Surat-Surat Sang Sufi | Surat Ketiga (7/7)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Abu Al-Qasim Al-Junayd, tokoh dan pemimpin kaum sufi, berkata, “Semua jalan tertutup bagi makhluk-makhluk Allah, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak-langkah Rasulullah Saw.” Katanya juga, “Seseorang yang tidak hafal Al-Qur’an dan tidak tahu hadits, tidak bisa diikuti, sebab segenap pengetahuan kita termaktub dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi.” Selanjutnya dia mengatakan, “Pengetahuan kita berdasarkan hadits-hadits Rasulullah Saw. “ Sahl Ibn ‘Abd Allah berkata, “Prinsip-prinsip kita didasarkan pada enam hal: Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya, makan-makanan yang halal, menahan diri dari menyakiti orang lain dan menghindari dosa-dosa, tobat dan mengupayakan keadilan.

Abu ‘Utsman Al-Hirri berkata, “Barangsiapa menjadikan sunnah Nabi penguasa atas dirinya dalam kata-kata dan perbuatan, maka dia telah berbicara dengan hikmah. Barang siapa membiarkan hawa nafsu menguasai dirinya, maka dia berbicara sebagai ahli bid’ah.” Allah Swt. berfirman, “Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu beroleh petunjuk. . .,” (QS 24 : 54). Ibn ‘Atha’ berkata, “Manakala seseorang mengikuti Sunnah Nabi, Allah menerangi qalbunya dengan cahaya makrifat.”1

Tidak ada kedudukan yang lebih mulia daripada mengikuti Sang Tercinta (Allah Swt.), Nabi Muhammad Saw. dalam berbagai perintah, tindakan dan kepribadian. Abu Hamzah Al-Baghdadi mengatakan, “Seseorang yang mengetahui Jalan Allah, tidak mendapat kesulitan mengikutinya. Satu-satunya pemandu menuju Jalan Allah adalah mengikuti Rasulullah dalam berbagai tindakan, keadaan spiritual dan kata-katanya.2

Abu Bakr Al-Thamastani berkata, “Barang siapa menjadikan Kitab Allah dan Sunnah Nabi sebagai sahabat-sahabatnya, dan meninggalkan jiwa rendahnya serta dunia makhluk, dengan melakukan hijrah menuju Allah dalam qalbunya, maka dia adalah orang yang lurus dan adil.3 Abu Al-Qasim Al-Nasharabadzi mengatakan, “Prinsip-prinsip dasar tasawuf adalah mengikuti Kitab Allah dan Sunnah Nabi, meninggalkan bid’ah, menghargai tinggi-tinggi kritik dan kecaman guru-guru spiritual melihat berbagai muslihat dunia ini, sabar dalam melaksanakan kebaktian-kebaktian spiritual dan meninggalkan pencarian kemewahan dan berbagai penafsiran sia-sia.4

Abu Yazid Al-Busthami berkata kepada salah seorang sahabatnya, “Mari kita pergi melihat orang ini yang telah mengukir reputasi kewalian.” Orang yang di sebut-sebutnya ini terkenal karena kezuhudannya. Dia melanjutkan kisahnya: “Lalu kami pun pergi. Ketika orang itu keluar dari rumahnya, dia masuk masjid dan meludah kearah mihrab. Abu Yazid memalingkan muka tanpa mengucapkan salam pada orang itu, dan berkata, ‘Ini bukan gambaran perilaku Nabi Saw. bagaimana bisa orang ini menjadi contoh dalam apa yang dia mohonkan?’”5 Abu Yazid juga mangatakan, “Aku bermaksud memohon kepada Tuhanku Allah Swt., agar menghilangkan keinginanku pada makanan dan pada wanita. Tapi kemudian aku berkata pada diriku sendiri, ‘Bagaimana mungkin memohon hal ini kepada Allah, sementara Rasulullah Saw tidak melakukan hal demikian?’ Karena itu, aku tidak memohonnya. Kemudian aku tidak lagi peduli apakah aku melihat Wanita atau tembok!”

Ja’far Ibn Nushayr bertanya kepada Bakran Al-Dinawari, hamba-sahaya Al-Syibli, “Bagaimana pendapatmu tentang Al-Syibli?” Bakran berkata, “Dia (Asy-Syibli-ed.) pernah bercerita kepadaku, ‘Aku pernah memperoleh satu dirham secara tak jujur, lalu aku menyedekahkannya atas nama pemiliknya; tapi hatiku tak pernah mengalami kebingungan melebihi saat itu.’ Lalu, dia memerintahkanku untuk mengambil wudlu’ baginya. Aku melakukannya, tapi aku lupa menyisir jenggotnya. Dia tak bisa berbicara, lalu memegang tanganku dan menelusurkan tanganku itu ke jenggotnya. Kemudian dia meninggal.” Ja’far menangis dan berkata, “Apa katamu tentang seseorang yang dalam hidupnya tak pernah diingatkan akan perilaku yang ditetapkan oleh Hukum Wahyu?”6

Masih banyak lagi kisah lain seperti itu tentang kaum sufi. Aku cukup menyebutkan beberapa di antaranya. Semoga dengan kisah-kisah itu, Allah menjadikan kita bisa mengambil manfaat dan berkahnya, serta mengumpulkan kita dalam barisan mereka. Seseorang yang menempuh jalan mereka, dan lebih menyukai jalan mereka ketimbang jalan para faqih, akan menyusul dan berjalan selaras dengan mereka dalam ajaran dan pemikiran. Wallahu a’lam.

Kemudian, inilah yang aku katakan tentang taklid buta dan bid’ah. Belum kutemukan seorang ulama yang menyebutkan batasannya, tetapi aku telah membuat kesimpulan-kesimpulan dari makna yang dimaksud dan generalisasi-generalisasi tersiratnya. Barangkali, apa yang kukatakan ini bisa diterima akal, tapi hanya Allah Swt. sajalah yang menganugerahkan keberhasilan, melalui kebaikan dan kemurahan-Nya.

Aku telah memutuskan untuk mengakhiri surat ini dengan kutipan dari seorang pemimpin agama terkemuka, Al-Hasan Ibn Al-Hasan Al-Bashri, semoga Allah meridhainya. Dia mengajak kita untuk memperhatikan cara lama yang terlupakan. Yaitu cara memperoleh keberhasilan, yang mesti dipelajari oleh orang yang memiliki niat luhur. Kupikir dengan cara begini aku bisa meringkaskan apa yang telah aku bicarakan, dan mengakhiri tujuanku.

Mengomentari firman Allah Swt., “Sungguh dalam diri Rasulullah ada teladan mulia bagimu,“(QS 33 : 21). Hasan, semoga Allah meridhainya, berkata:

Allah memilih Muhammad Saw. untuk menerima pengetahuan, dan menurunkan Kitab-Nya kepadanya, serta mengutus sebagai Rasul bagi kaumnya. Lalu memberikan tempat kepada Nabi di dunia ini agar orang di dunia ini melihatnya. Dia juga memberinya kekuasaan di dunia. Lalu Dia berfirman, Sungguh dalam diri Rasulullah ada teladan mulia bagimu.Tapi, demi Allah, orang-orang dalam kabilahnya melecehkan teladan  itu. Maka Allah pun menjauhkan mereka dari-Nya. Keselamatan, keselamatan! Wahyu, wahyu! Dengan itulah engkau bakal bangkit! Didalamnya engkau akan bahagia! Ikatan dunia ini diputuskan darimu, dan pintu-pintunya pun tertutup bagimu. Seolah-olah engkau adalah iring-iringan penunggang yang sedang  berhenti – seruan salah seorang darimu itu  sendiri adalah jawabannya. Kondisi dunia ini bergantung kepada ikrar Rasulullah Saw. tapi engkau menerjunkan diri ke dalam dosa dunia ini. Karena itu, demi Allah, segala yang kita ketahui tentang apa yang tersisa, adalah perhitungan akhir.

Ketika Allah Swt. mengutus Nabi-Nya, Dia mengatakan, “Inilah seorang Nabi, inilah kesayangan-Ku. Ikutilah teladan dan jalannya.” Di hadapan Nabi, tak ada pintu terkunci; dihadapan dia, tak ada seorang penjaga pintu pun yang bangkit berdiri. Nabi tidak makan pagi dengan mangkok, pun tidak pula tinggal diam. Tapi dia senantiasa pergi keluar. Siapa saja yang ingin menemui Rasulullah Saw., pasti menemuinya. Dia duduk di tanah, dan meletakkan makanannya di tanah, serta mengenakkan pakaian kasar. Dia menunggang keledai, dan menjilat tangannya. Nabi pun bersabda, Barangsiapa memandang hina Sunnahku, maka dia bukan golonganku.

Banyak orang yang menghindari Sunnahnya dan memisahkan diri darinya. Kaum kafir! Kaum pendosa! Makanan mereka adalah riba dan dendam. Tuhanku telah menyatakan mereka sebagai orang-orang bodoh, dan menghinakan mereka. Mereka menyatakan  bahwa tidak ada sesuatu yang salah berkenaan dengan cara mereka makan, minum, dan menghias diri. Mereka memaknai firman Allah Swt. menurut diri mereka sendiri. “Katakanlah: siapa yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik yang disediakan oleh-Nya? (QS 7 : 32). Akan tetapi, hal-hal seperti ini diperuntukkan bagi sahabat-sahabat setan, dan setan menjadikan hal-hal itu sebagai tempat bermain perutnya dan sistim pencernaannya.

Para sahabat Rasulullah Saw. bertindak sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, Muhammad Saw. Mereka mengamalkan apa yang mereka dakwahkan, dan mendakwahkan apa yang mereka amalkan. Ketika malam tiba, mereka berdiri dan menutupi wajah mereka. Air mata mengalir di pipi. Mereka menginginkan adanya kebebasan bagi budak-budak mereka. Manakala sebagian kebaikan dunia ditawarkan kepada mereka atau disediakan buat mereka, mereka mengambilnya sebanyak yang mereka perlukan dan menyisakan kelebihannya untuk kehidupan mendatang. Mereka bersyukur kepada Tuhan atas hal itu, dan menjual jiwa mereka demi kebaikan. Manakala hal-hal yang baik itu diambil dari mereka, mereka bergembira dan berkata, “Ini adalah sebagian dari keridhaan penuh perhatian Allah Swt.” Jika mereka mengerjakan kebaikan, mereka merasa bahagia dan memohon kepada Allah agar menerimanya. Manakala mereka berbuat maksiat, mereka merasa sangat menyesal dan memohon ampunan Allah. Mereka selalu bertindak dengan cara demikian. Demi Allah, hanya melalui ampunan saja mereka terbebas dari dosa atau dianugerahi Surga.

Orang yang berhasrat kepada agama dan bergegas menuju kepada-Nya. Orang mukmin mengerjakan amal-amal kebaikan, dan merasa kuatir kalau-kalau tidak diterima. Akan tetapi, setelah mereka, datanglah orang-orang yang membuat kemungkaran, merasa aman dan tidak khawatir sedikit pun bahwa mereka bisa terjebak dalam perbuatan mereka. Di antara orang-orang dalam Jamaah ini, ada orang-orang yang mungkin hidup dalam lima puluh tahun tanpa memiliki sehelai pun pakaian untuk dilipat. Tanpa sesuatu pun untuk diletakkan antara diri mereka dan tanah, dan yang tidak memerintahkan keluarganya yang menyiapkan makanan apa pun yang menarik bagi mereka. Manakala orang seperti ini memasuki rumahnya, dia masuk dalam keadaan yang kurus kering dan lemah. Manakala ajakan kepada keimanan ini datang pada mereka, mereka menerimanya dengan tulus; dan dalam kalbu mereka timbul keyakinan tentang hal itu. Kalbu, badan, serta mata mereka tunduk kepada ajaran itu, seolah-olah mereka melihat apa yang dijanjikan kepada mereka. Demi Allah, mereka sama sekali bukan kaum cenderung pada perselisihan, atau kesombongan, atau kepura-puraan.

Perintah datang pada orang-orang ini dari Allah Swt., dan mereka pun meyakininya, sehingga Allah melukiskan mereka dengan pujian tertinggi dalam Kitab-Nya ketika Dia berfirman, Hamba-hamba Tuhan yang Maha Pengasih adalah orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati– kata rendah hati dalam bahasa Arab bermakna kelemah-lembutan, ketenangan, dan ketulusan – dan selanjutnya Allah berfirman, Dan manakala orang-orang jahil menyapa mereka, mereka menjawab, ‘salam’,(QS 25 : 63). Inilah orang-orang mulia, bertakwa kepada Allah dan sabar. Jika mereka dizalimi, mereka tidak membalas. Jika mereka diperlakukan dengan jahil, mereka membalas dengan kemuliaan, dan mereka sabar hingga Allah memudahkan jalan mereka. Begitulah cara hamba-hamba Allah berurusan dengan orang lain.

Malam hari mereka mengikuti siang hari mereka, dan malam hari mereka lebih baik sebab mereka menghabiskan malam hari dengan bersujud di hadapan Tuhan mereka, dan berdiri tegak di hadirat-Nya, dengan menutupi wajah-wajah mereka. Air mata mereka mengalir ke pipi disebabkan perpisahan dari Tuhan mereka. Itulah sebabnya, mereka bangun malam dihadapan-Nya, dan itulah sebabnya siang hari mereka terasa kurang penting. Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, jauhkanlah kami dari azab jahanam. Sungguh, azabnya adalah kebinasaan kekal’, (QS 25 : 65). Segala sesuatu bakal musnah dan juga binasa; tapi selama langit dan bumi masih ada, penderitaan pun tak bisa dihindarkan. Orang-orang ini bersaksi kepada Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Orang-orang beriman bekerja keras, tapi tidak merasa Lelah.

Dan engkau – semoga Allah menganugerahimu keimanan ini; sebab Allah tidak memiliki anugerah lebih baik bagi hamba-Nya di dunia ini maupun di akherat nanti (selain iman ini – peny.). Orang-orang beriman bersabar, patuh, bertakwa kepada Allah, dan bersikap hormat. Demi Allah, seseorang hamba tidak bisa memahami Tuhannya sedemikian rupa sehingga dia menjadi sombong atau angkuh. Seorang hamba mencari anugerah ini dengan berusaha keras mendapatkannya, sambil senantiasa bersaksi kepada Allah baik secara sembunyi maupun terang-terangan, hingga maut menjemputnya. Lalu, Tuhannya mendengarkan pujian umat-Nya: “Mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah,’ dan kemudian mereka menempuh jalan lurus,” (QS 41 : 30). Demi Allah, mereka benar-benar mengetahui pengetahuan mendalam (makrifat) tentang-Nya dan mereka pun bergegas mematuhinya: “Malaikat turun kepada mereka, dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan bersedih hati: dengarkanlah kabar gembira tentang surga yang dijanjikan kepadamu’,” (QS 41 : 30). Mereka tinggalkan dunia pada kaumnya, tapi yang demikian itu tidak membuat mereka sedih. Pun tidak pula mereka berlomba-lomba dengan kaumnya mencari kejayaan duniawi ini. Karena mulia, alim, dan bijak, maka mereka adalah lentera-lentera petunjuk yang membawa orang keluar dari segenap perselisihan duniawi yang gelap. Penduduk bumi tidak mengenal mereka, tapi penduduk langit mengetahui mereka.

Di sini, aku tidak akan melanjutkan lagi kutipan dari apa yang dikatakan Hasan. Kata-katanya merupakan mutiara sangat indah dan pemikiran yang agung, seperti kata-kata alim lainnya. Bahkan lidah-lidah paling fasih pun tak mampu mengungkapkan hal-hal seperti itu. Seseorang yang merenungkan soal-soal ini, tak bisa lain kecuali amat terpesona dan terkagum-kagum. Dengan itu, kita mengakhiri masalah-masalah tersebut dan sampai pada tujuan kita. Betapa besar jasa kedudukan spiritual Hasan dalam membantu agama dan dalam meluluhlantakkan  kemurtadan. Juga membimbing orang yang ingkar menuju Jalan lurus dan dalam mengajari orang-orang jahil! Semoga Allah memberinya balasan dan ganjaran besar atas hal itu. Semoga pula Allah memberi kita keberhasilan dalam mengikuti jejak langkah Hasan serta tercerahkan oleh cahaya-cahayanya.[*]

(bersambung)

Catatan:

  1. Menurut indeks RS2, ini adalah Ibn ‘Atha al-Adami (wafat 922M), sahabat Junayd sampai mereka berpisah mengenai soal apakah Allah akan menerima orang-orang kaya, atau hanya orang-orang miskin. Junayd memandang orang-orang miskin lebih unggul (LJ 41-42. Ibn ‘Atha adalah sahabat paling setia al-Hallaj – MDI 77).
  2. Abu Hamzah Al-Baghdadi, juga dikenal sebagai “Sang Sufi”, adalah seorang sufi generasi Junayd (wafat 883 M atau 902 M) (MDI 473).
  3. Abu Bakar al-Thamasthani (wafat 951 M) adalah seorang “pemikir Muslim terkemuka dan seorang khatib Islam” yang melewatkan tahun-tahun terakhir kehidupannya di Nisyafur (G. Allana, a Rosary of Islamic Readings [Karachi, 1973], hlm.153).
  4. Abu al-Qasim Al-Nashrabathzi (wafat 977M) adalah murid Sulami (wafat 1021), dan seorang yang sangat berpengaruh pada Abu Said Ibn Abi Al-Khayr (wafat 1064M), terkenal karena “Hasrat menggelora”-nya (MDI 88, 298).
  5. Abu Yazid (Bayazid) Al-Busthami (wafat 977 M) adalah murid Sulami (wafat 1021), dan seorang sufi “mabuk”, dan terkenal karena ucapan-ucapannya yang sulit dimengerti (syath-hiyyat) (MDI 47 – 51 ; MSM 100 – 123). Anekdot ini terdapat dalam KL 103, dan berkaitan dengan beberapa hadits yang melarang praktik meludah kearah kiblat (dinding masjid yang menunjukkan arah Makkah, yang didinding itu selalu ada ceruk), misalnya MM 150.
  6. Ja’far Ibn Nushayr (wafat 959M), juga dikenal sebagai al-Khuldi, adalah murid Junayd, dan seringkali disebut-sebut dalam KL. Satu dirham adalah uang logam, yang Namanya berasal dari Bahasa Yunani, Drachma. Kedua anekdot itu terdapat dalam KL 210, tetapi perbedaan antara teks Ibn ‘Abbad dan susunan yang diterima oleh Ibn ‘Abbad. Anekdot tentang hamba sahaya bakron yang menyisir jenggot Sybli ketika yang terakhir ini tengah menjelang kematiannya, juga terdapat dalam KL 104. Menyisir jenggot adalah bagian dari wudhu sebelum mengerjakan sholat, yang dianjurkan oleh Nabi.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *