Surat-Surat Sang Sufi | Surat Keenam (1/10)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

SURAT KEENAM

Segenap puji bagi Allah semata.

[Prinsip-prinsip tentang menunaikan ibadah haji]

Sekarang ini, menunaikan haji menjadi semakin diinginkan orang yang sangat dihasratkan (oleh mereka). Mereka lebih menyukai kesukaran, kebutuhan dan perpisahan dari rumah, yang merupakan bagian dari ibadah haji, ketimbang bersantai-santai, bersenang-senang, dan tinggal di rumah. Sudah barang tentu ada sebagian orang yang meninggalkan agama mereka dan tidak mempunyai keinginan menunaikan ibadah haji. Ada sebagian orang lainnya, yang telah melaksanakan berbagai formalitas amal yang diniatkannya, hanya mempunyai satu perhatian dan keinginan, yakni kembali kenegeri mereka dan bergabung kembali bersama keluarga dan sahabat-sahabat mereka. Namun, setelah mereka melakukan itu, mereka mengalami lagi kejemuan tinggal di rumah. Mereka menjadi bosan sehingga mereka merindukan, bahkan lebih dari sebelumnya, untuk berangkat menunaikan ibadah haji lagi. Ini semua adalah kecenderungan mendasar dan alami manusia.

Manakala orang yang pandai dan memiliki pemahaman spiritual menyelesaikan masalah-masalah seperti itu, dia mesti mengesampingkan kebutuhan alaminya dan mengkritik secara spiritual kecenderungan manusiawinya. Dia harus meminta nasehat kepada qalbunya dan bertindak sesuai dengan syarat-syarat praktik keagamaan, sejauh kesemuanya itu terlihat jelas baginya. Kalau tidak, dia mesti meminta nasehat kepada orang yang berkompeten dalam masalah-masalah ini, bukannya mengikuti tingkah laku pribadi. Tanpa pengetahuan dan pertimbangan spiritual, tindakannya bakal sia-sia dan dia akan berusaha dengan sia-sia pula.

Syarat-syarat hukum ibadah haji sudah engkau ketahui karenanya mari kita lihat persoalan itu dari sudut pandang yang lebih umum. Aku katakan bahwa ibadah haji itu ada tiga macam: ibadah haji yang sepenuhnya terpuji, ibadah haji yang sepenuhnya berdosa, dan ibadah haji yang sebagian terpuji dan sebagian tercela.

Ibadah haji yang sepenuhnya terpuji adalah ibadah hajinya seseorang yang berpengetahuan, yakin, dan bebas dari perintah jiwa rendah (hawa nafsu). Orang seperti ini tidak dikuasai oleh kecenderungan manusiawinya. Syarat-syarat praktik keagamaan dan cahaya keyakinan mendorongnya. Ini adalah keadaan mulia, kedudukan sangat mulia yang bisa sepenuhnya dipahami hanya oleh orang yang telah mengalaminya.

Sebuah kisah menuturkan bagaimana salah seorang ulama bercerita demikian: “Ketika aku sedang melakukan thawwaf mengelilingi Ka’bah, seorang tua datang menghampiriku dan bertanya tentang negeriku. Aku ceritakan hal itu kepadanya, dan dia bertanya, ‘Berapa jauh dari sini kesana?’ Aku menjawab sekitar dua bulan,’ Lalu dia berkata, ‘Engkau bisa menunaikan ibadah haji ke Ka’bah ini setiap tahun!’ Kemudian aku bertanya kepadanya, ‘Berapa jauh negerimu?’ Dia menjawab, ‘Ketika aku masih muda, aku berangkat meninggalkan negeriku untuk mengadakan perjalanan selama lima tahun.’ Aku terheran-heran, lalu dia meneruskan kata-katanya.

Kunjungilah yang kau cintai meski rumahnya

jauh darimu dan tersembunyi.

Jangan biarkan jarak menghalangimu

Untuk mengunjungi-Nya,

sebab pecinta selalu mengunjungi yang dicintainya.

Kisah lain menuturkan bagaimana suatu hari Syaikh Abu Al-Hasan Al-Lakhmi sedang duduk-duduk bersama sahabat-sahabatnya membicarakan aspek-aspek hukum ibadah haji. Mereka berbicara panjang-lebar tentang apakah syarat itu mesti berlaku di zaman mereka. Sementara itu, seorang miskin mendengarkan pembicaraan mereka di luar jamaah mereka. Setelah mereka selesai, orang itu menjulurkan kepalanya ke jamaah itu dan berkata kepada Syaikh,

Wahai Guruku,

Jika engkau tidak berhasrat sedikit pun

Menumpahkan darahku,

Engkau hampir tak akan terlalu memperhatikannya.

Karakteristik ibadah haji yang sepenuhnya tercela sangat berbeda dari karakteristik ibadah haji yang dilakukan dengan niat yang bebas dari kemunafikan dan hasrat akan reputasi. Yang pertama didorong semata-mata oleh tingkah laku sia-sia. Tapi kedua tipe pertama ibadah haji ini jarang sekali terjadi dan implikasi hukumnya pun jelas.

Ibadah hajinya seorang saleh yang mengerjakan karena keyakinan yang mengandung tujuan pribadi dan hawa nafsu, adalah berdosa sebagian dan terpuji sebagian. Orang seperti itu tidak menyadari muslihat musuh dan tipu daya jiwa rendah yang mempengaruhi keputusannya untuk pergi. Motif yang baik maupun yang buruk tampaknya sama-sama menonjol. Hanya saja, motivasi bagi jenis ibadah haji ini berbeda-beda dalam setiap individu dan berbagai keadaan, dan ini perlu dijelaskan lagi.

Dalam kaitan ini, ibadah haji akan diterima dengan syarat-syarat berikut: apabila orang itu berasal dari golongan lebih terdidik, atau termasuk diantara orang-orang yang lebih cenderung pada kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan dalam perjuangan melawan hawa nafsu, penyucian qalbu, sikap waspada terhadap pikiran-pikirannya, menjaga imajinasi sehat, selalu memikirkan dan menyadari hal-hal lain yang berkaitan dengan keadaan-keadaan yang mulia dan kedudukan-kedudukan tinggi, dan memiliki tekad dalam menyucikan batin dari dosa-dosa besar dalam qalbu yang memberontak. Terakhir, hal-hal berikut ini harus dihilangkan: kesombongan, keangkuhan, iri hati, kedengkian, kepura-puraan, kemunafikan, kebohongan dalam praktek agama, berburuk sangka pada kaum Muslim, sangat cinta dunia, dan jenis-jenis ketololan lainnya. Jika dalam hal ini ada kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi pelaksanaan ibadah haji, maka orang harus mempelajari prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan itu, sejauh kemampuannya.

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *