Surat-Surat Sang Sufi | Surat Keenam (3/10)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Beginilah keadaan orang yang, ketika dia berpikir untuk menunaikan ibadah haji, bertanya kepada Bisyr Ibn Al-Hafi. Abu Nashr Al-Tamar menuturkan bahwa ada seseorang datang mengucapkan selamat tinggal kepada Bisyr Al-Harits, dengan mengatakan, “Aku ingin sekali menunaikan ibadah haji. Karena itu, berilah aku petunjuk.”

Bisyr berkata, “Berapa banyak uang yang engkau miliki untuk bekalmu?” Orang itu menjawab, “Seribu dirham.” “Apakah yang mendorongmu menunaikan ibadah haji?” Bisyr bertanya, “Apakah itu untuk bersenang-senang, atau rindu kepada Baitullah, atau keinginan beroleh ridha Allah?” “Keinginan beroleh ridha Allah,“ jawab orang itu. Bisyr kemudian bertanya, “Jika engkau bisa memperoleh ridha Allah Swt. dengan tinggal di rumah dan membelanjakan seribu dirham itu, dan engkau yakin bahwa ini akan mendatangkan ridha Allah, akankah engkau melakukannya?” “Ya, “kata orang itu. “Kalau begitu, bagikan uang itu kepada sepuluh orang,” kata Bisyr. “Maka orang beriman bisa menunaikan praktik agamanya, dan orang miskin bisa berdikari, dan sang ayah bisa membuat keluarganya sejahtera, dan pengasuh anak yatim bisa memberi anak asuhnya kebahagiaan.

Karena itu, jika Allah Yang Maha Esa memberi qalbumu untuk bersedekah, maka lakukanlah. Sebab, sungguh tindakanmu memberi kebahagiaan ke dalam qalbu seorang muslim, tindakanmu menyirami qalbu orang yang mengeluh, dan tindakanmu meringankan penderitaan orang miskin, dan tindakanmu menguatkan kembali keyakinan orang yang lemah, semuanya itu jauh lebih baik ketimbang ribuan hujjah Islam. Pergilah dan bagikanlah uang itu seperti yang aku sarankan kepadamu. Kalau tidak, katakan kepadaku apa yang sesungguhnya ada dalam qalbumu.” Orang itu pun berkata, “Wahai Abu Nashr, perjalanan haji ku ini adalah puncak keinginan dalam qalbuku.”

Lalu Bisyr pun tersenyum, mendekatinya seraya berkata, “Kalau uang diperoleh lewat praktik-praktik bisnis yang kotor dan belum jelas halal haramnya, maka uang itu bahkan mendorong hawa nafsu membayangkan keinginan untuk bersegera menjalankan amal-amal yang secara lahiriah tampak saleh. Tapi, Allah Swt telah bersumpah bahwa Dia hanya akan menerima amal orang yang bertaqwa kepada-Nya.” Ketika Bisyr mengatakan ini orang itu pun menangis.

 Ambillah kasus seseorang yang mapan dalam keadaan-keadaan spiritual yang telah aku sebutkan dan berupaya sepenuhnya memupuknya sambil tetap tinggal di rumah. Andaikan dia ingin menguji kesetiaanya pada keadaan-keadaan itu, dengan cara menanggung perasaan keberpisahan dari hal-hal yang lazim dan diandalkan di negerinya, memutuskan untuk berjuang melawan jiwa rendahnya dengan cara demikian. Ibadah haji yang dilakukannya adalah terpuji. Meskipun perjuangan itu bukan tujuan utama ibadah haji, bisa dipahami perjalanan itu dilakukan seraya tetap memikirkan hal tersebut. Yang demikian itu tetap menjadi salah satu kebiasaan musafir-musafir yang berpisah sendirian. Bahkan, aku memandang kecenderungan jiwa rendah~(hawa nafsu-ed.) kepada penunaian ibadah haji itu sebagian berdosa dalam kebanyakan hal. Alasanku adalah adanya prinsip yang mengatakan kecenderungan jiwa rendah pada awal-awal ibadah yang secara fisik sulit dikerjakan, adalah berdosa.

[Jawaban atas pertanyaan kedua: Tentang bagaimana jiwa rendah atau hawa nafsu bisa cenderung pada apa yang menimbulkan kesulitan?]

Seseorang yang mendengarkan ini mungkin heran dan bertanya, “Bagaimana mungkin jiwa rendah bisa cenderung kepada apa yang menimbulkan kesulitan bila hal itu bukan perhatian utamanya?’ Orang yang mengerjakan keberatan itu tidak menyadarinya, bahwa jiwa rendah kadang-kadang mencari tujuan yang bisa dicapai hanya dengan meninggalkan kesenangannya. Seseorang melihat, misalnya, orang-orang begitu diharu-biru oleh kecintaan akan kemahsyuran serta kekayaan dan begitu tekun memenuhi keinginan mereka akan hal-hal itu,sampai-sampai mereka mau menanggung resiko menantang bahaya, terjun ke dalam laut dan menerjunkan diri ke dalam segala bahaya. Harapan untuk mencapai keinginan itu mendorong mereka untuk merasa senang dan gembira berada dalam kesulitan seperti itu. Biarpun begitu yang mereka peroleh bukanlah yang mereka harapkan. Pertanyaan ini memiliki dua segi. Bedanya, tujuan-tujuan yang baru saja kusebutkan sudah lumrah dan diketahui oleh hampir semua orang. Cara-cara mencapai semuanya itu jelas dan tak samar barang sedikit pun. Sebaliknya, orang-orang saleh yang keadaan spiritualnya tinggi yang melampaui orang-orang muslim umumnya, mengabdikan diri pada tujuan-tujuan lain yang telah aku bicarakan. Tetapi, lantaran kebodohan sajalah jiwa rendah melaksankan tugas-tugas yang sulit untuk mencapai hasil yang kecil, kendatipun seseorang siap berperang, difitnah, dan beradu kekuatan fisik agar, setelah dia mati, beroleh pujian akan keberanian dan ketabahannya. Inilah benar-benar kebodohan, sebab apa guna dan mafaat hal itu bagi jiwa rendah setelah kematian?

Tujuan seperti ini dikejar-kejar tanpa adanya konsep dan maksud dan tanpa kepuasan pada akhirnya, seperti dikatakan ‘Ali Ibn Hazm dalam Kitab Pemerintahan. Yang lebih bodoh dari mereka ini adalah orang-orang yang pernah aku jumpai, yang tidak tahu mengapa mereka mengorbankan dirinya. Kadang-kadang Zayd menyerang ‘Amr, kadang-kadang pula ‘Amr menyerang Zayd, bahkan mungkin pada hari yang sama. Mereka berani menempuh resiko kematian sia-sia. Mereka terbunuh demi neraka atau melarikan diri membawa kehinaan. Rasulullah saw memberikan peringatan tentang orang-orang seperti itu ketika beliau bersabda, Akan tiba masanya ketika orang yang membunuh tidak tau mengapa dia membunuh, pun tidak pula orang yang terbunuh tidak tahu mengapa dia dibunuh.

Nah, masalahnya bisa disamakan dengan situasi  dimana kecenderungan alami jiwa rendah memaksa sebagian orang menjadi sangat asyik dengan amal ibadah dan memberlakukan praktik-praktik pengingkaran diri dalam kadar yang tinggi atas diri mereka sendiri. Mereka melemparkan jiwa rendah ke dalam situasi berbahaya dan mendorong jiwa rendah melaksanakan kewajiban-kewajiban berdasar atas anggapan bahwa hal ini bakal mempercepat kemajuan mereka menuju keadaan spiritual orang-orang besar.

Mereka membayangkan bahwa dengan kecenderungan berlebih-lebihan ini, mereka bisa menukar kepicikan mereka dengan pengetahuan tentang kesempurnaan. Mereka tinggalkan tujuan-tujuan duniawi tertentu, sembari berharap mendukung ketulusan maksud-maksud jiwa rendah mereka, dengan mengklaim bahwa mereka mengikuti kewajiban-kewajiban agama. Jauh sebelumnya, mereka mempersembahkan amal dan waktu ibadah ini, membaktikan banyak waktu kepadanya, dan tak dapat mengendalikan tujuan-tujuan mereka, yaitu terperosok kedalam hal-hal lebih tercela ketimbang yang mereka tuju dan inginkan sebelumnya. Jika maksud-maksud jiwa rendah telah dianggap benar, maka tindakannya sama sekali bukan suatu pelanggaran; dan jiwa rendah akan memahami bahwa hanya ketaatan kepada agama kaum monoteis sejati sajalah yang bisa mengakhirinya. Aku bersumpah demi hidupku, bahwa dewasa ini seseorang yang taat kepada agama itu dan mengikuti jalannya, akan mengalami derita yang tak terperikan dan mereguk minuman yang mencekik leher seakan tak seorang pun bisa meminumnya. Karena itu, pahala yang akan diterimanya akan banyak, dan jerih payahnya pun akan bermanfaat, sebab prinsip-logisnya adalah bahwa segala sesuatu yang membebani jiwa rendah, sesungguhnya adalah baik.

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *