Surat-Surat Sang Sufi | Surat Ketiga (2/7)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Selanjutnya, engkau mesti mengetahui bahwa setiap pertanyaan memerlukan jawaban yang benar. Karenanya, tidak boleh taklid buta. Harus dicari bukti yang menjadi dasar dari pertanyaan itu, entah berhubungan dengan masalah-masalah wajib seperti rukun iman, atau masalah-masalah tak wajib yang tidak esensial bagi keimanan. Taklid buta dalam soal-soal ini tercela, entah pengkajiannya berhasil atau tidak. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku dalam kasus-kasus di mana orang banyak menerima begitu saja otoritas mereka yang ahli dalam berbagai cabang ilmu hukum. Dalam hal itu, jawaban yang benar hanya dapat diberikan seorang fakih ahli. Karenanya, masyarakat dapat memperoleh jawaban hanya dengan menerima otoritas orang lain. Pun hal ini tidak berlaku dalam hubungannya dengan tafsir Al-Qur’an, studi hadits, sejarah, tata bahasa, linguistik, kedokteran, dan sebagainya. Sebab, sekalipun seseorang mencari pengetahuan tentang sesuatu, dia harus masih menerima otoritas orang yang ahli dalam bidang-bidang tersebut. Namun demikian, menerima otoritas demikian begitu saja, pada hakikatnya tercela dan tidak bisa diandalkan, serta menimbulkan akibat-akibat merusak. Tidakkah engkau melihat bagaimana orang-orang bodoh menjadi keras kepala dalam masalah-masalah agama lantaran taklid buta dalam soal-soal agamanya, sementara orang yang akalnya sehat tidak mengalami nasib demikian? Wallahu a’lam.

Akan halnya bid’ah, banyak ayat Al-Qur’an dan hadis memberikan kesaksian atas dosa bid’ah. Misalnya, Allah Swt. berfirman, “Bukanlah tanggung jawabmu mengurusi orang-orang yang memecah belah agamanya dan menjadi bergolong-golongan,” (QS 6 : 160). Para mufasir ayat itu mencatat bahwa inilah orang-orang yang cenderung memperturutkan hawa nafsu dan berbuat bid’ah. Allah Swt. berfirman, Mereka tidak berpecah belah melainkan sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka, (QS 42 : 14). Dengan kata lain, orang-orang itu mengetahui bahwa mereka berbuat keliru dengan menimbulkan perpecahan dan perselisihan serta membangkitkan permusuhan. Allah Swt. menyebut mereka sebagai, Setan-setan dari jenis manusia dan jin, yang menggunakan muslihat guna membuat argumen-argumen mereka meyakinkan, (QS 6 : 12). Muslihat di sini bermakna retorika yang anggun dan berhiaskan keindahan. Masih banyak lagi ayat lain seperti ini. Manakala Al-Qur’an berbicara tentang dosa memperturutkan hawa nafsu dan dosa bersandar pada argumen-argumen kosong, serta melarang kedua hal ini, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah.

Nabi Muhammad Saw. bersabda, Barangsiapa menambahkan pada agama kami sesuatu yang bukan berasal darinya, maka dia itu durhaka.Beliau juga bersabda, “ Belumlah dikatakan beriman salah seorang di antara kamu, kecuali berpegang teguh pada apa yang aku bawa.Dan lagi, Mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah) adalah jahat, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Nabi Muhammad Saw. juga bersabda, Bani Israel pecah menjadi tujuh puluh dua sekte, dan umatku akan pecah menjadi tujuh puluh tiga. Semuanya masuk neraka kecuali satu. Orang-orang pun bertanya, “Apakah yang satu itu, ya Rasulullah?” beliau menjawab, “Yang mengikutiku dan yang mengikuti sahabat-sahabatku.” Versi lain berbunyi, “Tujuh puluh dua masuk neraka dan satu masuk surga. Itulah Jamaah. Sungguh banyak orang-orang bakal memisahkan diri dari Jamaahmu setelah ditipu oleh tingkah laku ini. Mereka tidak akan selamat, kecuali mereka akan bergabung dengan Jamaahku.”1

Seseorang berkata pada Ibnu ‘Abbas, “Berilah aku nasehat. “Lalu Ibn ‘Abbas menjawab, “Jadilah seorang pemeluk (Islam) yang teguh, dan jangan menjadi ahli bid’ah.”2 Ibn Mas’ud berkata, “Jika engkau seorang penganut teguh, dan tidak mengada-adakan bid’ah, maka cukuplah sudah engkau berbuat begitu.

Dia juga mengatakan, “Seseorang yang akan mengikuti sunnah Nabi, mesti bertindak seperti sahabat-sahabat Muhammad Saw., sebab merekalah umat terbaik dan paling tulus hatinya, paling alim, dan paling rendah hatinya. Allah memilih mereka sebagai sahabat-sahabat Nabi-Nya dan untuk menyebarkan agama-Nya. Karena itu, tirulah perilaku dan sifat-sifat khusus mereka, sebab mereka beroleh petunjuk yang lurus.”3

(bersambung)

Catatan:

  1. Hadits-hadits seperti ini banyak dijumpai dalam koleksi-koleksi utama, dalam bagian tentang “iman” ; misalnya MM 5-49; SM 1-146; SB 1 : 15-49.
  2. ‘Abd Allah Ibn Al-‘Abbas (kira-kira 619 – 687 M), seorang ahli hadits terpenting, sangat berpengaruh dalam meletakkan fondasi-fondasi ilmu hukum (fiqih) di Makkah (SM 12).
  3. Abu ‘Abd Rahman Ibn Mas’ud (wafat kira-kira 653 M), seorang sahabat Nabi, adalah otoritas utama dalam tradisi hukum di Kufah. (Bandingkan J.Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence [Oxford, 1950], hlm. 231 ff.).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *