengan menggunakan sebuah kalimat yang subjeknya diberi tekanan dan dengan menambahkan kata sandang tertentu pada predikatnya – dalam bentuk superlatife dan sesudah subjek kata ganti yang ditegaskan? Begitu banyak perbedaan lahiriah antara kedua pernyataan itu.283
Begitu pula kisah Isa294 a.s. melukiskan transendensi pengetahuan dan kalam Allah, dan menunjukkan perilaku yang tepat dalam kedudukan itu yang tidak dapat dilukiskan oleh keindahan sastra dan paparan yang runtut teratur. Yang demikian itu diamanatkan kepada guru-guru yang dipilih Allah untuk menggunakannya. Karena itu, aku tidak akan mengulas lebih jauh soal ini; dan aku memohon ampun kepada Allah Swt. atas apa yang tak kulakukan. Sesungguhnya, tak ada seorangpun bisa benar-benar memahami kedudukan yang telah aku uraikan itu, kecuali orang-orang pilihan yang telah mengalaminya secara langsung. Aku pun benar-benar tak mampu memahaminya juga, seperti halnya orang lain.
(bersambung)
Sebab dia (Abu Bakr) berada di maqam ikhlas, kedudukan tergantung kepada janji Allah. Dan kedudukan Rasulullah adalah kedudukan takut kepada tipu daya Allah, dan itu lebih sempurna, karena yang demikian itu hanya bisa terjadi berkat kesempatan ‘pengetahuan’ mengenai rahasia-rahasia Allah dan segi-segi tersembunyi dari tindakan-tindakan-Nya dan makna sifat-sifat-Nya yang Dia ungkapan melalui Tindakan-tindakan semisal yang berasal darinya lewat perencanaan diam-diam” (FH 59;hadis itu juga ada dalam MM 1273 dan KL 122).