SURAT KETUJUH
Kepada Yahya Al-Sarraj. Surat tentang derajat sabar dan pasrah (tawakal) di kalangan orang-orang yang mengalami berbagai cobaan.
Segala puji bagi Allah semata.
Telah kuterima suratmu. Engkau menerangkan kebingunanmu tentang masalah sabar dalam menghadapi berbagai kesengsaraan. Masalah itu sesungguhnya amat jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Penderitaan yang lama adalah salah satu kedudukan yakin, dan sebanding dengan kekuatan atau kelemahan yakin, serta kebertambahan atau keberkurangannya. Sabar mencakup tindakan menahan jiwa rendah (hawa nafsu) sedemikian sehingga tidak menyetujui berbagai tindakan dan perkataan sengaja yang bertentangan dengan Hukum Wahyu dan Kebenaran Mistik. Hanya orang yang berkeyakinannya kuat, dan yang dalam dirinya sifat-sifat jiwa rendahnya lemah sajalah yang bisa mencapai derajat sabar yang diinginkan. Orang yang keyakinannya sangat lemah , dan yang dalam dirinya sifat-sifat jiwa rendahnya kuat, tak mampu bersabar. Dia tidak dapat menjaga diri terhadap berbagai dorongan hawa nafsu. Akibatnya, orang seperti ini seringkali berada di ambang kekafiran. Semoga Allah melindungi kita dari hal sedemikian itu karena menganggap Allah Swt. berlaku zalim.1
Tingkat yakin orang sangat berbeda-beda. Mereka berada di antara dua kutub sabar ini. Bila keyakinan seseorang sangat kuat, maka dia tidak merasa menderita manakala berbagai cobaan menimpa dirinya. Sesungguhnya, boleh jadi dia merasa bahagia dan gembira berada dalam cobaan-cobaan itu, sedang memandangnya sebagai kebaikan. Inilah salah satu kedudukan (maqam) tertinggi, cinta dan tawakal. Sebuah kisah menuturkan seseorang bertanya kepada Sari Al-Saqathi, “Apakah sang pencinta merasa sedih dan menderita?” Tidak, “jawabnya. “Sekali pun sang pencinta di tebas oleh pedang?” Sekalipun sang pencinta ditebas oleh pedang tujuh puluh kali, “jawab Al-Saqathi.2
Baiklah, kujelaskan lebih jauh. Seseorang mungkin saja mengalami derita fisik, tapi merasa bahagia dalam qalbunya, sebab telah dikatakan, “Tawakal berarti kegembiraan qalbu di kala diberlakukan Ketentuan Illahi.” Abu Ya’qub al-Nahrajuri mengatakan, “Manakala sang hamba mendekati perwujudan keyakinan sempurna, dia memandang kesengsaraan sebagai rahmat, dan hambatan serius sebagai kesenangan.”3 Lebih dari itu, orang seperti ini memandang adanya musibah sama seperti ketiadaannya.
Jika keyakinan mengendur, dia pun surut kebelakang, sehingga inti wujudnya menyempit, karena tiadanya sifat-meluas cahaya keyakinan. Kemunduran itu pada gilirannya membuatnya mengeluh dan merasa menderita.
Manakala sang-hamba mengalami musibah, maka kata-kata “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah” membantu mencegah menyempitnya inti wujudnya. Bagi orang yang tengah menempuh perjalanan, kebenaran kata-kata ini tidaklah memberi manfaat; tetapi bagi orang yang memiliki keyakinan, itu adalah positif. Kata-kata itu bahkan mencegah rintihan orang yang sakit tidak sampai terperosok ke dalam keluhan, sebab kata-kata itu mengidentifikasikan sakit sebagai bagian dari apa yang ditetapkan atas diri sang hamba. Bahkan, burung merak pun tidak merintih ketika jatuh sakit. Riwayat menuturkan bahwa Zakariya a.s. merintih dan mengerang ketika digergaji. Lalu Allah Swt. mewahyukan kepadanya, “Jika engkau merintih sekali lagi kepada-Ku, akan aku porak-porandakan langit dan bumi ini.”4
Manakala seseorang yang tengah ditimpa musibah menahan jiwa rendahnya dari kata-kata yang bisa menyebabkan seseorang mengeluh, maka dia tengah mengamalkan kesabaran paling indah. Seperti telah difirmankan Allah Swt. dalam Kitab-Nya berkenan dengan Nabi-Nya, Ya’qub a.s.5: “Sabar itu indah” (QS 12 : 18).
Allah Swt. menunjukkan bahwa sabar adalah menghindari keluhan dan sok pamer. Nah, jika cobaan-cobaan seperti ini menimpa seseorang, dan dia mampu tidak mengeluh dan tidak menunjukkan ketidaksenangan, dan tidak melampau batas-batas pengetahuan, serta tidak membuat gaduh karena perasaan-perasaan tidak senang dan negatifnya, maka orang itu telah mencapai kedudukan sabar sekalipun bukan kedudukan orang-orang pilihan.6 Jika, sebaliknya, dia memberikan tanggapan negatif, maka dia telah meninggalkan kesabaran dan menjadi tidak sabar, yakni gelisah. Manakala seseorang mengakui kemaksiatan tindakannya, dan melatih mengekang jiwa rendahnya, lalu memaksakan dirinya secara berlebihan dalam proses itu, maka dia tengah berusaha bersabar.7 Hanya saja, yang demikian itu adalah kesabaran yang dibuat-buat. Persis seperti halnya zuhud, bila dipaksakan, maka hanyalah pura-pura zuhud semata. Ia tidak membimbing ke kedudukan yang bernilai untuk disebutkan, atau ke keadaan berharga untuk dicapai.
Maksudku ialah bahwa mengalami penderitaan tidaklah mengurangi kesabaran, lantaran sang hamba mengalaminya dengan tidak sengaja. Hanya Tindakan sukarela yang membuatnya mengalami penderitaan bertentangan dengan Hukum Wahyu dan Kebenaran Mistik sajalah yang bisa mengurangi sabar.Tindakan-tindakan sejenis ini terjadi sebanding dengan derajat yakin; frekuensi tindakan-tindakan itu pun berbeda-beda, seperti halnya derajat-derajat yakin itu sendiri. Derajat-derajat yakin itu pada dasarnya ada tiga kategori yang disebutkan dalam Al-Quran (QS 102 : 5, 7; 56 : 95): pengetahuan tentang yakin, yakin itu sendiri, dan yakin tertinggi.8
Dalam masing-masing kategori itu, ada tingkatan-tingkatan yang banyak sekali jumlahnya. Salah seorang sufi mengatakan, “Sang hamba belumlah mencapai yakin yang sempurna, kecuali bila dia telah memutuskan dari dirinya segala sesuatu diantara bumi dan tahta Allah yang memisahkan dirinya dari Allah. Sehingga Allah menjadi satu-satunya keinginan dan hasratnya, serta dia mengutamakan Allah di atas segala-galanya.”9 Yakin tidak memiliki batas tertinggi. Ketika seseorang mempelajari dan memahami agama, maka yakinnya pun semakin bertambah.
Semoga Allah memperkuat kita dengan kekayaan-Nya yang tak ada habis-habisnya dalam kebaikan dan kemurahan-Nya.[*]