Hati Senang

Surat-Surat Sang Sufi | Surat Keenam (8/10)

Surat-Surat Sang Sufi
Muhammad Ibn Abbad Penerjemah : M.S. Nasrullah Penyunting : Ilyas Hasan Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Al-Junayd mengatakan: “Kami tidak belajar tasawuf dari kabar angin, tapi melalui lapar meninggalkan dunia ini, dan melepaskan diri dari segala yang akrab bagi kami dan menyenangkan kami.” Katanya juga, “Sungguh orang yang bersatu erat dengan Allah bertindak karena Allah dan kembali kepada-Nya lewat tindakan itu. Kalaulah sekiranya aku hidup seribu tahun, amal kebaktianku tak bakal  berkurang seberat atom pun, kecuali bila Dia mencegahku dari mengerjakan amal itu.”

Seseorang melihat Junayd membawa tasbih dan berkata kepadanya, “Meski engkau terkemuka, masih-masih memainkan tasbih itu?” Dia menjawab, “Aku tak bakal menyimpang dari jalan yang telah menuntun diriku  menuju Tuhanku.” Dia biasa ke tokonya setiap hari, menurunkan tirai, dan sholat dua rakaat sebelum pulang ke rumah.

Ruwaym berkata, “Tasawuf adalah pengorbanan jiwa. Jika engkau bisa menjadi sufi meski harus demikian, maka lakukanlah; jika tidak maka jangahlah ikut-ikutan.” Dia juga mengatakan , “Sekali pun seluruh dunia tersedia menerima formalisme, dan kaum sufi memusatkan perhatian pada kebenaran-kebenaran abadi, maka tidaklah begitu berbahaya kalau engkau duduk diantara segala macam orang, ketimbang bergaul dengan kaum sufi. Kebanyakan orang menuntut jiwa mereka lewat lahiriah Hukum Wahyu, sementara kaum sufi menuntut jiwa mereka lewat kebenaran-kebenaran ibadah dan ketulusan. Karena itu, manakala seseorang bergaul dengan kaum sufi dan berdebat dengan mereka tentang sesuatu yang mereka itu memiliki pengetahuan lebih tinggi mengenai hal itu, maka Allah akan menghilangkan cahaya keimanan dari qalbu orang itu.

Yusuf Ibn Al-Husayn Al-Razi berkata, “Manakala aku melihat seorang pencari bergelimang dalam kemewahan, aku tidak tahu apa yang bakal terjadi atas dirinya.” Dia menulis kepada Al-Junayd, “Semoga Allah tidak membuatmu menikmati makan jiwa rendah, sebab sekali engkau menikmatinya, engkau tidak bakal lagi merasakan kebaikan.”

Ibn Khalif berkata, “Keinginan menimbulkan kesulitan, kegelisahan pun tetap ada: Yang lebih membahayakan sang pencari adalah menangguhkan hukuman atas jiwa rendah (nafsu-ed.) dengan berbagai dalih.” Al-Hushri berkata, “Orang mengatakan bahwa Al-Hushri tidak menganjurkan amalan-amalan Sunnah. Sungguh, aku mewajibkan diriku untuk melakukan sholat sendirian (sunnah), seolah-olah aku mempunyai kekuatan anak muda dan seolah-olah aku akan dihukum apabila tidak melakukan satu sujud pun!”

Jauhkan dirimu dari memfitnah dan bertengkar. Singkapkanlah hijab Hukum Wahyu. Adapun, orang-orang eksentrik, mereka itu telah berbuat keliru, dan menghindari mereka itu sangatlah dianjurkan. Abu Yazid Al-Busthami mengatakan, “Jika mengaku melihat seseorang yang melakukan berbagai keajaiban, sekalipun mampu terbang diudara, janganlah mudah terpesona. Telitilah apakah dia hidup sesuai dengan perintah dan larangan, menghormati hukum dan berprilaku sesuai dengan Hukum Wahyu.” Sementara Abu Al-Husayn Al-Nuri mengatakan, “Jika engkau melihat seseorang berdoa dihadapan Allah dalam keadaan yang menjauhkan dirinya dari Hukum Wahyu yang sudah diketahui, janganlah mendekatinya!”

Seseorang berkata pada Abu ‘Ali Al-Rudzbari tentang orang yang mendengarkan musik, dan berkata, “Bagiku ini diperbolehkan, sebab aku telah sampai pada tataran dimana tak ada lagi pada diriku jejak keadaan spiritual yang bertentangan.” Abu ‘Ali menjawab, “Sungguh dia telah benar-benar sampai di neraka!” Seseorang berkata kepada Al-Nashrabdzi, “Bagaimana tentang seseorang yang duduk menemani wanita dan berkata, ‘Dimata mereka aku tidak bisa diganggu-gugat’?” Dia menjawab, “Selama manusia masih ada, maka boleh dan tak boleh pun akan tetap berlaku atas dirinya. Orang yang mengaku tak bisa diganggu gugat, secara hukum berada dalam kesesatan.”

Abu Bakr Al-Zaqqaq mengatakan, “Aku mengembara di padang pasir Israel selama lima belas hari. Ketika aku menemukan sebuah jalan, seorang prajurit menangkapku dan memberiku minum segelas air. Qalbuku pun kembali keras selama tiga puluh tahun.”

Abu Hafsh Al-Haddad mengatakan, “Seseorang yang tidak menimbang amal dan keadaan spiritualnya setiap waktu dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi, dan tidak menghitung dosanya, tidaklah bisa digolongkan sebagai manusia.” Seseorang bertanya kepada Ism’ail Ibn Nujayd tentang tasawuf. Lalu dia berkata, “Tasawuf adalah kesabaran dalam menanggung beban perintah dan larangan.”

Dan Abu Al-Abbas Al-Dinawari mengatakan, “Mereka (orang-orang eksentrik yang juga mengaku sufi-ed.) telah meruntuhkan pilar-pilar tasawuf dan menghancurkan jalannya, serta telah mengubah makna-makna spiritualnya dengan terminologi yang mereka ciptakan sendiri: mereka menyebut makanan sebagai pertumbuhan, kelakuan tak baik sebagai ketulusan, meninggalkan kebenaran sebagai keesentrikan, menyukai hal-hal tercela sebagai kebaikan, mengumbar hawa nafsu sebagai godaan, kembali ke dunia ini sebagai kedatangan, akhlak yang buruk sebagai kesewenang-wenangan, kekikiran sebagai ketabahan, bertanya sebagai bekerja, kata-kata kotor sebagai celaan! Akan tetapi ini bukanlah Jalan kaum sufi.” Masih banyak lagi riwayat serta kisah lain seperti ini tentang kaum sufi.

[Jawaban atas pertanyaan kedepan: Menguraikan moderasi Tasawuf dalam mengkaji ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis.]

Jika sang pencari ingin mempelajari ilmu tafsir Al-Qur’an dan ilmu hadits, itu sungguh baik dan mulia, sebab di dalam Al-Qur’an dan ilmu hadits terletak kebenaran-kebenaran agama dan kedudukan orang beriman. Mereka temukan dalam kedua sumber itu tempat penyeberangan, tempat merenung, tujuan pencarian, obat penyembuh penyakit, pertahanan terhadap musuh, dan kendali hawa nafsu mereka. Dalam hal ini, kedua sumber ini berbeda dari ilmu hukum (fiqh), sekalipun fiqh berasal dari dan berpijak diatasnya. Aku sudah berbicara tentang godaan-godaan yang menyertai studi fiqih. Seseorang cukup hanya mengambil dari fiqih apa yang dibutuhkannya bagi ibadah dan amal-amal lahiriahnya, dan mengesampingkan sisanya.

[Jawaban atas pertanyaan kesembilan: Uraian tentang keadaan spiritual luhur  dan mulia yang harus dicapai oleh sang pencari.]

 Tidak ada persoalan bagaimana tentang sang pencari mesti berperilaku secara  batiniah maupun lahiriah, baik dalam keadaan spiritual, yang melalui keadaan ini dia beroleh kemajuan, maupun dalam amal-amal ikhlas yang ada hubungannya dengan kekayaan atau kefakiran, sehat atau sakit, ketaatan atau keingkaran, ingat atau lupanya. Yang aku maksud dengan ingat adalah kesaksian dan kehadiran qalbu, lupa adalah keterhijaban dan ketidakhadiran qalbu. Kedua-duanya selalu ada di jalan yang dilaluinya. Ketika sampai, sang pencari harus bersikap waspada terhadap ini, sebab kewaspadaan adalah salah satu pilar atau fondasi paling kokoh. Inilah salah satu sifat paling mulia dalam diri sang hamba, dan sebagian mencakup pengetahuan yang jelas tentang Keesaan Allah (tawhid). Melalui ingat dan waspada, sang pencari akan menahan diri dari terburu-buru bertindak berdasarkan harapan dan kegelisahan yang muncul dalam dirinya, dan akan terbebaskan dari perbudakan dosa dan dari keletihan dalam bertindak.

Kekayaan, kesehatan, ketaatan, dan ingat memiliki nilai dan martabat yang sangat tinggi. Perilaku batiniah seseorang, dalam kaitannya dengan ini, berupa pengetahuan mendalamnya tentang keagungan, kebesaran, kemuliaan, dan kemaahakuasaan Tuhannya. Pengetahuan mendalam tentang firman Allah Swt. ini akan membuahkan itu: “Mereka tidak mampu mengukur kekuasaan penuh Allah,”(QS 6:92). Untuk memperoleh pengetahuan mendalam tentang kehinaan, kerendahan, ketercelaan, dan kelemahan jiwa rendah, cukuplah sudah memperoleh pengetahuan mendalam tentang kalam Allah Swt. berikut ini: “Bukanlah telah datang atas manusia satu masa ketika dia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS 76 : 1). Setelah menguasai kedua aspek pengetahuan mendalam ini, seseorang memahami dengan pasti bahwa dia sama sekali tidak bisa beroleh manfaat dari karunia-karunia yang telah kusebutkan. Dia menyadari bahwa, kecuali karunia dan kemurahan Allah, semuanya itu amat sedikit; dan jika Allah menimpakan kepadanya segala macam kesulitan dan cobaan melalui berbagai bencana sangat mengerikan, dan menempatkannya dalam keadaan yang menyebabkan dirinya menyimpang dari agamanya dan meninggalkannya karena urusan duniawi, itu karena dia memang patut menerimanya. Dia yakin benar akan semuanya itu. Karenanya, orang harus bergembira dan bersyukur kepada Tuhannya. Dengan cara begitu, dia dia tidak akan berusaha demi apa yang berada lebih rendah di bawah harkat-martabatnya dan terhindar dari keadaan spiritual yang dia sebelumnya telah tertipu.

Kekayaan dan kesehatan mengharuskan agar dalam perilaku lahiriahnya, dia memanfaatkan kedua karunia untuk mematuhi Allah Swt., bukan untuk membangkang. Karena itu, ketaatan meliputi ketulusan, peningkatan, dan kecurigaan atas jiwa rendah (nafsu). Kemudian, orang pun bisa yakin bahwa perilakunya adalah benar, dan berharap hal itu akan diterima. Makna ingat adalah bahwa pegembangan tak akan menuntun ke perilaku tak baik, bahwa kontraksi tidak akan mencegah melakukan amal-amal yang wajib atau dipandangnya terpuji, dan bahwa orang itu memperhatikan perilakunya terus-menerus dan tidak membebaskan dirinya dari kewajiban.

Kefakiran dan penderitaan berkaitan dengan kerendahan, kelemahan. Perilaku batiniah yang berhubungan dengannya terbentuk karena pengetahuan mendalam bahwa dengan keduaan hal ini Allah menuntun orang di jalan para Nabi terkasih dan wali-Nya, dan bahwa Allah memandang orang itu pantas mendekati-Nya dan menerima penyucian dari-Nya. Dengan cara begini, Allah mangajari orang itu bahwa salah satu kemungkinan paling besar baginya adalah diuji amal keagamaannya dan kehidupan sehari-harinya. Karenanya, patutlah seseorang berbahagia dengan keridhaan-Nya, karena telah menguji dirinya dan menjadikan dirinya salah seorang sahabat dekat-nya, dengan bersyukur kepada Allah yang telah menetapkan atasnya takdir yang begitu menggembirakan sebagai tanda kebaikan dan perhatian Allah kepadanya. Yang demikian itu mencegah agar tidak hanyut dalam penderitaan dan cobaan, serta agar tidak berduka dan mengeluh.

(bersambung)

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.