(lanjutan)
Demikianlah, para pencipta dalam maqam cinta dikalahkan oleh Allah, entah melalui kehinaan atau melalui perasaan meluap-luap, sehingga mereka berbicara tentang hal-hal yang mengejutkan begitu pertama kali di dengar telinga. Sebagian dari apa yang mereka katakan tampak seperti kekafiran. Meski begitu,mereka dibenarkan dalam segala sesuatu yang mereka katakan, dan aman dalam kedudukan mulia mereka.
Seperti dikatakan Sybli, “Sang pecinta akan binasa jika dia diam; sang sufi akan binasa jika dia tidak diam.
“Diriwayatkan bahwa ketika Sumnun mengucapkan bait yang dikutip di atas, salah seorang sahabatnya berkata kepada yang lainnya, “Kemaren ketika aku berada di Rastaq, aku mendengar suara Guru kita Sumnun Ibn Hamzah tengah menyeru Allah Swt., memohon kepada-Nya agar disembuhkan.” Orang kedua berkata, “Aku juga mendengar hal itu kemarin ketika aku sedang berada di tempat “anu”. Orang ketiga dan keempat mengatakan hal serupa.
Ucapan itu terdengar oleh Sumnun. Dia menderita penyakit lemah, tapi dia bersabar dan tidak cemas. Makanya ketika dia mendengar bahwa mereka mengatakan hal-hal ini ketika sesungguhnya dia tidak memohon dan tidak mengatakan hal seperti itu, dia menyadari bahwa mereka berlaku sebagaimana mestinya hamba-hamba dengan cara menyembunyikan keadaan spiritualnya. Kemudian, dia berjalan-jalan mengelilingi tempat belajar mereka sembari berkata, “Berdoalah untuk pamanmu, sang penipu ini.” Nah, Sumnun ini adalah salah seorang pecinta, dan telah mengalami hal-hal menakjubkan dalam maqam cinta.
Karenanya sang hamba, harus memohon, menginginkan dan merasa puas dengan kesehatan yang baik. Sikap seperti ini merupakan bagian dari perilaku orang yang benar. Manakala cobaan datang, orang harus bersabar, pasrah, dan ridha dengan keputusan Allah, sambil menyadari bahwa dirinya tengah menempuh jalan orang-orang yang disucikan oleh kesengsaraan.
Dari apa yang telah aku bicarakan hingga kini, jelaslah bahwa penghambaan yang aku sebutkan tidaklah hanya terdiri atas berbagai macam perjuangan dan penderitaan, dan bahwa titik tolaknya berada dalam amal-amal jasmani dan qalbu. Jika sang pencari menemukan seorang pembimbing spiritual yang menuntunnya menuju jalan ibadah dan melindunginya dari berbagai jebakan dan perangkapnya, seorang pembimbing yang memiliki silsilah spiritual mulia dan aspirasi tinggi, maka sang pencari itu mesti berpegang kuat-kuat pada kelim (lipatan) jubahnya, mengikuti jejaknya, dan meneladani kata dan tindakannya. Sang pencari mesti menyadari bahwa dirinya telah menemukan belerang merah dan telah memperoleh kebahagiaan abadi lebih besar.
[Jawaban atas pertanyaan keenam: Tentang kitab-kitab tasawuf mana yang mesti dibaca, dan bagaimana cara mengamalkannya.]
Jika sang pencari tidak menemukan pembimbing seperti ini, atau mengalami kesukaran dalam melakukan yang demikian itu, maka dia mesti berpedoman pada tulisan-tulisan para tokoh sufi, khususnya kitabnya Al-Muhasibi, Al-Sulami, Al-Qusyayri, Abu Thalib Al-Makki, Abu Hamid Al-Ghazali, dan ‘Awarif Al-Ma’arif-nya Al-Suhrawardi.
Inilah sumber-sumber utama, tempat orang mengambil nasehat dan memperoleh setiap jenis ilmu pengetahuan. Karena alasan inilah, ucapan-ucapan para pemimpin sufi dikutip dalam berbagai surat dan antalogi, dan telah beredar luas dikalangan ulama. Ucapan-ucapan ini dimaksudkan bagi sang pencari setelah dia memantapkan ketaatannya pada mazhab Sunni dan bersandar pada otoritas mazhab ini dalam menerangkan praktik agamanya.
Dari mazhab ini sang pencari mesti memilih Sunnah Nabi yang terbaik, dengan ketulusan niat dan ketetapan-hati kuat untuk mengerjakan amal baik sepenuhnya dalam tindakan dan perkataan, dengan memohon pertolongan dari Tuhannya dalam semua keadaan spiritualnya. Setelah memiliki karateristik ini dan mempelajari tulisan-tulisan ini, dia bisa berharap akan sampai pada tujuan yang dicarinya dan sampai pada pemahaman yang diinginkannya.
Dari karya-karya terkenal yang telah aku sebutkan itu, aku mengetahui tak ada satu pun yang lebih bisa memuaskan dahaga, mengobati penyakit, dan membimbing menuju “jalan” kecuali karya Abu Thalib Al-Makki dan Abu Hamid Al-Ghazali. Mereka menulis dalam kedua kitab itu rahasia pengetahuan dan keajaiban pemahaman yang bakal memberi kebahagiaan dan memudahkan persoalan-persoalan.
Misalnya, Al-Ghazali mengkategorikan, menyusun dalam bab-bab, menerangkan, menjelaskan, menyaring, dan memperbaiki, serta membuat ikhtisar tentang segala sesuatu yang termaktub dalam kitab-kitab lain. Dia memberikan contoh, menghilangkan kekaburan, menjelaskan rahasia-rahasia pelik, dengan menunjukkan arah menuju jalan perenungan dan pemahaman.
Akan tetapi, kitabnya tidak memuat materi sulit yang berbeda dengan pandangan para teolog spekulatif. Sang pencari tidak membutuhkan pengetahuan mendalam (makrifat) tentang ini, sebab semuanya itu bukanlah fondasi penting bagi dasar-dasar jalan yang diikutinya. Hampir semua materi itu terdapat dalam bagian “Kebaikan-kebaikan Bermanfaat,”dalam bab-bab tentang tobat, syukur, Keesaan Allah, dan cinta. Uraian yang lebih mudah dipahami tentang soal-soal ini bisa dijumpai dalam bagian-bagian lain kitab itu. Manakala seseorang yang mempelajari kitab ini menemui salah satu bagian itu, dia cukup hanya beralih ke bagian lain, dan memberi pengarang kitab itu manfaat akan keraguan tentang apa yang tidak diketahui sang pencari. Dia mungkin juga mengetahui hadis-hadis tertentu yang membahas soal-soal serupa, tapi tidak harus menerima atau menolaknya. Dengan demikian, sang pencari akan menggabungkan keuntungan-keuntungan membaca kitab itu dengan sikap-berbeda terhadap para ulama yang memahami hal-hal ini.
Kitab Abu Thalib (Al Makki-ed.) dihargai, dan lebih disukai diantara kitab-kitab lainnya, sebab cakupan-bahasannya tak ada dalam kitab lainnya. Aku belum mengetahui seorang pun yang mampu menghasilkan kitab-kitab semisal itu. Didalamnya dia mengemukakan ilmu tasawuf ilmiah yang tidak bisa dijelaskan. Dia mampu menguak tabir rahasia yang tak seorang pun bisa melakukannya. Kitabnya memadukan makna yang dalam dengan keindahan ekspresi, dan disuguhkan dengan cara yang menarik pendengaran dan yang terasa manis oleh lidah. Dia menguraikan cabang-cabang dan akar-akar pengetahuan, dan menyusunnya menurut pertanyaan dan bab. Dalam hal ini, kitab itu, bagi tasawuf, sama dengan kitab Al-Mudawwanah bagi ilmu hukum (fiqih): Kitab ini menggantikan kitab-kitab lainnya, dan tak ada satu pun yang mampu menggantikannya.
Karya ini memuat sejumlah pengetahuan rahasia yang tidak bisa dipahami melalui analisis rasional, dan tidak sesuai dengan ilmu hukum tradisional (fiqh), serta juga memuat beberapa hadis yang mengingkari cara berpikir dan cara meraih kemajuan pengarangnya. Manakala pembaca menemui ini, dia mesti siap menangguhkan keputusan tentangnya, seperti aku sebutkan sebelumnya, dan hanya menempuh jalan lurus dengan harapan bahwa Allah, Yang Menurunkan Wahyu, Yang Maha Mengetahui, bakal membukakan ini kepadanya.
Dari tulisan-tulisan yang telah aku sebutkan, keduanya ini memuat banyak manfaat yang harus didapatkan sang pencari, dan dia tak akan bisa menemukan pengganti lain yang memadai. Dia mesti mencari manfaat-manfaat itu dalam halaman-halamannya, dan mengambilnya dari relung-relung rahasianya, serta meminta bantuan dengan cara berhubungan dan bergaul dengan seseorang yang mendukung cara berpikir yang sama dan bisa menjadikan sang pencari berpartisipasi dalam meraih tujuannya dan obyek keinginannya.
[Jawaban atas pertanyaan ketujuh: tentang menghindarkan sang pencari dari berhubungan dengan orang yang mungkin cenderung merusak keadaan spiritualnya.]
Sang pencari harus menghindarkan diri dari persahabatan, kesibukan, dan tindakan dua kelompok orang. Kelompok pertama mencakup orang-orang yang menggeluti ilmu-ilmu eksoteris, seperti kajian hukum agama dan sebagainya. Pada umumnya, dia tidak akan menemukan kedamaian dalam mempelajari ilmu-ilmu ini, dan mungkin juga terjatuh kedalam berbagai jenis dosa, baik dalam bentuk lahiriah maupun batiniah.
Keterbatasan dari dosa cukup jarang terjadi dalam keadaan bagaimana pun. Akan tetapi, di tengah-tengah pengkajian tentang spekulasi-spekulasi hukum yang jernih dan kontroversi akademis yang sembarangan, tidak ada yang dapat melindungi agar qalbu tidak lalai. Sang pencari akan menghabiskan kehidupannya dalam usaha sia-sia, membuang-buang waktu dalam berbagai usaha tak membawa hasil. Begitu dia membuang-buang waktu di tengah hiruk-pikuk soal baik buruk, maka hasil jerih payahnya bakal segera lenyap tanpa bekas.
(bersambung)