Surat-Surat Sang Sufi | Surat Keenam (9/10)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Ada sebuah kisah tentang bagaimana seorang sultan menangkap sahabat seorang wali. Wali itu menulis surat kepada sahabatnya dan berkata,”Bersyukurlah kepada Allah.” Sang sahabat heran, lalu membalas surat itu dan berkata, “Aku bersyukur kepada Allah.” Kemudian, seorang penganut agama Magi dibawa masuk. Dia sakit perut dan terbelenggu. Salah satu kaki sang penganut agama Magi itu dibelenggu dengan salah satu kaki sahabatnya itu. Nah, sang penganut agama Magi ini bangun beberapa kali semalaman, dan sahabat itu pun mesti bangun juga. Ini terus terjadi sampai sahabat itu kelelahan. Lalu sahabat itu menulis surat pada sang wali, yang kemudian menjawab, “Bersyukurlah kepada Allah.” Sahabat itu membalas surat itu lagi dan bertanya,”Berapa lama lagi engkau menyuruhku begini? Kesengsaraan apa lagi yang lebih besar ketimbang ini?” Sang wali menjawab, “apa yang akan engkau lakukan bila sabuk dipinggangnya diikatkan ke pinggangmu, seperti belenggu dikakinya itu dibelenggukan ke kakimu?”

Seseorang berkata kepada Sahl Ibn ‘Abdullah, “Seorang pencuri membongkar lalu masuk kerumahku, dan mengambil harta milikku!” Sahl menjawab, “Bersyukurlah kepada Allah. Sebab bila pencuri itu masuk ke qalbumu maksudku setan dan mengambil pengakuanmu akan Keesaan Allah (syahadat), apa yang engkau lakukan?”

Seorang guru spiritual sedang berjalan di sebuah jalan. Tiba-tiba seember abu ditumpahkan di atas kepalanya. Dia lalu bersujud syukur kepada Allah Swt. Seseorang berkomentar tentang hal itu kepadanya. Lalu dia berkata, “Aku mengharapkan api neraka dituangkan atas diriku. Beruntung benar bahwa yang ditumpahkan itu hanyalah Abu!”

Perilaku lahiriah dalam kefakiran dan penderitaan mestilah berupa kesabaran sempurna, memohon kepada Allah agar menghilangkan penderitaan itu, mencari pertolongan dari apa yang secara lahiriah dituntut oleh hukum pengobatan medis, serta menjauhkan diri dari sumber penderitaan dan bahaya. Jika pengetahuan mendalam (makrifat) seseorang begitu tinggi, sehingga dia bisa menghilangkannya tanpa bantuan obat ini dalam keadaan tertentu, maka itupun bisa diterima. Dikatakan bahwa lidah pemula selamanya berteriak meminta pertolongan sementara lidah orang yang mulia spiritualnya hanya diam saja.

Seseorang bertanya kepada Al-Wasithi apakah dia berseru keras dalam berdoa. Dia menjawab , “Aku takut menyeru Allah, kalau-kalau nanti dikatakan kepadaku,’Jika engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang telah Aku sediakan bagimu, itu karena engkau meragukan-Ku. Jika engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang Aku tidak mau memberikannya, engkau akan makin kecewa dengan-Ku. Tetapi, jika engkau benar-benar puas, Aku akan memberimu apa yang telah aku simpan untukmu dari keabadian.”

Sebuah kisah menuturkan bagaimana ‘Abdullah Ibn Munazil berkata, “Aku tidak meminta sesuatu kepada Allah selama lima puluh tahun, dan aku tidak ingin orang lain berdoa untukku.” Dia menyebutkan doa yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya, bukan doa sebenarnya. Sebab doa terbaik yang dimaksudkan untuk memberikan bukti tentang penghambaan seseorang, kepada Allah, berikut doa untuk orang lain yang berkeluh-kesah, adalah kewajiban-kewajiban agama yang ditetapkan atas ulama dan juga orang awam.

Jenis doa yang terakhir ini sama sekali tidak bertentangan dengan kedudukan mulia orang-orang yang tinggi spiritualnya. Sesungguhnyalah, bagi mereka doa itu adalah penyebab pertumbuhan spiritual mereka, kecuali bagi orang yang benar-benar tenggelam dalam keadaan spiritual tertentu yang sama sekali tak bisa diutarakan.

Sebaliknya, jika orang merasa begitu yakin, sehingga dia meninggalkan kehidupan biasa dan perawatan medis, yang sangat baik; maka itulah yang dilakukan oleh para pemimpin spiritual. Seseorang berkata, “Sekelompok orang mengunjungi Al-Junayd dan berkata, ‘Kami mencari rezki.’

Dia menjawab, ‘Jika kalian tahu di mana rezeki itu berada, carilah.’ Lalu mereka berkata, ‘Kami meminta itu kepada Allah.’ Junayd berkata, ‘Jika kalian yakin bahwa Allah telah melupakan kalian, maka ingatlah Dia.’ Maka mereka berkata, ‘Kalau begitu, kami akan pulang, dan bertawakal kepada Allah.’ Junayd menjawab, ‘Godaan adalah keraguan.’ ‘Lantas, apa itu tipu daya?’ mereka bertanya. Dia menjawab, ‘Meninggalkan tipu daya itu sendiri.’”

Abu Hamzah berkata, “Aku merasa malu dihadapan Allah, karena aku pergi kepadang pasir dalam keadaan puas. Aku menyatakan bahwa aku bertawakal kepada-Nya, tapi sebenarnya dengan membawa bekal malam itu aku pergi keluar dalam keadaan puas!”

Seseorang berkata kepada Al-Habib Al-‘Ajami, “Engkau telah meninggalkan perdaganganmu.” Dia menjawab, “Tapi aku telah menemukan keamanan hakiki.”

Ketika Abu Bakr Al-Shiddiq sakit, seseorang bertanya kepadanya, “Maukah kami panggilkan tabib untukmu?” Dia menjawab, “Sang tabib telah memeriksaku  dan berkata bahwa aku sendiri yang menyebabkan  apa yang aku inginkan.”

Seseorang berkata kepada Abu Al-Darda, “Tidak bolehkah kami panggilkan tabib untukmu?” Dia menjawab, “Sang tabib telah menjadikanku sakit . Seseorang berkata kepada Sahl, “Kapan keyakinan seseorang itu bisa kuat?” Dia menjawab, “Ketika dia ditimpa penyakit fisik dan ketika berkurangnya harta kekayaan, tapi tidak mengalami kebingungan spiritual, dan terus memperhatikan Allah S.w.t. agar melindungi dirinya.”

Perilaku batiniah yang berkaitan dengan keingkaran dan kelupaan terbentuk berdasarkan pengetahuan bahwa kedua hal itu ada dalam keputusan dan ketentuan Allah, dan pengetahuan mendalam bahwa ada rahmat karunia dalam kehampaan diri sang hamba, dalam dosanya, dan dalam terkuasainya dia oleh bujukan-bujukan kelalaian dan kebingungan. Semuanya ini terjadi karena Allah ingin memberinya pengetahuan mendalam tentang sifat-sifat mulia-Nya dan pengalaman tentang sifat-sifat suci-Nya, termasuk keagungan-Nya, keadilan-Nya dalam menghilangkan berbagai rintangan, kepemilikan-Nya, karunia ampunan-Nya, dan penerima tobat hamba-Nya.

Ini sungguh menganggumkan, tapi tidak mengherankan; sebab seperti sudah dikatakan sebuah hadis, “Jika kamu tidak berbuat dosa, Allah tidak akan membimbingmu.” Hadits lain mengatakan, “Jika kamu tidak pernah berbuat dosa, aku takut kamu terjun ke dalam sesuatu yang lebih – keajaiban dari segala keajaiban!”

Ibrahim Ibn Adham menuturkan, “Pada suatu malam, disaat turun hujan lebat, aku melakukan thawwaf mengelilingi Ka’bah. Lintasan thawwaf kosong, dan aku pun senang. Ketika telah menyelesaikan kewajiban itu, aku berdoa, “Ya Allah, lindungilah aku dari tidak mematuhi-Mu?” Lalu terdengar suara berkata kepadaku, “Wahai Abu Ibrahim, engkau memohon kepada-Ku agar melindungimu, dan begitu pula halnya semua hamba-Ku. Tapi jika Aku melindungi mereka, lantas kepada siapa lagi Aku bersifat Pemurah dan Pemaaf?

Orang menemukan dalam keadaan ingkar dan lalai suatu pertumbuhan yang tidak ditemukan dalam keadaan patuh dan ingat. Itulah yang dimaksud ucapan anonym ini, “Ada banyak dosa yang membukakan bagi sang pendosa jalan ke surga.

Sang pendosa mempunyai pengalaman tentang kebaikan Allah, sekalipun dirinya tercela. Penyesalan atas kemungkinan hilangnya peruntungan abadi dan kebahagiaan langgengnya, mengalihkan perhatiannya dari dosa waktu itu. Salah seorang sufi mengatakan, “Orang yang memiliki pemahaman hakiki tentang Allah S.w.t. adalah orang yang merendamkan kesulitan masa kini dalam berbagai kebaikan yang mengalir kepadanya dari Allah, yang menenggelamkan dosa-dosa jiwa rendahnya dalam kemurahan Allah kepada dirinya.

Karena itu, ingatlah nikmat Allah, agar kamu beroleh kejayaan,”(QS 7 : 69).

Hanya orang yang qalbunya hidup dengan keimanan dan keyakinan saja yang bisa mengalami pengukuhan dan pertumbuhan melalui berbagai perilaku batiniah dan pengetahuan spiritual ini. Petunjuk tentang itu adalah bahwa perbuatan lahiriah dan perilaku fisik seseorang, yang sebentar lagi akan aku bicarakan , terbebas dari berbagai kelemahan. Kemajuan yang diraihnya tidak membuatnya hangat-hangat kuku dalam menjalankan kewajiban agamanya.

Sebaliknya, dia melipatgandakan kehati-hatiannya dalam berbuat dan sangat gembira dengan hasilnya. Karena itu, orang seperti ini beroleh kekuatan melalui keseksamaan, dan tumbuh karena mengingat kebaikan-kebaikan dan pengetahuan Ilahi ini. Akan tetapi, ada beberapa jenis orang yang bagi mereka memikirkan dan merenungkan masalah-masalah ini bisa sangat berbahaya, dan mereka tidak boleh melakukannya. Mereka mesti membatasi perhatian mereka hanya pada perilaku lahiriah mereka saja, termasuk hal-hal seperti memulai tobat, meretas cengkeraman kemaksiatan; penuh perhatian pada rasa takut, penyesalan, dan air mata; lari menuju kerinduan dan doa; waspada penuh hati-hati terhadap masalah-masalah krusial seperti ingat dan hadirnya relung kalbu.

Dalam semua keadaan spiritual ini, perilaku lahiriah sang pencari didasarkan pada memperhatikan setiap situasi seraya mengingat situasi tersebut, dan dia harus juga menggunakan doa-doa yang tepat. Dengan cara begini, seseorang senantiasa menghidupkan kehadiran dan perhatiannya, sehingga ini menjadikan kebiasaan perilakunya.

Begitu sang hamba memperhatikan syarat-syarat ini, dan sepenuhnya menguasai pengetahuan paling penting ini, maka dia akan siap menuju kedudukan syukur, dan berhak peroleh ingat yang makin kuat yang dijanjikan sebagai bagian kedudukan itu. Tak ada pertumbuhan lebih mulia  selain mencapai kemajuan dalam keadaan spiritual ini. Sang hamba terhindar dari nasib tak diinginkan, dan memperoleh kekayaan tak ternilai harganya dalam kehidupannya, dengan mencapai tujuannya lewat jalan pintas. Setiap fajar dan dalam setiap waktu sholat sendirian, dia berikan kepada Zat yang disembahnya apa yang menjadi hak-Nya. Hamba seperti ini beroleh bantuan dalam hak-hak istimewa khusus yang diperuntukkan baginya oleh Sang Pemberi segala karunia.

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *