Surat-Surat Sang Sufi | Surat Pertama (3/7)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Perbedaan antara kedua jalan dan metode-metodenya ini bisa dengan gamblang dijelaskan dengan cara begini.191 Di dalam inti jalan pertama dicarinya bukti oleh akal serta ketidakmampuan akal untuk memahami, kecuali dengan penalaran analogis dan perbandingan.202 Yang demikian itu berlaku selama dibimbing oleh pengkajian empiris. Akan tetapi jalan kedua bertumpu pada cahaya keyakinan, yang hanya dengan itu Kebenaran Nyata tampak jelas. Itulah sesuatu paling agung yang bisa turun dari langit ke dalam qalbu orang-orang mukmin pilihan, yang dengan begitu memahami Kebenaran Mistik Sifat-sifat dan Nama-nama.

Setelah engkau memahami pendahuluan ini, engkau akan memahami bahwa berbagai keberatan yang kau ajukan berkenaan dengan Syaikh Abu Thalib runtuh dengan sendirinya. Masalah ini berkaitan erat dengan cara berpikir yang tidak ada hubungannya dengan pemahaman analogis atau tatanan raisonal. Selanjutnya, keberatan-keberatan itu berkaitan dengan cara berpikir yang lebih luas, sebab pendekatannya dengan masalah ini tidak melampaui batas-batas akal.

Sekarang tentang pernyataan Abu Thalib: “Muslihat Tuhan tak berkesudahan, sebab kehendak dan ketentuan-Nya juga tak terbatas.” Di sini, Dia menyebutkan bahwa satu aspek dari pengetahuan, kalam, kehendak keputusan Allah Swt. itu tak dapat dipahami dan dimengerti. Karena itulah Nabi dan Jibril takut kepada tipu daya Tuhan mereka Yang Mahakuasa dan Mahatinggi, sekali pun mereka memiliki keimanan kuat.213 Takut seperti inilah yang niscaya ada pada diri kita. Hampir tidak bisa dibayangkan untuk lepas dari rasa takut seperti ini, sebab hal ini adalah salah satu syarat bagi keimanan dan pengetahuan tentang Sifat-sifat dan Nama-nama hakiki Tuhan. Karena itu, semakin besar pengetahuan kita tentang Sifat-sifat dan Nama-Nama, semakin takut kita jadinya. Seperti dikatakan oleh salah seorang ahli sufi: “Seorang yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Allah Swt. tidak akan merasa nyaman, dengan pengetahuan seperti ini mengguncangkan rasa amannya. Hanya orang-orang yang berandalan saja yang menganggap diri mereka aman dari tipu daya Tuhan,” (QS 7 : 97). Dan seorang lainnya mengatakan: “Takutlah kepada Tuhanmu sedemikian sehingga engkau selamat dari segala hal, tapi waspadalah jangan sampai hatimu merasa aman dari Allah Swt. dalam hal tertentu.224 Dengan kata lain, tidak ada alasan untuk takut kepada sesuatu; akan tetapi seseorang tak bakal pernah merasa aman dan Allah Swt.

Sesungguhnya makna lahiriah firman Allah: “Aku telah menjadikan kamu berdua aman tidaklah dimaksudkan untuk menghilangkan ketakutan mereka; makna yang tampak dari kata-kata itu tidak menghilangkan kebutuhan batiniah akan sifat takut itu. Seperti telah dikatakan oleh Syaikh Abu Thalib, pernyataan itu berlaku pada sifat khusus bahwa Allah Swt. sudah menetapkan ketentuan dengan pengetahuan-Nya. Ini adalah satu aspek dari transendensi kalam Allah, dan tak ada satu pun yang bertentangan dengannya, sebab metode-metode rasional tidak bisa menghalangi Allah dari mengatakan hal-hal yang tidak bisa dipahami. Dalam pembahasan ini, cobaan dan ujian Muhammad dan Jibril bersifat mendidik bagi kita. Hal itu akan bermanfaat buat kita untuk mengamati keadaan mereka dalam memperhatikan hakikat Sifat-Sifat Ilahi, untuk mengetahui bagaimana Allah mengubah keadaan hamba pilihan-Nya, seperti dalam kisah Ibrahim a.s.

(bersambung)

Catatan:

  1. Lebih Jauh tentang “kedua jalan” itu, lihat Pendahuluan: salik dan majdzub.
  2. “Penalaran analogis” adalah terjemahan dari qiyas, sebuah istilah yang berasal dari ilmu hukum (fiqih) dan dikenal luas sebagai satu dari “empat sumber” hukum. Di sini digunakan untuk mengacu pada intelijensia manusia dalam artian lebih luas, yaitu pengetahuan konseptual. Pengetahuan yang bertentangan dengan pengetahuan “pra-koseptual” yang dikemukakan oleh jalan (tarikat) lain.
  3. Versi kisah Al-Ghazali : “Diriwayatkan bahwa Nabi dan Jibril menangis karena takut kepada Allah. Lalu Allah mewahyukan kepada mereka berdua: Mengapa kalian menangis? Bukankah Aku telah membuat kalian berdua aman? Maka mereka pun menjawab : siapa yang merasa aman dari tipu daya-Mu? Begitulah mereka berdua seolah-olah – karena mereka tahu bahwa Allah sendiri Maha Mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi dan bahwa Dia tak memberitahu mereka berdua ihwal tujuan pokok segala urusan – merasa tidak aman dengan ucapan-Nya,’Aku telah membuat kalian berdua merasa aman’ sebagai cara untuk mencoba dan menguji mereka, sehingga, jika ketakutan mereka reda dan hilang, akan jelaslah bahwa mereka berdua merasa telah aman dari berbagai tipu daya dan belum memenuhi ucapan mereka.” Persis sebelum riwayat itu, Al-Ghazali merujuk kepada QS 7 : 97, yang juga dirujuk oleh Ibn ‘Abbad beberapa baris dibawah (terjemahan dari FH 58). Abu Thalib menjelaskan bahwa Muhammad dan Jibril tampaknya mengetahui bahwa “tipu daya Allah tidak akan berakhir, dan ketentuan-Nya tidak terbatas.”
  4. Kedua manuskrip mengidentifikasi “seorang lainnya” sebagai al-Syadzili.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *