Surat-Surat Sang Sufi | Surat Pertama (1/7)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

SURAT PERTAMA

Kepada Muhammad Ibn Ajibah. Surat untuk menjawab sebuah pertanyaan seseorang tentang seseorang tentang satu masalah dalam kitab Qut Al-Qutub (Santapan Qalbu),11 dalam bab “Takut”. Surat itu juga memuat informasi bermanfaat lainnya yang dibutuhkan seorang pencari22 dalam berhubungan dengan orang-orang tertentu.

~ 1 ~

Kusampaikan salam hangatku kepadamu. Aku memohon kepada Allah Swt. agar memberi kita keberhasilan sempurna, petunjuk kearah Jalan Lurus, dan jaminan bahwa harapan kita bakal terpenuhi serta amalan-amalan kita menjadi benar.

Telah kuterima suratmu. Didalamnya engkau mencari penjelasan atas pertanyaan yang dikemukakan kepadamu oleh kitab karya Abu Thalib, risalah penyembuhan. Seperti yang kau minta, berupaya menjelaskan sepenuhnya kandungan kitab itu berarti harus mengungkapkan rahasia-rahasia dan pengetahuan ghaib. Yang demikian itu sungguh riskan dan amat berbahaya. Lagi pula, analisis tajam terhadap sifat-sifat dan hakikat Allah sangatlah menyulitkanku. Orang dapat sampai pada kebenaran-kebenaran seperti itu hanya dengan cahaya keimanan, dan hanya manusia-manusia paling tulus dan ikhlaslah yang beroleh bimbingan di sepanjang jalan itu. Siapakah diantara kita yang dapat mengklaim hidup di Jalan itu atau merupakan bagian dari masyarakat seperti itu? Nafsu kita telah membuat kita buta. Kita tidak tahu lagi bagaimana kita mesti berprilaku; jejak-jejak padang perkemahan33 menghentikan langkah kita, sampai kita kehabisan bekal dan gagal mencapai tujuan. Dengan pelbagai kelicikan dan bujuk rayu, musuh dan tingkah laku kita telah membunuh kita. Pandangan kita buta, dan kalbu kita gelap gulita. Sungguh suatu kecongkakan dan kesombongan belaka bila kita menghasratkan pengalaman menyeluruh tentang apa yang engkau minta agar aku menjelaskannya, menyusuri jalan penyingkapan dan kejelasan pandangan. Yang demikian itu berarti mengabaikan kapasitas kita serta menjerumuskan diri kita ke jurang kebodohan pretensi44 (berpamrih) yang melecehkan dan menghina orang-orang pandai dan membuktikan kejahilan orang-orang bodoh. Kebatilan tidak bisa tegak dengan sarana seperti itu.

~ 2 ~

Seandainya kita harus memasuki dunia ahli fiqih,55 kita akan tahu bahwa mereka juga tidak akan mampu memuaskan dahaga kita atau menunjuki kita jalan pemahaman lewat penggunaan akal dan pandangan-pandangan kaku mereka. Semuanya itu merupakan langkah mundur dan tidak tepat. Salah satu alternatif kita dalam hal ini ialah menyerahkan hal itu kepada mereka yang berwenang dan layak menanganinya. Kita harus puas dengan apa yang ada pada diri kita dan mencari mukasyafah (penyingkapan) dari Tuhan, yang menurunkan wahyu, Yang Mahabijak. Kita harus mencari bimbingan menuju Jalan Lurus (QS 1 : 5) dari orang-orang yang menegaskan transendensi dan mengingkari antropomorfisme.66 Jalan itu benar-benar aman dari pelbagai kemalangan, dan akan menjaga orang-orang seperti kita dari pelbagai perilaku serta tindakan bodoh. Diperlukan perilaku yang benar, kalau kita berjalan dengan para wali dan guru spiritual, suatu perilaku77 yang mengangkat seseorang ke puncak tertinggi kewalian. Seperti dikatakan oleh Al-Junayd: “Meyakini apa yang telah kita pelajari: Inilah kewalian.”88 Sekalipun begitu, aku tetap merasa berkewajiban menjawab pertanyaanmu . Karenanya aku akan berbicara tentang soal ini sejauh pemahamanku. Aku akan membahas apa yang tampaknya tepat dalam keadaan seperti ini, dalam upaya menghilangkan keraguan serta sikap yang tidak bisa dipertahankan lagi. Aku akan membatasi perhatianku pada hal itu saja. Sekiranya aku nanti sampai pada Kebenaran Mistik,99 maka hal itu terjadi berkat bantuan Ilahi. Jika aku gagal, maka penyebabnya adalah kelemahan manusiawi semata. Betapapun juga, hanya Allah Swt. saja yang berhak dipuji.

Ini adalah soal penting yang merupakan bagian dari ilmu mengenal keesaan Allah. Dengan demikian, ia berkaitan dengan soal waktu yang penting bagi orang-orang yang yakin akan keunikan Allah. Ini selaras dengan prinsip-prinsip kaum sufi, melambangkan makna spiritual ketulusan, dan berasal dari orang-orang yang memiliki keyakinan, keimanan, pengalaman dan pandangan yang jelas. Hal itu tidak bisa dijelaskan kecuali dengan menghayatinya. Tak ada seorang pun yang bisa membuktikan kebenarannya kecuali dengan memberikan contohnya.

Al-Ghazali setuju dengan pandangan Abu Thalib, dan mengungkapkan soal itu dengan cara yang sama. Keduanya berbicara tentang muslihat (Ilahi) dan menguraikannya secara panjang lebar. Allah Swt. telah menisbahkan hal itu pada Diri-Nya dalam berbagai surah di dalam Kitab-Nya. Sama seperti dinisbahkannya cobaan, godaan dan kelicikan kepada-Nya. Semua istilah ini mengungkapkan aspek-aspek dari kehendak dan pengetahuan-Nya, dan menunjukkan bahwa kesucian, transendensi dan keagungan-Nya tidak bisa dibandingkan dan sama sekali tak mengandung antropromorfisme.1010

Baiklah aku mulai saja disini dengan pendahuluan. Pencipta Mahaagung telah menciptakan dan membentuk manusia dengan kesempurnaan dan ketidaksempurnaan. Semua itu amatlah kecil manakala dibandingkan dengan-Nya. Kemudian, Dia membekalkan manusia dengan kecenderungan mengetahui (makrifah)1111 tentang Diri-Nya dan tentang Sifat-sifat serta Nama-nama-Nya. Dengan sarana itu, Dia mengangkat seseorang tinggi-tinggi mengatasi batasan-batasan intelek, sehingga seseorang bisa memahami ilmu-ilmu empiris, serta menuntutnya untuk merenungi berbagai tanda kekuasaan di alam semesta dan dalam diri makhluk. Keagungan dan keajaiban menampakkan diri di depan seseorang yang memperhatikan tanda-tanda kekuasaan ini. Semuanya itu memaksa dirinya mengakui bahwa Pencipta, Penyebab Pertama, memiliki sifat-sifat seperti hidup, mengetahui, berkuasa dan berkehendak-bahkan waktu seseorang memperhatikan dirinya sendiri setelah menyelesaikan pekerjaan. Kemudian orang itu juga memperhatikan dirinya sendiri serta melihat di sana sifat-sifat kesempurnaan seperti mendengar, melihat dan berkata-kata, sehingga pengalaman ihwal kekuasaan Ilahi memaksanya menisbahkan sifat-sifat serupa kepada pencipta.

(bersambung)

Catatan:

  1. Qut Al-Qulub (Santapan Qalbu) adalah risalah-sistematis utama tentang tasawuf karya Abu Thalib Al-Makki (wafat 996 Masehi), sebuah karya komprehensif pertama tentang itu. Bersama dengan tulisan-tulisan Al-Ghazali (wafat 1111 Masehi) dan Al-Muhasibi (wafat 857 Masehi), karya pengarang ini sangat berpengaruh dalam membentuk pemikiran Ibn ‘Abbad dan anggota-anggota tarikat Syadziliyah lainnya.
  2. Istilah teknis yang sering digunakan, murid, disepanjang buku ini diterjemahkan sebagai “pencari” . Istilah itu bisa juga diterjemahkan sebagai “pemula” atau orang-orang yang bercita-cita”, tetapi Ibn ‘Abbad menggunakan istilah itu dengan cara yang tidak selalu mengacu secara khusus kepada seorang anggota tarikat sufi. Sebagai gantinya, istilah itu berlaku secara lebih umum pada seseorang yang benar-benar mencari Allah, entah secara formal di bawah perwalian seorang pembimbing spiritual, atau tidak. Ibn ‘Abbad sering menggunakan kata itu sebagai sinonim bagi “hamba” (abd), sebuah istilah yang bisa diterapkan pada seorang Muslim yang saleh mana pun.
  3. “Jejak-jekak di padang perkemahan” secara jelas merujuk kepada tema yang umumnya dijumpai di dalam bagian-bagian pembukaan kasidah Arab pra-Islam. Sang musafir terpikat oleh pemandangan bekas-bekas api unggun di perkemahan, serta berhenti untuk mengenang hubungan masa lalu. Bandingkan dengan Ilse Lichtenstaedter. “Das Nasic der altarabischen Qaside, “Islamica, jilid V, hlm. 17ff. (Leipzig, 1931).
  4. “Berpamrih (pretensi) di sini adalah terjemahan bentuk jamak dari da’wa, salah satu istilah favorit Ibn ‘Abbad untuk menunjukkan kekacauan psikospiritual fundamental. Lihat Pendahuluan.
  5. “Ahli-ahli hukum/fikih (fuqaha’)” adalah terjemahan dari ahl al-zhahir (orang-orang yang hanya mengetahui makna lahiriah). Sebuah istilah yang oleh Ibn ‘Abbad disejajarkan dengan ahl al-bathin ( orang-orang yang mengetahui makna batiniah). Ibn ‘Abbad seringkali mengingatkan ihwal bahaya bergaul dengan ahli-ahli hukum “eksoteris” dan ikhwal keharusan bersahabat dengan kaum sufi, “kaum eksoteris. Ibn ‘Abbad tak pernah menganjurkan untuk melecehkan hukum agama itu sendiri, tetapi dia sedikit sekali berpikir tentang spekulasi-spekulasi rasionalistik kontra-produktif dari para faqih professional.
  6. “Transendensi dan antropomorfisme” masing-masing adalah terjemahan dari tanzih dan tasybih, istilah-istilah teknis baku. Penegasan yang pertama dan penafian yang terakhir merupakan prinsip fundamental dalam teologi Asy’ariyah. Bandingkan Richard McCarthy, S.J., The Theology of Al-Asy’ari (Beirut, 1953), hlm.188 dan passim.
  7. “Perilaku yang tepat” adalah terjemahan dari husn al-adab, sebuah frase yang seringkali digunakan oleh Ibn ‘Abbad untuk menyifat segala sesuatu yang diperlukan makhluk di haribaan Sang Pencipta; di sini juga diterjemahkan sebagai “kelakuan atau perilaku yang tepat, pantas, dan benar.”
  8. Al-Junayd, seorang sufi yang terkemuka dari Baghdad (wafat 910 Muhammad), muncul beberapa kali dalam surat-surat Ibn’Abbad. Dia adalah penyokong utama mistisisme “tak-mabuk”, dan karena itu sangat menarik Ibn ‘Abbad serta tarikat Syadziliyah yang umumnya lebih tak-mabuk. Bandingkan MDI 58-59 dan passim. Juga karya R. Zaehner, Hindu and Muslim Mysticism (London, 1960), hlm. 135-153, 218-224. “Beriman” adalah terjemahan dari tashdiq.
  9. “Kebenaran Mistik” adalah terjemahan dari haqiqah (hakekat-ed.), sebuah istilah teknis yang didefenisikan secara beragam oleh berbagai pengarang sufi yang berbeda, tapi secara umum mengacu kepada tujuan puncak perjalanan. Istilah itu juga diterjemahkan sebagai “Yang Nyata”, “Realitas Hakiki”, “Realitas”, dan sebagainya
  10. Abu Thalib (dalam Qut AlQulub [edisi Cairo, 1932], jilid 1 hlm.139-140). Dan Al-Ghazali (Ihya Ulum AlDin, FH 57ff.) Kedua-duanya menguraikan konsep yang sering disebut-sebut dalam Al-Qur’an (QS 3 : 47, 8:30, 13:42, 27:51, dan seterusnya): makr Allah. Ibn ‘Abbad menghabiskan beberapa halaman untuk membahas pendekatan mereka atas aspek transendensi Allah yang sangat menarik ini: “muslihat, tipu daya”-Nya. Ini adalah ungkapan metaforis, yang dimaksudkan untuk mengingatkan sang hamba bahwa Tuhan selalu memberikan jawaban terakhir dengan hujjah yang kuat dan luas serta bahwa manusia tidaklah punya posisi “membuat Allah bertanggung jawab atas perkataan-Nya.” Allah tidaklah terpaksa melakukan (sesuatu-ed.) bahkan apa yang Dia katakan akan dilakukan-Nya. Sang hamba mestilah waspada agar tidak menjadi kelewat senang, sekalipun di tengah-tengah kebahagiaan yang tampaknya datang dari Allah sendiri.
  11. “Pengetahuan mendalam” adalah terjemahan dari istilah teknis, ma’rifah. Seringkali diterjemahkan sebagai “gnosis”. Istilah itu mengacu kepada pengetahuan non-diskursif, intuisional dan pemberian Allah ke dalam hubungan makhluk dengn sang Pencipta. MDI 30 mengemukakan defenisi Junayd: “Ma’rifah… adalah melayang-layangnya qalbu di antara menyatakan Allah terlalu besar untuk dipahami, dan menyatakan Dia terlalu agung untuk dipersepsi. Ia terdiri dari tindakan pengetahuan bahwa, betapa pun dibayangkan dalam qalbu, Allah merupakan sebaliknya dari hal itu (maksudnya apa yang dipersepsikan manusia tentang Allah, adalah jauh melebihi ataupun jauh sebaliknya, dari persepsi manusia tersebut-ed.).”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *