SURAT KETIGA
Kepada Muhammad Ibn Adibah (atau Ajibah-ed.). Surat yang menjelaskan tentang taklid buta, bid’ah, serta ketidakjujuran dan kedengkian yang dikandung keduanya.1
Salam. Telah kuterima suratmu. Di dalamnya engkau memberitahukan kepadaku bahwa engkau telah menerima jawabanku sebelumnya. Engkau katakan bahwa surat itu menggerakkanmu dan memenuhi kebutuhanmu untuk menjelaskan pemikiranmu serta memantapkan keyakinanmu. Engkau juga meminta, dalam surat itu, agar aku menjelaskan lebih jauh lagi soal “taklid buta” dan “bid’ah” yang aku katakan dalam jawabanku sebelumnya.
Pertama-tama, kedua konsep ini dicela dan dikecam oleh Hukum Wahyu, dan merupakan kelemahan serius dalam diri orang yang menganut salah satunya. Taklid buta sesungguhnya adalah sejenis bid’ah, yang nanti akan aku bahas, dan sama dengan bertindak menyesuaikan diri dengan pandangan orang lain tanpa adanya bukti yang menguatkan. Misalnya, kita menganggap seseorang memiliki otoritas, semata-mata berdasarkan kedudukan tinggi orang itu, atau menganggap segenap masyarakat memiliki otoritas, berdasarkan banyaknya atau usia keberadaannya yang sudah tua. Allah Swt. mencela “taklid buta” ini dalam banyak ayat Al-Quran, sebab sikap itu terlihat dalam berbagai golongan orang kafir. “Dan mereka berkata, “Kalau saja Al–Quran ini diturunkan kepada seorang besar dari kedua kota ini!,” (QS 43 : 31). Di situ mereka menyebut-nyebut orang-orang besar tertentu dari kedua kota, yaitu Al-Walid Ibn Al-Mughirah dari Makkah dan Mas’ud Ibn ‘Umar dari Al-Thaif.2
Ketika Nabi Muhammad Saw. menyeru. Menyeru orang-orang kafir Quraysy kepada agama sejati dan hakiki Islam, mereka menuntut bukti-bukti darinya. Mereka meminta beliau agar menghidupkan kembali bagi mereka salah seorang terkemuka mereka, Qushayy Ibn Kilab. Mereka bertanya kepada Nabi Saw. apa yang beliau bawa, tetapi mereka mengikuti pandangan Qushayy secara membuta dan kembali kepadanya. Dan ketika Abu Thalib sedang menjelang maut, sejumlah orang Quraysy mendampinginya, termasuk Abu Jahl. Nabi Saw. datang mengunjungi Abu Thalib, dan mengajaknya untuk mengikuti keesaan Allah. Lalu orang-orang Quraysy berkata: “Wahai Abu Thalib, akankah engkau meninggalkan jamaah ‘Abd Al-Muththalib? Kemudian Nabi Saw. mendesak lagi; dan lagi-lagi orang-orang Quraysy berusaaha menghalangi Abu Thalib. Akhirnya dia tetap bersama jamaah ‘Abu Muthathalib. Lalu diturunkan ayat ini, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi dan cintai, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya,” (QS 43 : 22). Dengan kata lain, mereka percaya sekali kepada nenek moyang mereka lantaran mereka memuja nenek moyang.
Tentang kaum Nabi Shaleh a.s.,3 Allah Swt. berfirman, “Akankah kita mengikuti seorang di antara kita?” (QS 54:24). Karena itu, mereka pun menolak mengikuti orang itu. Masalahnya adalah bahwa jika diutus sejumlah orang kepada mereka, mereka dengan senang hati mau mengikutinya. Inilah jenis taklid buta berdasarkan kekuatan jumlah.
Tentang Fir’aun dan kaum Nabi Nuh a.s.,4 Allah Swt. berfirman: “Kami belum pernah mengetahui hal semacam itu pada nenek moyang kami dahulu,” (QS 28 : 36). Dengan kata lain, jika Nabi Nuh berbicara kepada mereka tentang nenek moyang dan agama nenek moyang mereka dalam misi kenabiannya, maka orang-orang pun akan mau menerima otoritas pendahulu mereka dan mengikuti jejak-jejak mereka. Inilah taklid buta berdasarkan kekunoan.
Allah tidak memaafkan orang-orang hina dari kalangan kaum kafir, entah lantaran taklid buta kepada pemimpin mereka atau lantaran kepemimpinan sesat para pemimpin mereka. Sebaliknya, Allah memandang mereka semua berada dalam kesesatan, dan memberi mereka peringatan dan hukuman yang setimpal. Disebabkan oleh kebodohan dan kejahilannya yang tak kepalang tanggung, Allah menyamakan orang-orang seperti ini dengan keledai dan binatang ternak (QS 7 : 179, 25 : 44; 47 : 12) karena mereka tak memiliki pengetahuan dan pemahaman.
Engkau harus mengerti, bahwa sikap taklid buta yang tercela dan tak kritis ini telah memercikkan apinya bahkan di zaman kita ini. Akibat buruknya sudah menyebar luas. Akan engkau ketahui, misalnya, bagaimana orang yang memiliki hikmah (tapi sebenarnya ia(-ed). sekedar mengklaim) memiliki pemahaman, menyeringai dan mengerutkan dahi mana kala dia mendengar sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan mistik sejati atau sesuatu yang diketahui oleh orang banyak yang memberikan kesaksian atas keimanan mereka. Ini disebabkan kejahilannya yang kelewat batas. Orang seperti ini berkata, “Jika hal ini benar, maka orang pasti akan menggunakannya sejak dulu, atau mewariskannya dari generasi ke generasi.”
Engkau juga akan melihat orang yang bercita-cita menjadi seorang sufi,5 tapi tak mengerti sedikit pun tentang masalah ketentuan hukum atau tentang hal-hal yang halal dan yang haram, dan terasing dari semuanya, serta terkelabui kebodohannya sendiri. Karena kejahilan orang seperti ini sangat keterlaluan, dia mengatakan: “Hal-hal lahiriah dan petunjuk-petunjuk ini hanya orang-orang awam. Guruku si anu tidak bisa membaca atau menulis. Dia tidak menganut mazhab mana pun.”
Engkau juga akan menemui orang-orang yang berpikiran bebas dan malas, yang terus-menerus berkubang dalam dosa-dosa besar. Mereka melakukan berbagai kekeliruan orang-orang dahulu dan kesalahan-kesalahan para ulama, seraya beranggapan bahwa hal itu merupakan praktik agama yang benar. Dengan begitu, kejahilan pun merajalela di tengah-tengah masyarakat, sampai-sampai masyarakat tidak lagi melihat yang berada di atas pemimpin-pemimpin agama mereka, yang mereka ikuti seperti binatang-binatang pengerat. Mereka tidak berpikir barang sedikit pun, tidak mengorbankan diri mereka demi praktik dan dukungan legal pemimpin mereka. Orang seperti ini banyak sekali, tapi aku tak perlu menambah jumlah contohnya. Maksudku sederhana saja: agar engkau menyadari bahwa melakukan hubungan sosial dengan orang-orang seperti ini akan menumpulkan qalbumu, dan mencegahmu mencapai tujuan yang engkau cari. Karena itu, berhati-hatilah dalam soal ini.
(bersambung)