Surat-Surat Sang Sufi | Surat Pertama (2/7)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Lalu, orang melihat perbedaan sangat besar antara yang baru dan yang azali (tidak berawal/kekal-ed.) , makhluk dan Khalik.121 Hal ini mendorong dia menegaskan transendensi dan mengingkari antropomorfise. Pada titik ini, orang memahami segala yang bisa dijangkau oleh pemahaman manusia tentang transendensi Penciptanya yang Mahatinggi. Dari sana, dia naik ke derajat tertinggi dan tingkatan maksimal kemampuannya untuk menegaskan dan melihat. Inilah proses, yang dengan proses ini, seseorang mengamati dan melakukan refleksi dan terbimbing menuju sebab lewat akibat-akibat-Nya. Proses itu akan cukup membimbing setiap orang yang pandai menuju dasar-dasar pengetahuan mendalam yang merupakan syarat bagi keselamatan dan kemajuan spiritual. Akan tetapi, orang masih mengalami keraguan dalam keimanannya, dan tidak mengalami pengembangan inti wujudnya serta penyucian qalbu.132Kemudian Allah Swt. memilih sebagian hamba-Nya. Allah Swt. menampakkan diri-Nya kepada mereka lewat cahaya-Nya, sesuatu yang nampak sangat jelas bagi mereka. Dengan cahaya itu, mereka pergi menyusuri jalan yang ditunjukkan dengan jelas oleh pengetahuan mendalam mereka tentang-Nya. Mereka merenungkan sifat-sifat menakjubkan nama-nama-Nya dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh golongan pertama. Mereka memahami keagungan kehadiran Ilahi dan cahaya-cahaya suci sedemikian sehingga tak dapat dilakukan oleh orang-orang yang mencari bukti. Kepada orang-orang yang mencari bukti inilah hamba-hamba terpilih itu mengatakan, “Mengapa engkau mencari informasi tentang apa pada dasarnya yang tidak bisa dipaparkan? Kapan Dia begitu tersembunyi sehingga tidak ada bukti tentang-Nya? Biasakah segala sesuatu selain Dia menjadi nampak dengan cara diluar kekuatan alaminya sampai Dia menampakkannya? Mana mungkin Dia yang pada diri-Nya segala sifat diketahui bisa diketahui oleh sifat-sifat-Nya? Atau, mana mungkin Dia yang wujud-Nya mendahului segala wujud lainnya, bisa dibedakan sebagai satu entitas khas? Bagaimana mungkin dengan sarana tidak memadai Dia yang, “lebih dekat ketimbang urat leher” (bandingkan QS 50 : 16) bisa dijangkau?, dan tidaklah cukup Tuhanmu, karena sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS 41:53).143

Melalui pengetahuan mendalam tentang-Nya, mereka sampai hanya pada nama-nama; disebabkan oleh transendensi-Nya, mereka tidak sampai pada batas pujian dan pengagungan paling jauh. Namun mereka merenungkan wujud itu, yang bila segala sesuatu lainnya dibandingkan dengan-Nya hanyalah ketiadaan semata, yang bila keabadian segala sesuatunya segala sesuatu lainnya dibandingkan dengan-Nya hanyalah ketiadaan semata, yang bila keabadian segala sesuatu lainnya dibandingkan dengan-Nya tidaklah berarti apa-apa, yang mengalaminya hanyalah kepalsuan, yang melihatnya hanyalah ilusi, yang mengingatnya hanyalah kelupaan, dan yang bertambahnya hanyalah kekurangan. Demikianlah, mereka melihat hanya dengan pandangan mata keyakinan dan bukti yang jelas kebenaran orang yang mengatakan: “Allah maujud (ada-ed.) sebelum segala sesuatu, dan Dia maujud terpisah dari segala sesuatu yang bergantung kepada-Nya.”

Setelah mereka mencapai peringkat ini, mereka bisa memahami Sang Raja Yang Mengetahui. Dia bebaskan mereka dari perbudakan menuju pengetahuan dan menyebabkan mereka mati terhadap segala-galanya.154 Relung qalbu mereka menjadi suci, dan Allah Swt. menampakkan diri kepada mereka melalui Sifat-sifat dan Nama-nama-Nya yang paling mulia. Dia beri mereka pengetahuan tentang apa yang dikehendaki-Nya, sehingga mereka berlaku sebagai hamba dihadapan Tuhannya. Mereka beristirahat di tempat mana Zat yang mengetahui di setiap pemikiran-rahasia mereka mengawasi mereka. Mereka bergabung dalam barisan ibadah bersama-sama orang-orang yang “membentuk shaf serta bertasbih memuji-Nya” (bandingkan QS 37 : 165-166). Mereka maencapai tingkatan hamba paling mulia, dan bertasbih dengan lidah keadaan spiritual mereka,165 seraya berkata, “Betapa banyak hasrat qalbuku. . .”176 Betapa bahagianya mereka dipilih menjadi penghuni tempat orang-orang yang dicintai, dengan “akhir kehidupan indah” (QS 3 : 14, 13 : 29) seperti diungkapkan dalam Umm Al-Kitab.187

(bersambung)

Catatan:

  1. Melihat “perbedaan antara yang baru dan yang azali” adalah paraphrase Ibn ‘Abbad dari defenisi Junayd tentang tawhid, pengakuan atau tentang pengalaman mistis tentang keesaan Allah: “Pemisahan Yang Abadi dari yang diciptakan oleh Perjanjian” (MDI 58).
  2. “Meluasnya (lapangan) inti wujud” adalah terjemahan dari insyirah alshadr , seringkali diterjemahkan, dalam terjemahan-terjemahan Al-Qur’an dan karya-karya lain, sebagai “jiwa, qalbu, dada,”.Frase itu jelas mengacu kepada Surah 94 : 1, “Bukankah kami telah melapangkan sadr-mu untukmu. . .” Istilah itu dengan jelas mengacu dalam tulisan sufi, bukan hanya pada qalbu aktual, melainkan juga pada fakultas spiritual yang lebih dalam dan “lebih luas” ketimbang qalbu (bandingkan MDI 192). “Penyucian qalbu” adalah terjemahan dari “salju qalbu”, salah satu formula favorit Ibn ‘Abbad. Boleh jadi, formula itu mengacu kepada riwayat Ibn Hisyam tentang bagaimana malaikat membuka dada Muhammad semasa kanak-kanak, menghilangkan kotoran dan membersihkan qalbunya dengan salju dari baskom emas (A. Guillmme, The Life of Muhammad [Oxford, 1995],hlm.72).
  3. Ibn ‘Abbad tampaknya memparafrasekan Ibn ‘Athaillah. Bandingkan dengan IAA hlm. 91-92, #15, terjemahan dalam : BW 50.
  4. “Mati,” secara harfiah mengalami fana’ atau kesatuan mistis dengan hilangnya diri.
  5. Lisan alhal, sebuah ungkapan sufi yang bermakna bahwa seluruh wujud seseorang berbicara untuk diri sendiri – yakni, keadaan seseorang, dan keadaan setiap makhluk mengucapkan secara alami apa yang tidak bisa diungkapkan dalam kata-kata.
  6. Mengutip AlHallaj (wafat 922 M), seorang sufi martir dan Baghdad yang dieksekusi lantaran mengklaim bersatu dengan Allah dengan cara yang dipandang oleh otoritas-otoritas Muslim sebagai menghujat dan berada menghina. Ibn ‘Abbad tampaknya mengemukakan bahwa bait itu sudah dikenal oleh orang yang ditujunya. Bait selanjutnya berbunyi, “tetapi mereka semua telah berkumpul begitu mataku menatap diri-Mu” (IAR 177, mengutip terjemahan puisi itu oleh L.Massignon dalam Journal Asiatique, Januari-Maret 1931, hlm. 39).
  7. “Induk Kitab” adalah nama yang diberikan kepada Al-Qur’an sebelum diwahyukan, yakni ketika wahyu itu masih ada dalam pikiran Allah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *